27.9 C
Jakarta

Moderatisasi Pendidikan Berbasis Digital, Mampukah Berantas Terorisme?

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuModeratisasi Pendidikan Berbasis Digital, Mampukah Berantas Terorisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Kampanye Moderasi Beragama: Dari Tradisional Menuju Digital, Penulis: Paelani Setia, dkk, ISBN: 978-623-95343-5-6, Penerbit: Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Tahun Terbit: 2021, Peresensi: Muhammad Nur Faizi.

Harakatuna.com – Sebuah studi dari Microsoft mengenai Digital Transformation di tahun 2016 akhir membuktikan kehadiran digitalisasi hampir diminati semua negara. Pada studi ini melibatkan 13 negara dengan hampir 1500 pemimpin bisnis dan 265 pemimpin pendidikan. Hasilnya, 87% pemimpin di industri pendidikan menghendaki transformasi menuju digitalisasi. Akan tetapi, yang telah mempersiapkannya hanya sekitar 23% saja.

Dalam era digitalisasi, semakin menegaskan bahwa tingkat ketergantungan manusia terhadap dunia teknologi semakin besar. Manusia tidak bisa melepaskan interaksinya dengan alat digital. Dari bangun tidur sampai kembali bermimpi, akan dipenuhi dengan interaksi-interaksi tersebut. Sehingga mau tidak mau, pendidikan yang menjadi motor pergerakan manusia, pun harus terseret dalam dunia digitalisasi (hlm. 46).

Memang di satu sisi pembelajaran daring sangat berguna dalam efisiensi waktu. Seorang guru tidak perlu menunggu pagi hari untuk mengirimkan materi kepada muridnya. Cukup melalui alat komunikasi digital, semua materi sudah dapat dipelajari di malam hari dan dapat diaplikasikan di pagi hari. Dengan cara seperti ini, proses pembelajaran akan cepat terlaksana, dan target belajar yang sudah ditentukan dapat dikejar dalam waktu yang relatif cepat.

Kemudian seorang murid lebih fleksibel dalam penyerapan materi. Materi bisa ditelaah di mana pun dan kapan pun. Misalnya saat menyantap makanan bisa membaca materi yang ada di layar gawai. Kemudian ketika sedang menunggu antrian, bisa pula membaca materi yang sudah diberikan. Semuanya bisa diserap tanpa menunggu jam pelajaran dimulai, atau bertatap di dalam kelas.

Flesksibilitas transfer ilmu dari guru ke murid menjadi keuntungan yang besar untuk lebih memupuk banyak pemahaman. Setiap pembelajaran yang diperoleh, bisa diaplikasikan dalam bentuk pengalaman hidup, yang mana mempunyai corak kental dengan nasionalisme. Atau dengan kata lain, pembelajaran model digital ikut mempercepat upaya kesadaran nasionalisme.

Namun dalam pembinaan nalar, murid-murid memerlukan kerja panjang untuk mengerti suatu keadaan. Pengalaman serta bimbingan langsung dari seorang guru akan mengantarnya jauh memahami makna suatu pendidikan. Tidak terkecuali Pendidikan anti-terorisme dan radikalisme. Dari para guru murid-murid akan mendapat suplemen tambahan untuk lebih mengetahui bagaimana terorisme bekerja.

Meskipun begitu, Pendidikan digital juga bisa tetap dilaksanakan. Mengingat kondisi saat ini yang tidak memungkinkan terselenggaranya Pendidikan dengan sistem tatap muka. Oleh karena itu, kinerja pemberantasan terorisme dan radikalisme melalui dunia Pendidikan juga harus diubah. Sistematika guru yang lebih dominan, kini harus dikurangi oleh murid yang mempraktikkan (hlm. 59).

BACA JUGA  Mengoreksi Kaum Jihadis dalam Memahami Hadis

Dalam hal ini, kreativitas menjadi kunci untuk tercipta lingkungan pengajaran yang menyenangkan. Menerapkan suatu cara di mana murid tidak gampang bosan menatap layar kaca dalam waktu lama. Maka peran pengajar akan menjadi berat. Selain mentransfer pengetahuan, seorang pengajar juga harus mengadaptasikan murid-muridnya dalam suasana pengajaran yang baru.

Untuk menggiring pemahaman lebih dari murid yang akan diajarkan nasionalisme, seorang guru bisa melakukan langkah promosi. Menggiring murid lebih kreatif dan inovatif dalam menumbuhkan jiwa nasionalisme yang ada pada dirinya. Salah satu caranya, guru bisa mengajak murid untuk bersama-sama mengampanyekan nasionalisme dengan wadah media digital.

Cara ini akan mempunyai fungsi ganda, yaitu mengarahkan anak untuk beradaptasi pada dunia digital, dan menanamkan nasionalisme secara langsung melalui pengalaman yang dia dapatkan.

Nantinya kampanye yang dibuat peserta didik, akan disasarkan kepada semua orang, terkhusus untuk anak didik yang masih berada di bangku sekolah. Kampanye bisa dilakukan dengan membuat tulisan bertema nasionalisme yang dijadikan satu untuk diunggah ke website sekolah. Atau pun bisa berupa poster yang nantinya diunggah di sosial media sekolahan. Pun bisa membuat kumpulan video untuk bersama-sama menolak tindakan radikal (hlm. 63).

Sistem pengajaran nasionalisme seperti ini sebetulnya mempunyai dua keuntungan (hlm. 67). Pertama, mengasah kreativitas dari anak didik itu sendiri. Mereka akan terbiasa menggunakan media dan mengenali secara langsung bagaimana bentuk tindakan radikalisme dan terorisme di dunia maya. Hal ini ditunjang dari kegiatan mereka yang menjadi pelaku aktif anti-radikalisme dengan menyebarkan konten promosi kebangsaan.

Kedua, murid-murid akan memiliki nilai bangga lebih terhadap karya yang mereka buat. Apresiasi dari karya mereka tidak hanya datang dari lingkup sekolahan, namun bisa meluas ke jaringan di luar sekolah. Mengingat digitalisasi menghapus ruang dan waktu kehidupan. Manusia tidak lagi tersekat jarak karena semua bisa saling terhubung satu sama lain.

Apresiasi yang didapatkan oleh murid, akan semakin memompa semangat mereka untuk berkarya. Terlebih jika karya mereka dilirik oleh banyak institusi Pendidikan lain. Maka bisa dijadikan contoh dan ikut memperluas jaringan kampanye yang sudah dilakukan. Semakin banyak institusi Pendidikan yang melakukan kampanye. Berarti semakin banyak pula konten nasionalisme yang diproduksi (hlm. 71).

Model kampanye melalui wilayah digital bisa secara langsung diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Selain mengasah pemahaman mereka dalam pemahaman materi, juga bisa membiasakan mereka untuk bersikap kreatif dalam memproduksi konten anti-radikalisme dan terorisme.

Dengan otak yang masih segar dan masih mudah untuk menyerap materi baru, para murid adalah pelaku yang tepat untuk menyebarkan konten kedamaian. Menjadi generasi unggul yang ikut mengawal bangsa Indonesia dari serangan radikalisme dan terorisme.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru