27.1 C
Jakarta

Moderasi Beragama di Tengah Wabah Corona

Artikel Trending

KhazanahModerasi Beragama di Tengah Wabah Corona
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kritik yang muncul dari pelbagai elemen masyarakat. Pertama, pemerintah dinilai lambat menangani wabah corona. Kedua, kebijakan local lockdown yang kian banyak disorot oleh masyarakat karena membatasi hubungan sosial (social distancing). Ketiga, soal fatwa Mejelis Ulama Indonesia (MUI) terkait anjuran mengganti shalat jum’at dengan shalat dhuhur di rumah (himbauan ibadah).

Selain itu, pemerintah juga dihadapkan dengan persoalan kebangsaan yang berpotensi menjadi ancaman bagi mozaik kebhinekaan negara Pancasila. Apa ancaman itu? Ancamannya adalah derasnya informasi hoax tentang virus corona, dan maraknya ujaran kebencian yang merajalela.

Kelompok Islam ekstrem dan radikal telah banyak mengambil kesempatan dan kesempitan di balik wabah corona yang melanda masyarakat Indonesia. Kesempatan itu, tentu berkaitan dengan kelompok-kelompok tersebut yang afiliasi ideologinya tergolong ideologi transnasional.

Dalam konteks era digital, sebagian media Islam ekstrem secara masif membangun narasi-narasi radikal seolah-olah pemerintah lalai dalam mengatasi bahaya corona. Wabah corona terkesan menakut-nakuti banyak orang, bahkan dapat dinilai sebagai terorisme di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita.

Secara politik, sebenarnya tantangan besar pemerintah adalah bukan hanya bagaimana kemampuan pemerintah dalam mengatasi virus corona. Akan tetapi, tantangan kebangsaan pemerintah adalah menghadapi ancaman terhadap persatuan dan keutuhan bangsa dari ekstremisme dan radikalisme agama.

Oleh karena itu, kelompok Islam yang terpapar ekstremisme dan radikalisme keagamaan memang serius menjadi musuh nyata bagi ideologi negara. Misi kelompok tersebut cenderung melakukan agenda-agenda politik identitas yang mengemas agama sebagai rujukan dalam berpolitik maupun mengambil sebuah kebijakan.

Tidak hanya itu, problem sesungguhnya ketika informasi hoax, dan ujaran kebencian terjadi secara sistemik mempengaruhi pola pikir atau cara pandang kita dalam memahami agama. Yang awal mulanya sangat toleran, dan moderat. Namun, tiba-tiba tanpa dirasakan. Kian berubah menjadi ekstrem dan radikal.

Musibah Corona dan Peran Media

Corona adalah musibah yang harus kita maknai sebagai ujian dan tantangan yang datang dari Tuhan. Jika ujian ini direspon oleh informasi hoax dan ujaran kebencian di pelbagai media Islam ekstrem–radikal, maka yang muncul hanyalah permusuhan, perpecahan, dan kerugian bagi seluruh umat beragama.

Pemerintah telah berkomitmen baik untuk mengoptimalkan pencegahan covid-19 melalui local lockdown, dan lain sebagainya. Hal ini mendorong kita untuk ber-tabayyun, dan bermuhasabah diri apa makna dibalik musibah yang ini? Apakah musibah ini menjadi petanda bagi umat beragama untuk bersatu?

Selama ini, kelompok Islam ekstrem–radikal tidak ada niatan untuk meneguhkan Islam rahmatan lil ‘alamin, yaitu Islam yang meneguhkan pada visi keummatan dan persatuan dari semua golongan agama untuk menjaga keamanan dan keselamatan dari wabah corona yang mengancam kita semua.

Ironisnya, media Islam ekstrem–radikal kian terkesan menjadi raja dalam segala isu, terutama isu yang bersentuhan dengan politik pemerintah dalam rangka mengambil sebuah kebijakan selalu dikait-kaitkan dengan isu agama. Bahkan seolah-olah mereka menciptakan terorisme baru di media melalui wabah corona, sehingga membuat masyarakat sangat ketakutan pasca membaca informasi itu.

Peran media tersebut, malah membuat kekacauan dan musibah baru. Musibahnya adalah rusaknya hubungan sosial dan keagamaan kita sebagai umat Islam dengan non-muslim. Ketika hubungan ini pecah, maka terputuslah tali persaudaraan dan persatuan kita dalam berbangsa dan bernegara.

BACA JUGA  Melihat Lebaran dengan Spirit Memerangi Intoleransi dan Radikalisme

Umat Islam sebagai kaum mayoritas, seharusnya menjadi pengayom kaum minoritas, dan menjadi pencipta sejuknya harmonisasi agama. Sebagaimana agama mengajarkan kita untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan, sebab itu adalah inti dari kedamaian dan kemanusiaan.

Negeri ini terdiri dari banyak ulama, tokoh agama, dan pemikir yang sangat beragam. Sehingga dengan beragamnya wawasan mendorong kesadaran kita untuk menjaga hubungan agama dengan negara. Tentu Peran keduanya perlu saling membantu masyarakat kita yang terpapar atau korban virus corona.

Di tengah musibah corona, korbannya dapat dinilai sebagai korban kemanusiaan. Jadi jika kelompok ekstrem–radikal semakin rajin mengkritik seluruh kebijakan pemerintah, sungguh hal itu merupakan kritik yang tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan konsep moderasi keberagamaan.

Keteladanan Kebijakan

Wabah corona menyerang masyarakat dunia, sebuah tragedi kemanusiaan yang pernah dialami Nabi Muhammad SAW menjelang hijrah dari kota Mekah ke Madinah. Wabah corona (tho’un) ketika itu menyerang masyarakat, sehingga Nabi pun membuat kebijakan lockdown dan social distancing.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amir, dia pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW; Wahai Rasulullah, apakah kunci keselamatan itu? Rasulullah menjawab: “Jagalah lisanmu, diamlah di rumahmu dan tangisi dosa-dosamu”. (HR. Imam Tirmidzi, hadist hasan) [sumber: santrinews.com 23/03/20]

Kebijakan Presiden Jokowi dalam hal karantina lokal alias lockdown dan social distancing atau physical distancing merupakan langkah efektif dan berdasarkan kemanusiaan. Lebih dari itu, kebijakan pemerintah sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman konsep maqasidus syariah.

Sebaliknya kita perlu memberi apresiasi, karena dengan kebijakan pemerintah kian banyak menjadikan tenaga medis adalah pahlawan dan pejuang dari kemanusiaan. Waktu demi waktu, tenaga medis berjuang dan berupaya demi untuk menyelamatkan korban kemanusiaan (korban virus corona).

Pun tidak pilih siapapun, mereka tidak kenal lelah demi keselamatan ratusan nyawa manusia. Perjuangannya tak dapat kita lupakan begitu saja, sebab itu mengingatkan kita kepada pesan sahabat Nabi Sayyidina Ali. r.a “Kita mungkin berbeda dalam iman, tapi tetap bersatu dalam kemanusiaan”. Artinya, kemanusiaan itu merupakan hal yang sangat dijunjung tinggi oleh semua ajaran agama.

Pada kenyataan ini, virus atau wabah corona tidak hanya merusak mental, pikiran, kesehatan, iman dan pendidikan. Melainkan juga mempengaruhi sistem politik, hukum dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Paling tidak, kebijakannya memiliki kepastian dan kemanfaatan hukum yang tinggi. Baik itu, dalam keadilan ekonomi maupun dalam beragama.

Menurut hemat penulis, catatan bagi para aktivis khilafah, kaum ekstremis dan radikalis perlu memahami secara lebih kompleks tentang bagaimana kebijakan Presiden Jokowi dalam mengambil sebuah putusan (istimbatul ahkam). Tentu hal itu didasarkan kepada soliditas persatuan masyarakat berbangsa dan bernegara, agar tetap solid menjaga kesehatan dan membatasi diri kita yang sifatnya berinteraksi langsung dengan masyarakat.

Indonesia merumuskan moderasi beragama tujuannya untuk menguatkan ideologi negara bangsa yang merdeka dari invasi paham ekstremisme dan radikalisme. Misi moderasi itu menuntut kita untuk membentengi diri dari kelompok berideologi transnasional yang bisa menyerang kapan saja. Terutama pemerintah dan tenaga medis sebagai pejuang anti virus corona.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru