Aku langsung kembali menuju ke Pasar Malam Agama. Kali ini aku mendengar pidato Imam Agung Agama Balakri. Kami diberi tahu bahwa Nabi Balakri adalah Al-Masih yang dilahirkan pada abad kelima di Tanah Suci Mesambia. Malam itu aku menghadap Tuhan lagi.
“Engkau sungguh-sungguh melakukan diskriminasi, bukankah begitu, Tuhan? Mengapa abad kelima itu abad yang mulia, dan mengapa Mesambia harus menjadi tanah suci? Mengapa Engkau melakukan diskriminasi terhadap abad lain dan negeri lain? Apa kesalahan abadku? Dan apa kesalahan negeriku?”
Tuhan menjawab: “Hari raya itu suci, karena menunjukkan bahwa semua hari sepanjang tahun itu suci. Dan tanah suci itu dikatakan suci karena menunjukkan bahwa semua tanah sudah disucikan.”
Harakatuna.com – Penggalan cerita itu ditulis oleh Anthony de Mello. Kisah yang menggambarkan perbedaan maksud dari yang manusia pahami dengan kehendak Tuhan. Kita boleh menariknya dalam konteks pemaknaan Islam. Orang-orang kerap menempatkan Arab sebagai prototipe terbaik untuk berislam. Gagasan itu berdampak pada cara hidup, fashion, makanan, hingga pembentukan peran di negara-negara dengan mayoritas Islam, tak terkecuali di Indonesia.
Di Indonesia telah lama muncul gerakan Arabisasi, yaitu upaya menyebarkan bahasa, budaya, dan identitas Arab secara terbuka. Kondisi itu biasanya terjadi karena ada anggapan untuk kembali ke zaman Rasulullah secara tekstual dan sebuah keyakinan bahwa Arab adalah tanah terbaik yang patut ditiru seratus persen. Akibat dari gerakan tersebut, kebudayaan setempat biasanya dianggap menyimpang, sesat, dan patut dihilangkan.
Kita boleh setuju dengan gagasan de Mello bahwa semua tempat adalah suci dan terbaik. Tuhan Maha Adil dan tidak mungkin melakukan diskriminasi pada ciptaan-Nya. Ini sejalan dengan firman-Nya dalam QS Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” Perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang patut disyukuri, bukan dianggap sebagai kejahatan.
Ahmad Syafii Maarif melalui bukunya bertajuk Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman (2019, IRCiSoD) menuliskan bahwa sebagai doktrin, Islam adalah satu. Akan tetapi, ketika doktrin itu turun ke bumi, memasuki lingkaran kebudayaan, wajah agama itu menjadi beragam. Ada wajah Nigeria, wajah Afghanistan, wajah Iran, wajah Indonesia, wajah Arab Saudi, wajah Libya, dan sebagainya. Wajah dan ekspresi yang bermacam-macam itu disebut kultural.
Jika Islam dijadikan contoh, sebagai sistem, iman Islam adalah satu tetapi sebagai ekspresi kultural bisa bervariasi. Keberagaman itu terbentuk karena latar belakang sejarah dan lingkungan kebudayaan yang telah memberi warna terhadap agama. Ini adalah fakta sejarah yang tidak mungkin dinafikan dan tidak perlu disesali karena justru dengan wajah-wajah yang berwarna-warni itu, ekspresi kultural sebuah agama menjadi sangat kaya dan khas. Hal yang perlu dijaga adalah agar ekspresi kultural tersebut tidak merusak dan melemahkan sendi-sendi keumatan dan pilar-pilar persaudaraan universal berdasarkan iman.
Di Arab Saudi, perempuan mulai didorong untuk juga aktif di ruang publik. Perlahan tapi pasti, perubahan ke arah lebih inklusif mulai menggeliat. National Geographic melalui tulisan Wajah Wanita Saudi Kini (2/2016) susunan Cynthia Gorney, menjabarkan awal mula terjadinya konservatisme di Arab dan upaya untuk melepaskan diri dari gejolak tersebut.
Seorang dokter anak berusia 70-an yang sudah pensiun di Riyadh mengisahkan ingatannya saat dahulu wanita Arab boleh mengenakan abaya pendek yang santai atau mengenakan pakaian sederhana tanpa penutup luar.
“Pada umumnya kami bepergian tanpa kerudung (dulu)… Duduk dengan pria bukan muhrim di restoran? Tidak masalah, selama kita berperilaku sopan. Dan kemudian terjadi perubahan. Menurut saya peraturan dibuat demikian ketat dengan asumsi bahwa pria dan wanita pasti berperilaku tidak senonoh jika aturannya lemah. Di dalam pikiran, di dalam hati.”
Konon, perubahan itu dimulai pada 1980-an ketika gerakan Islam konservatif mulai berkembang di seluruh kawasan Timur Tengah. Kini, hampir setengah abad kemudian, Arab mulai melakukan redefinisi wajah Islam di negaranya, terutama bagi perempuan. Cynthia Gorney menuliskan bahwa pembaruan kebijakan di Arab terkait perempuan mulai terjadi dalam sektor pendidikan, pekerjaan, dan ekspresi diri.
Selama empat dekade terakhir, Arab Saudi telah mengalami kemajuan dalam pendidikan perempuan, yang paling baru di bawah reformasi yang diluncurkan oleh almarhum Raja Abdullah. Beliau mendorong kaum perempuan untuk belajar dan bekerja. Meski pekerjaan rumah yang menanti Arab masih menumpuk karena posisi mereka tertinggal dari banyak negara Muslim lainnya dalam hak kesempatan kerja bagi para perempuan, upaya pembaruan yang dilakukan layak untuk diberi tepuk tangan.
Sayangnya, di Indonesia kini justru terjadi gejala untuk menarik perempuan menuju era konservatif seperti yang dialami perempuan Arab Saudi tahun 1980-an. MB Wijaksana dalam tulisan Mengarifi Fundamentalisasi Yogyakarta; Perempuan (lagi) Menjadi Korban?, dipublikasi oleh Jurnal Perempuan (2003) menuliskan gejolak fundamentalisme yang terjadi di Yogyakarta. Ia mengungkapkan bahwa setiap suatu masyarakat mengalami fundamentalisasi, domestifikasi perempuan pasti menjadi program utama yang dicanangkan, tak terkecuali yang pernah terjadi di Yogyakarta.
Domestifikasi menjadi sebuah masalah ketika hak-hak perempuan untuk ikut berpartisipasi di publik dan mengembangkan potensi yang dimiliki dilarang atas nama agama. Saat ini setelah lebih dari sewindu penelitian MB Wijaksana ditulis, kita masih menemukan narasi-narasi domestifikasi dalam ceramah langsung maupun platform di berbagai media Islam fundamentalis.
Salah satu contoh narasi yang bermuatan demikian dapat dijumpai dalam tulisan bertajuk Pemberdayaan Perempuan, Fondasi atau Ancaman bagi Ketahanan Keluarga?, diunggah oleh Muslimah News (31/1/2025). Narasi yang diusung cenderung menarik perempuan untuk mundur ke zaman kegelapan, meskipun kata-kata yang disusun berupaya menampilkan hal sebaliknya. Selain domestifikasi, pemaksaan pakaian juga kerap terjadi terhadap perempuan atas nama agama. Di beberapa sekolah, banyak siswa yang dipaksa untuk mengenakan jilbab tanpa persetujuan dari pemakainya. Kejadian itu pernah berlangsung di Yogyakarta, Banguntapan, Sragen, dan beberapa wilayah lain.
Kita boleh mempertanyakan kembali hal-hal yang dianggap telah final, terutama yang menyangkut hak dan kebebasan berekspresi bagi perempuan. Pikiran yang kritis dan inklusif sangat dibutuhkan untuk membendung gerakan keagamaan konservatif yang ingin menempatkan perempuan di sudut kemajuan peradaban.
Saat Arab Saudi, negara yang kerap dijadikan kiblat gerakan keagamaan fundamentalis, berupaya melakukan modernisasi, di Indonesia malah muncul gelagat ke arah puritanisasi. Ini sebuah masalah, jika tidak mau disebut sebagai gejala kemunduran.