25.7 C
Jakarta

Moderasi Beragama, Kesetaraan Gender, dan Kemanusiaan

Artikel Trending

KhazanahOpiniModerasi Beragama, Kesetaraan Gender, dan Kemanusiaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Katanya, perbedaan itu indah. Tanpa perbedaan tentu hidup akan tampak monoton—dan mungkin membosankan. Tetapi keindahan perbedaan agaknya bukan terletak pada bentuk dan warna yang membedakan wujud satu dengan yang lainnya, melainkan terletak pada ketepatan perspektif pikiran kita, kejernihan penglihatan kita, dan kedewasaan cara penyikapan kita terhadap perbedaan itu. Kesetaraan, misalnya.

Seberapa pun banyak perbedaan berseliweran memenuhi dan menghiasi kehidupan, kalau pikiran kita masih saja kanak-kanak, penglihatan kita masih saja kabur, dan penyikapan kita masih saja silang sengkarut. Ya tentu bukan keindahan yang akan kita dapatkan, melainkan kesumpekan demi kesumpekan dan tidak harmonisnya kehidupan.

Itulah yang terjadi sekarang. Kita seperti sedang mengalami keadaan “koma”, hati kita sulit sadar dan mata pikiran kita sulit terbuka untuk setidaknya mampu berpikir dewasa dan punya penyikapan yang pas terhadap perbedaan. Perbedaan yang seharusnya disikapi dengan arif sehingga bisa saling melengkapi, justru kerap kali menjadi latar belakang munculnya konflik.

Ketidakdewasaan kita dalam bersikap, kekaburan mata kita dalam melihat sekaligus kelirunya kita dalam menaruh pikiran terhadap mereka-mereka yang tidak sama dengan kita, yang kemudian kita nilai berbeda, akhirnya membikin kita salah sangka. Salah sangka ini kemudian menimbulkan asumsi yang terburu-buru dan sangat egosentris—juga “egomania”. Egomania ialah potensi maniaknya individu atau kelompok terhadap ego dan kepentingannya sendiri, sehingga itu menyebabkan destruksi terhadap sesama yang lain.

Asumsi yang terburu-buru dan sangat mementingkan ego tentulah akan menghasilkan suatu kesimpulan yang bias, dan kemudian kesimpulan yang bias ini pada akhirnya akan menjadi embrio lahirnya penyikapan-penyikapan yang tidak adil. Kalau sudah demikian, ketidakadilanlah yang menjadi santapan publik sehari-sehari.

Ditambah lagi adanya klaim kebenaran, di mana itu adalah sebuah tindakan yang amat meresahkan sekaligus menjadi salah satu faktor timbulnya perilaku ketidakadilan antar sesama. Tanpa iguh, tanpa rumongso kita berani melabeli diri dengan menilai bahwa diri kitalah yang paling benar. Itu hal yang amat menjemukan, dan hanya akan memperkeruh problem perbedaan.

Bahkan, entitas agama yang notabenenya adalah sebuah sistem nilai yang bertujuan menjadikan para penganutnya punya kearifan dalam berperilaku, justru berujung pada fenomena yang malah membikin umat manusia terpecah-belah. Ini tentu adalah ironi tersendiri, kalau kita sadar sesadar-sadarnya.

Manusia, kebanyakan jiwanya memang pandir dan dungu. Akalnya seringkali terkooptasi oleh desakan “nafsuisme” dirinya sendiri. Sehingga untuk membuat manusia sadar, mungkin kita akan lebih memilih menyadarkan keledai karena keledai tidak akan ngeyel dan ngotot, sebagaimana kebiasaan manusia yang dungu akal jiwanya.

Alhasil, ketika marak perbedaan yang sebenarnya adalah anugerah guna kita sikapi secara indah, malah menjadi sarang lahirnya konflik. Juga adanya klaim-klaim kebenaran yang semakin menambahi kekalutan konflik yang timbul. Tentu itu akan membuat kita tidak betah, apabila diharuskan hidup terus-menerus berdampingan dengan konflik-konflik yang sebenarnya tidak perlu. Kita, para manusia sebenarnya amat mendambakan kehidupan yang damai, sikap yang dewasa dan moderat tatkala memahami adanya perbedaan.

“Moderasi beragama” akhirnya dimunculkan dan menjadi konsep strategis sebagai jawaban sekaligus solusi perihal maraknya perbedaan dan klaim kebenaran yang pada akhirnya suka sekali menimbulkan konflik—suatu konflik yang sebenarnya tidak perlu. Entah mengapa, kebanyakan dari kita senang sekali mengkonflik-konflikan sesuatu yang sebenarnya tidak harus menjadi konflik.

Meski “moderasi beragama” memang memfokuskan arah pandangannya ke masalah agama. Tapi praktiknya tentu tidak lantas berhenti pada masalah agama saja. Sebagaimana kata Pak Luqman Hakim, “moderasi beragama bukan suatu ideologi, akan tetapi adalah cara pandang.” Kita bisa pahami demikian, oke, kita setuju bahwa “moderasi beragama” bukanlah sebuah ideologi, sebab kalau “moderasi beragama” dilabeli sebagai ideologi itu nanti malah akan jadi konflik baru. Ideologi itu rawan konflik.

Baiknya, memang harus kita pahami bahwa “moderasi beragama” itu adalah cara pandang yang dewasa dan arif terkait sikap dan perilaku kita, khususnya dalam beragama.

Selebihnya begini, kata “beragama” kita maknai sebagai cara atau sikap atau perilaku para penganut agama. Sedangkan kata “moderasi” adalah sebuah pilihan sikap dan perilaku yang melandaskan implementasinya ke dalam wujud tindakan yang moderat, adil dan santun—dalam arti tidak “memihak-mihak” dan tidak merasa paling benar sendiri. Kalau boleh saya mengatakan, “moderasi” ini bisa dimaknai lebih sederhana dengan kata: “mengayomi”.

Apa yang harus dimoderasi? Cara beragama kita. Bukan agamanya. Sebab, seluruh masalah itu timbul dari cara kita (manusia) berperilaku. Posisi agama itu adalah sistem nilai yang mengarahkan para penganutnya untuk mampu memberikan kedamaian hidup, maka ia (agama) tidak punya kehendak untuk membikin masalah. Manusia dan para penganutnya itulah yang seringkali membikin masalah.

Bahkan, sesuatu yang sebenarnya tidak harus jadi masalah kerap kali dipermasalahkan. Susah memang, kalau kita hanya sibuk dengan identitas belaka sehingga kita lupa terhadap perilaku. Ujung-ujungnya kita jadi banyak kepentingan yang justru menimbulkan lahirnya masalah demi masalah.

BACA JUGA  Pilpres, Momentum Berbaik Sangka Sesama Bangsa

Di Islam sendiri misalnya, ketika sabda Nabi telah berhasil menemui fakta konkretnya. Bahwa kelak Islam akan pecah menjadi menjadi 73 golongan. 72 golongan masuk neraka, dan hanya 1 golongan saja yang masuk surga. Kita hari ini berbondong-bondong sibuk dengan aneka ragam golongan-golongan tersebut. Sibuk menilai golongan milik siapa yang paling benar, bahkan dengan saling menuduh.

Kesibukan kita itu akhirnya membuat kita lupa pada esensi-substansi Islam itu sendiri. Islam yang pada prinsip nilainya adalah rahmatan lil ‘alamin, dengan Muhammad bin Abdullah sebagai figur teladannya. Kini eksistensi Islam seperti telah kehilangan nilai rahmatan lil ‘alamin, dan figur Muhammad sudah tidak lagi menjadi contoh teladan dalam cara kita bersikap dan berperilaku. Implikasi langsungnya, rasa “kemanusiaan” kita menjadi hilang.

Semua itu gara-gara kita (manusia) yang gagal paham dan hanya sibuk dengan identitas belaka. Soal “Islam”nya tidak punya masalah, karena yang sejatinya punya masalah dan yang suka bikin ulah itu manusianya (penganutnya). Oleh karenanya, yang harus dimoderasi itu utamanya adalah cara kita beragama. Bukan agamanya. Dan sebenarnya, konsep “moderasi” itu adalah bagian dari semesta nilai rahmatan lil ‘alamin. Jadi, yang dikehendaki oleh kata “moderasi” itu related sekali dengan substansi nilai rahmatan lil ‘alamin.

Make Sense

Kalau ditarik garis nilai lebih panjang dan jauh lagi, sebenarnya bukan cara “beragama” kita saja yang harus kita “moderasi”. Tetapi seluruh tindak-tanduk, sikap-perilaku, termasuk determinasi pikiran kita dalam rangka menyukseskan keharmonisan, kedamaian, dan kebahagiaan hidup juga harus kita “moderasi” sedemikian rupa.

Dengan kata lain, kata “beragama” itu mewakili tata cara kita bersikap dan berperilaku dalam hidup untuk sekarang juga kita rekonstruksi kembali melalui nilai-nilai sikap dan perilaku yang arif, yang santun, yang moderat dan mengayomi satu sama lain. Itulah yang dinamakan: rahmatan lil ‘alamin. Kalau di Jawa, istilahnya: Memayu Hayuning Bawana.

Juga dalam cara kita bersikap terhadap manusia, lebih-lebih terhadap lawan jenis. Konsep dan maksud “moderasi beragama” itu kalau benar-benar ditarik garis nilainya, sebenarnya inti nilainya itu make sense dengan problem kesetaraan gender, yang dewasa ini jadi bahasan agak rigid.

Begini, idiom antara “moderasi beragama” dan “kesetaraan gender” itu sebenarnya berangkat dari problem yang sama, yakni karena adanya perbedaan yang dipahami secara keliru. Sehingga menuai konflik, dan berbagai masalah. Adanya latar belakang perbedaan yang kemudian diejawantahkan dengan penuh tendensi primordial, termasuk mengakarnya kultur patriarki di dalam kesadaran hidup kita, mengakibatkan munculnya benih-benih potensi ketidakadilan. Lahirlah kemudian dikotomi “superior” dan “inferior”.

Seolah-olah ada yang lebih unggul dari yang lain. Padahal, seluruh apa saja yang ada di dunia ini derajatnya adalah sama dan sejajar. Seluruhnya tanpa terkecuali, adalah sama-sama makhluk yang harus merawat entitas kemakhlukannya masing-masing—lebih-lebih kita semua, para manusia, adalah “hamba”.

Pada akhirnya, kita harus satu langkah lebih maju dari kata “maju” yang telah digaung-gaungkan oleh peradaban modern dewasa ini. Kita harus beranjak dari kejumudan pikiran dan kebekuan wawasan tatkala memahami sesuatu hal, apapun itu. Supaya kita tidak terjerumus ke dalam lembah kenistaan hidup.

Kalau kita tetap saja menyibukkan diri dalam kubangan hal-hal jumud dan beku—misalnya sibuk dengan kultur patriarki dan dikotomi antara “superior” dan “inferior”—selamanya kita tidak akan sampai pada derajat keadilan pandangan dan sikap yang benar-benar adil.

Terakhir, kalau harus dipadatkan soal bagaimana cara kita mengimplementasikan wacana “moderasi beragam” dalam bingkai “kesetaraan gender”. Hal yang paling logis dan sederhana, setidaknya untuk bisa sama-sama kita lakukan, adalah kita harus mau melihat dan memahami kehidupan dalam kosmos “kemanusiaan”. Maksud saya begini, kita harus mau melihat kumpulan manusia (laki-laki maupun perempuan) dalam jagat raya dunia ini sedemikian rupa dengan memfokuskan resolusi penglihatan kita untuk melihatnya murni sebagai benar-benar “manusia”.

Sebab selama ini, kita (juga ilmu pengetahuan kita) belum benar-benar mengenal dan memahami apa, siapa dan bagaimana makhluk yang berjuluk: “manusia”. Karena yang lebih kita mengerti dan kenali hanyalah baju-baju kebudayaannya, identitas dan simbolisme yang melekatinya, wajah-wajah sikap dan perilaku luarnya, serta bungkus-bungkus yang melapisinya. Akar permasalahannya sebenarnya di sini, yakni di dalam ketidakpecusan dan ketidakmampuan kita memahami hakikat nilai “manusia” dan “kemanusiaan” itu sendiri.

Contoh problemnya begini, umpamanya, kalau ada orang punya agama berbeda atau golongan yang berbeda, cepat-cepat kita lihat orang itu dengan paradigma berpikir golongan yang amat superfisial—dan mendiskriminasi.

Dan, kalau berhadapan dengan masalah gender—melihat dan menilai lelaki atau wanita misalnya—kita selalu saja terjebak dalam kotak jenis kelamin untuk saling membeda-bedakan. Padahal gender itu bukan soal jenis kelamin, gender itu sesungguhnya semesta nilai yang ingin mengajak kita untuk melihat “laki-laki” dan “perempuan” dalam bingkai “kemanusiaan”.

Terakhir sekali, kalau boleh saya simpulkan, satu kata yang mewakili maksud dan tujuan dari “moderasi beragama” dan “kesetaraan gender” adalah tentang “kemanusiaan”.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru