Harakatuna.com – Di tengah perkembangan zaman dan perubahan sosial yang cepat, peran perempuan dalam masyarakat terus berkembang, termasuk dalam hal mobilitas dan kebebasan mereka untuk keluar rumah. Dalam konteks masyarakat tradisional, terutama di dunia Islam, terdapat pandangan yang mengatur peran dan ruang gerak perempuan berdasarkan nilai-nilai yang dianggap menjaga kehormatan, keselamatan, dan stabilitas sosial. Seiring waktu, pandangan semacam itu laik direinterpretasi, baik dari sudut pandang klasik maupun kontemporer.
Secara historis, banyak budaya dan masyarakat, termasuk beberapa interpretasi dalam Islam, menekankan perempuan untuk tetap berada di rumah atau memiliki keterbatasan mobilitas. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa alasan, mulai dari keselamatan hingga kehormatan, serta norma-norma sosial yang mengatur peran gender. Selain itu, beberapa ulama memberikan interpretasi berbeda mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan perempuan dan ruang geraknya.
Salah satu ayat yang menjadi rujukannya adalah surah Al-Ahzab ayat 33. Allah Swt. berfirman:
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ
“Tetaplah (tinggal) di rumah-rumahmu dan janganlah berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Ayat di atas, yang berbicara langsung kepada istri-istri Nabi, menjadi landasan bagi beberapa ulama klasik untuk menekankan bahwa perempuan sebaiknya membatasi aktivitas di luar rumah, kecuali jika ada kebutuhan yang mendesak.
Tafsir Al-Wajiz, misalnya, yang ditulis Wahbah al-Zuhaili, menafsirkan bahwa ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada istri-istri Nabi untuk tinggal di rumah dan hanya keluar jika diperlukan, dengan tetap menjaga aturan syariat. Tafsir tersebut menyebutkan bahwa istri-istri Nabi dilarang berhias atau berperilaku seperti pada masa jahiliah, termasuk memperlihatkan perhiasan atau mengenakan gelang kaki yang dapat menarik perhatian.
Tafsir lain memberikan penjelasan lebih lanjut dengan menyatakan bahwa perintah itu ditujukan khusus kepada istri-istri Nabi, yang dituntut untuk memberikan teladan dalam hal menjaga kehormatan dan adab. Seorang Muslimah dilarang menunjukkan perhiasan mereka dan berperilaku seperti orang-orang pada masa jahiliah, yang tidak memiliki aturan moral yang ketat.
Perintah untuk melaksanakan salat dan zakat dalam ayat tersebut juga dianggap sebagai peringatan untuk tetap taat pada aturan agama, sehingga Allah membersihkan ahlul bait dari dosa-dosa dan menjaga mereka dari perbuatan yang menurunkan kehormatan.
Perspektif Ulama Klasik-Kontemporer
Di sisi lain, beberapa ulama klasik dan kontemporer menafsirkan ayat di atas dengan pendekatan yang lebih fleksibel, mempertimbangkan perkembangan sosial dan kebutuhan masyarakat. Al-Qurthubi dalam tafsirnya, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, berpendapat bahwa meskipun ayat tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi, maknanya bisa diperluas kepada perempuan Muslim secara umum. Ia menegaskan pentingnya menjaga adab dan kehormatan dalam ruang publik namun tidak menutup kemungkinan perempuan untuk keluar rumah jika dibutuhkan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menekankan bahwa seorang perempuan boleh keluar rumah untuk keperluan yang diperbolehkan oleh syariat, seperti mengunjungi orang tua, keluarga, atau memenuhi kebutuhan sosial. Dengan catatan, ia harus menjaga aurat dan kehormatannya serta tidak melakukan tindakan yang melanggar syariat. Al-Ghazali berpendapat bahwa tidak ada larangan absolut bagi perempuan untuk beraktivitas di luar rumah, selama aturan dasar tetap diindahkan.
Lebih lanjut, ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatwa Al-Mar’ah Al-Muslimah menyatakan bahwa perempuan Muslimah memiliki kebebasan untuk bekerja atau keluar rumah selama mematuhi aturan syariat. Al-Qardhawi bahkan menekankan bahwa dalam situasi tertentu, keluar rumah bisa menjadi keharusan, misalnya untuk menuntut ilmu atau bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga. Pandangan tersebut mencerminkan pemahaman yang lebih inklusif dan adaptif terhadap perkembangan peran perempuan dalam masyarakat modern.
Peran Sosial Perempuan dalam Islam
Dalam masyarakat yang semakin maju, kebutuhan untuk memahami peran perempuan dalam konteks sosial yang lebih luas menjadi semakin penting. Beberapa ulama memandang ayat-ayat yang membahas mobilitas perempuan sebagai upaya menjaga kehormatan dan keamanan mereka, sementara ulama lain menekankan pentingnya memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Pendekatan ulama kontemporer, seperti yang disampaikan oleh Al-Ghazali dan Al-Qardhawi, berusaha memberikan pandangan yang menyeimbangkan antara tradisi dan tuntutan zaman. Mereka menekankan bahwa meskipun perempuan harus mematuhi aturan syariat, terdapat kebutuhan untuk mengakomodasi peran perempuan dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan kontribusi sosial lainnya.
Dalam hal itu, tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an terkait mobilitas perempuan lebih diarahkan pada prinsip keseimbangan antara menjaga kehormatan dan menjalani kehidupan yang produktif sesuai dengan ajaran Islam.
Perdebatan mengenai izin bagi perempuan Muslimah untuk keluar rumah menampilkan beragam perspektif yang memiliki dasar argumen yang kuat. Sebagian ulama klasik menekankan pembatasan ruang gerak perempuan dengan merujuk pada ajaran-ajaran Nabi, khususnya dalam konteks kehormatan dan perlindungan keluarga.
Namun, pandangan tersebut mendapatkan interpretasi yang lebih fleksibel dari ulama kontemporer, yang mempertimbangkan kebutuhan zaman serta nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan, keamanan, dan partisipasi aktif dalam masyarakat.
Dengan demikian, keputusan mengenai mobilitas perempuan sangat bergantung pada situasi, kebutuhan individu, serta kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Islam yang telah ditetapkan. Hal itu menunjukkan adanya ruang untuk interpretasi dalam memahami peran perempuan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa mengabaikan nilai-nilai agama yang menjadi fondasi.
Pandangan kontemporer membuka kesempatan bagi perempuan untuk berperan lebih aktif dalam masyarakat dengan tetap menjaga identitas Islam itu sendiri. Pemahaman tersebut sekaligus mengajarkan bahwa Islam tidak mengikat secara mutlak, tetapi memberikan kebebasan sesuai konteks kebutuhan, asal tetap berada dalam koridor syariat. Islam mengakomodasi perubahan sosial sekaligus menjaga prinsip-prinsip dasar yang menjadi pegangan umat Muslim sepanjang masa.