25.7 C
Jakarta

Moderasi Beragama untuk Melawan Narasi Pemecah-Belah, Yakin Bisa?

Artikel Trending

KhazanahOpiniModerasi Beragama untuk Melawan Narasi Pemecah-Belah, Yakin Bisa?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Akhir-akhir ini terminologi “moderasi beragama” menjadi perbincangan yang cukup seksi. Bukan hanya di kalangan masyarakat, akademisi, ulama, dan cendekiawan, melainkan juga dalam kancah nasional maupun internasional. Hal ini dikarenakan moderasi beragama dianggap mampu menjadi “penengah” dalam segala hal seperti konflik agama, suku, etnis, dan bahkan gerakan kelompok radikal-ekstremis-terorisme dan lain-lain yang masih eksis sampai detik ini.

Indonesia misalnya, sebagai negara plural dan multikultural yang terdiri dari beragam suku, etnis, agama, bahasa, dan budaya, terutama dikenal mayoritas penduduknya adalah muslim terbesar di dunia, juga menemui ruang dilematik. Alih-alih keberagaman tersebut merupakan kekuatan (power), tetapi juga berpotensi melahirkan gesekan atau konflik yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan antar setiap individu  tidak terkecuali umat beragama. Karenanya, moderasi beragama menjadi sesuatu yang urgen.

Pun, kehadirannya untuk melahirkan keseimbangan dalam kehidupan beragama. Mengingat secara alamiah Tuhan menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini berpasang-pasangan. Moderasi beragama berupaya untuk menjaga agar dalam mempraktikkan ajaran agama, seorang pemeluk agama tidak terjebak secara ekstrem pada salah satu sisi pasangan yang dicipta. Tentu pertanyaan yang muncul bagaimana yang dimaksud moderasi beragama?

Dalam KBBI, terminologi moderasi diartikan sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Sehingga moderasi beragama bisa dipahami sebagai sebuah sikap menghindari kekerasan dan keekstreman dalam beragama dengan tetap mengamalkan ajaran agamanya sesuai keyakinan tiap-tiap pemeluk agama. Atau, cara pandang seseorang dalam memahami dan menjalankan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan (ultra-konservatif) maupun ekstrem kiri (liberal) terhadap satu kebenaran tafsir teks kitab suci (agama), sembari menganggap sesat penafsir selainnya.

Ini artinya, moderasi beragama mengharuskan kepada setiap umat beragama untuk tidak eksklusif ,  melainkan inklusif; melebur, beradaptasi, dan bergaul dengan pelbagai komunitas  tanpa mempertimbangkan suku, agama, etnis, budaya, pilihan politik dan lain sebagainya.

Kendati demikian, moderasi beragama bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar ritual pokok ajaran agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda keyakinan atau agama. Juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamnya secara serius. Tetapi, moderasi beragama berarti percaya diri akan esensi ajaran agama yang diyakininya, yang mengajarkan tentang prinsip keadilan, toleransi, dan berimbang dengan tetap menerima  kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama apalagi interaksi mu’amalah.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, moderasi beragama sangat diperlukansebagai strategi kebudayaan bangsa kita dalam merawat keindonesiaan. Sejarah mencatat bahwa diraihnya kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari prinsip moderasi beragama ini.

Di mana semua tokoh kemerdekaan dari pelbagai suku, agama, ras, bahasa, dan budaya, serta ragam kepercayaan bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Semuanya bergerak ke tengah mencari titik temu untuk bersama-sama menerima bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila sebagai kesepakatan bersama.

Meski sejak awal Indonesia merdeka disepakati bukan negara agama, tetapi tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari penduduknya. Nilai-nilai agama dijaga dan dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berkait kelindan dengan rukun dan damai. Sehingga gerakan ekstremisme dan radikalisme-terorisme niscaya akan merusak sendi-sendi keindonesiaan kita, jika dibiarkan tumbuh dan berkembang.

Oleh karena itu, di sinilah peran moderasi beragama, yakni dapat menjadi wahana (jembatan) terciptanya toleransi dan kerukunan antar umat, baik di kancah lokal, nasional maupun internasional. Sehingga masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain (berbeda keyakinan) secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama secara berdampingan, damai, dan harmonis.

BACA JUGA  Menjaga Persatuan dalam Keberagaman Agama

Mewaspadai Narasi Pemecah-Belah

Kebebasan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan lain sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui kebebasan berpendapat, manusia akan dapat menyampaikan apa yang menjadi pemikiran, gagasan dan kepentingannya. Sebaliknya, tanpa hal ihwal, manusia tidak dapat mewujudkan apa yang menjadi pemikiran dan kepentingannya.

Pun, kebebasan ini adalah sebagai perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebab, dalam sistem demokrasi ada tiga nilai dasar demokrasi, yaitu persamaan, kebebasan, dan peraturan atau hukum. Nilai persamaan maksudnya adalah bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan dan kedudukan yang sama. Nilai kebebasan berarti bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan atau hak untuk mengemukakan pendapat.

Kendati setiap warga negara diberi kebebasan dan kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapat, namun harus dilakukan secara bertanggung jawab dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai Pancasila, kesusilaan, dan kepatutan serta tunduk dan patuh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Artinya, kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak. Jika mengemukakan pendapat yang tanpa batas, maka akan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

Namun demikian, beberapa tahun terakhir kebebasan mengemukakan pendapat banyak disalahgunakan (dijadikan alat propaganda untuk memecah-belah bangsa) oleh kelompok-kelompok tertentu, yang sedari awal berseberangan (tidak sepakat) dengan pemerintah.

Alih-alih menyuarakan aspirasi masyarakat , tampaknya bertujuan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tak ayal, isu yang dimunculkan bernuansa SARA, memecah-belah, dan bahkan acap kali menebar kebohongan, fitnah, ujaran kebencian, dan adu domba antar sesama warga negara.

Ironisnya, agama-pun tidak lepas dari “cengkeraman” mereka, yaitu sebagai alat untuk memecah-belah persatuan dan keharmonisan antar umat beragama dan warga negara. Padahal, agama yang di dalamnya sarat akan nilai-nilai humanisme, toleransi, dan keharmonisan, dengan seketika berubah laiknya “mesin pembunuh” yang siap “menerkam” apa pun yang ada di hadapannya kapan pun ia mau. Apalagi, di era saat ini di mana kemajuan teknologi begitu pesat, tak bisa dipungkiri bahwa teknologi juga turut ambil bagian.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) misalnya, jumlah berita bohong (hoax) yang tersebar di Indonesia pada 2019 mencapai 1.221 hoax. Kemudian, pada 2020 meningkat menjadi 2.298 hoax. Bahkan, hoax mengenai agama, politik dan kesehatan menduduki peringkat paling tinggi. Kondisi ini tentu saja meresahkan banyak orang dan bisa menimbulkan konflik serta perpecahan bangsa. Bahkan, hoax juga dapat memicu aksi terorisme, terutama karena tingkat literasi masyarakat yang belum merata di Indonesia.

Fakta di atas, jika tidak diantisipasi secara baik dan bijak akan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Karena itu, penyeimbangan dan kontra narasi terhadap fenomena hoax, fitnah, dan adu domba yang kian meningkat merupakan suatu keniscayaan untuk selalu digalakkan oleh seluruh elemen bangsa. Negara selain menjamin kebebasan beragama sebagai bagian dari amanat konstitusi, juga menjamin kebebasan mengemukakan pendapat.

Untuk itulah, perlunya merangkul semua pihak di dalam elemen masyarakat untuk memberikan efek saling membangun kesadaran atas bahaya narasi-narasi pemecah-belah seperti hoax, fitnah, propaganda, serta adu domba dan ujaran kebencian yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Akar masalah persoalan tersebut di Indonesia sangat kompleks. Tidak hanya karena literasi digital masyarakat yang belum merata, tetapi juga karena dipicu polarisasi yang belum reda, ditambah menurunnya kepercayaan publik kepada institusi resmi dan media pers, di tengah naiknya peran jurnalisme warga yang belum semua memahami kode etik jurnalistik. Wallahu A’lam.

Saidun Fiddaraini
Saidun Fiddaraini
Penulis Lepas

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru