32.1 C
Jakarta
spot_img

Mitos Kecantikan dan Hegemoni Medsos: Menyoal Otoritas Tubuh Perempuan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMitos Kecantikan dan Hegemoni Medsos: Menyoal Otoritas Tubuh Perempuan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ketika mendengar kata “cantik,” apa yang terlintas dalam pikiran kita? Nikita Willy atau Dian Sastro? Atau langsung membayangkan sosok perempuan yang putih, mulus, langsing, bak artis Korea? Kemungkinan besar, konsep yang terlintas adalah gambaran serupa. Namun, siapa yang sebenarnya memberikan standar atas konsep cantik pada perempuan? Dan bagaimana seharusnya perempuan memiliki otoritas penuh atas tubuhnya?

Dewasa ini, saya sering melihat perempuan berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya dengan label-label yang melekat pada diri mereka. Salah satu fenomena yang semakin marak adalah standarisasi kecantikan. Standar ini telah membentuk kultur baru: perempuan dianggap cantik jika putih bersih, glowing, tidak berjerawat, kurus semampai, memiliki rambut hitam lurus berkilau, bulu mata panjang lentik, hingga bentuk tubuh tertentu yang ideal menurut masyarakat.

Fenomena tersebut menghantam hampir setiap generasi dan kalangan: mulai dari remaja, perempuan dewasa, hingga mereka yang mendekati usia lanjut. Dari anak sekolah, pekerja, hingga ibu rumah tangga, semua merasakan dampak diskriminasi berbasis standar kecantikan. Di dunia kerja, misalnya, perempuan sering dipaksa memikirkan penampilan fisiknya karena itu dianggap sebagai prasyarat untuk mendapatkan pekerjaan.

Standar kecantikan ideal itu dibentuk oleh figur publik atau selebgram yang kerap menjadi alat korporasi industri kecantikan untuk memengaruhi para pengikut mereka. Iklan kecantikan turut menampilkan konsep “kecantikan sempurna” agar dijadikan acuan oleh audiens.

Ironisnya, perempuan sering kali rela mencoba berbagai cara, baik yang memberikan hasil instan maupun yang memerlukan waktu bertahun-tahun, demi mendapatkan label “cantik alami.” Tragisnya, mereka sering menyakiti diri sendiri dalam prosesnya, meski tubuh sejatinya adalah hak pribadi setiap individu.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan ingin menjadi cantik dalam versi pribadi. Namun, benarkah eksistensi perempuan semata-mata untuk memenuhi standar yang ditentukan masyarakat? Apa faktor yang membentuk konstruksi sosial terkait standar kecantikan tersebut? Mengapa masyarakat begitu terhegemoni hingga menyeragamkan konsep “cantik”? Bagaimana hegemoni medsos memengaruhi otonomi tubuh perempuan? Dan bagaimana Islam memandang persoalan tersebut sebagai bentuk persuasi baru? Padahal, sudah jelas bahwa setiap manusia memiliki keunikan masing-masing.

Industri Kecantikan dan Hegemoni Medsos

Selama bertahun-tahun, kita menyaksikan perempuan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri. Mereka melakukan suntik putih, meski secara alami kulit mereka berwarna sawo matang. Ada juga yang menggunakan obat pelangsing hingga menyiksa tubuhnya dengan menahan makan dan minum. Rambut pun diproses agar lurus, hitam, dan berkilau, sesuai dengan standar kecantikan yang dijadikan acuan.

BACA JUGA  Dari IRT Jadi Eksekutor: Bagaimana Perempuan Terjebak Jaringan Terorisme?

Persoalan tubuh perempuan sebenarnya telah dibongkar oleh feminis Naomi Wolf dalam bukunya, The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women. Buku yang terbit pada 1991 itu mengupas bagaimana kapitalisme memengaruhi masyarakat dalam membentuk mitos kecantikan. Menurut Wolf, kebebasan perempuan telah dikontrol oleh sistem yang berakar pada patriarki. Mitos kecantikan yang dibawa oleh industri kecantikan digunakan sebagai alat untuk membuat perempuan merasa tidak sempurna.

Fenomena standar dan mitos kecantikan diperkuat oleh pesatnya arus teknologi informasi dan medsos. Industri kecantikan semakin mengakar karena medsos memberikan ruang luas bagi promosi, membuat konsumen tergiur untuk mencoba produk-produk tersebut.

Dalam bukunya, Wolf juga mengkritik budaya media yang sering kali menjadi teror sekaligus candu. Media memaksa kita untuk mengikuti dan memuaskan standar kecantikan seperti yang digambarkan dalam iklan. Sementara itu, pihak yang diuntungkan adalah industri kecantikan itu sendiri.

Konsep Cantik dalam Kacamata Islam

Dalam pandangan Islam, kita dianjurkan untuk selalu cantik karena Allah. Cantik dalam Islam muncul dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Secara jasmani, kecantikan dapat diukur melalui kebersihan tubuh dan pemenuhan syariat seperti menutup aurat. Sementara secara rohani, kecantikan yang utama adalah amal ibadah seseorang.

Namun, Islam juga menekankan bahwa kecantikan tidak terbatas pada fisik. Ada kecantikan jiwa dan hati, serta kecantikan akal dan pikiran. Kecantikan yang berasal dari hati dan jiwa lebih mudah menjadi pusat kekaguman bagi orang lain, terutama di mata Allah.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk fisik dan harta kalian, tetapi pada hati dan perbuatan kalian” (HR. Muslim).

Karena itu, Islam memandang bahwa puncak kecantikan hakiki sejalan dengan ketundukan dan kepasrahan seseorang kepada Allah. Hal itu juga tercermin dalam keterlibatannya untuk membantu sesama makhluk Allah.

Namun, kecantikan hati saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan kecerdasan. Seperti kata Imam Syafi’i, “Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.”

Perempuan harus terus belajar, karena kecantikan tanpa kecerdasan hanya akan membuat kita semakin tertinggal. Anak-anak membutuhkan ibu yang cerdas untuk mendidik mereka, karena perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Nur Hidayatul Ilmiyah
Nur Hidayatul Ilmiyah
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru