31.4 C
Jakarta
Array

Miskonsepsi Khilafah

Artikel Trending

Miskonsepsi Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Diantara konsepsi sistem kepemimpinan politik yang paling populer di kalangan umat Islam adalah khilafah. Oleh para pendukung khilafah, ia dianggap sebagai sistem politik yang terbaik, dan oleh karena itu menjadi kewajiban ummat Islam untuk menegakkannya.

Mereka mendasarkan argumen pada al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad. Mereka sering menyebut hadits yang mereka pahami sebagai informasi bahwa di akhir zaman nanti, sistem khilafah yang berlandaskan atas jalan kenabian akan berlaku dan berjaya, yaitu:

“Rasulullah bersabda: ‘Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.’ Beliau kemudian diam.” (HR Ahmad dan al-Bazar).

Hadits tersebut dipahami secara tekstual dan menghasilkan pemahaman bahwa setelah periode kenabian, akan lahir fase “khilafah dengan jalan kenabian”, dilanjutkan dua fase kekuasaan yang bernilai negatif, dan diakhiri dengan fase kembali kepada “khilafah dengan jalan kenabian”.

Beberapa Kedangkalan Pemahaman

Kedangkalan pemahaman tersebut nampak sangat terasa karena beberapa alasan:
Pertama, empat khalifah yang paling awal disebut dengan sebutan yang berbeda-beda.

Ummat Islam generasi awal tidak begitu menganggap penting sebutan untuk sistem kepemimpinan yang sedang mereka jalankan. Mereka menyebutnya dengan sebutan yang bermacam-macam.

Pada saat Abu Bakar ra. menjadi pemimpin menggantikan Rasulullah, ada salah seorang sahabat yang menyebutnya dengan sebutan “khalîfatullâh”. Namun, Abu Bakar menolak sebutan itu dan menegaskan bahwa dirinya bukanlah pengganti Allah, melainkan pengganti Nabi Muhammad saw.. Kisah ini disampaikan oleh Ibnu Mulaikah, bahwa seseorang berkata kepada Abu Bakar: “Wahai khalifah Allah”. Abu Bakar langsung bereaksi dengan mengatakan: “Saya adalah khalifah Muhammad saw., dan saya suka dengan itu.”

Demikian pula dengan Umar Bin Khaththab. Bahkan ia sampai menghardik orang yang memangginya dengan sebutan khalîfatullâh. Umar berkata:

“Kamu ini bagaimana? Kamu telah melakukan tindakan berlebihan. Ibuku menamaiku dengan Umar. Jika kamu memanggilku dengan nama ini, aku akan menerimanya. Setelah aku besar, aku diberi kunyah (sebutan) Abu Hafsh. Jika kamu memanggilku dengan kunyah ini, aku bisa menerimanya. Kemudian kalian mengangkatku sebagai pemimpin, lalu kalian memanggilku amir al-mu’minin. Jika kamu memanggilku dengan panggilan ini, itu sudah cukup bagimu.” (al-Adzkâr, hal. 361).

Awalnya, Umar juga disebut khalifah dalam konteks sebagai pengganti-pengganti Rasulillah (khalîfatu khalîfati Rasulillâh), maksudnya adalah pengganti Abu Bakar. Namun, karena terlalu panjang, sebagian sahabat merasa memerlukan panggilan yang lebih memudahkan. Sampai akhirnya, muncul panggilan amir al-mu’minin.

Kedua, mekanisme pengangkatan keempat khalifah pertama. Mekanisme ini menunjukkan bahwa khilafah bukanlah sistem politik. Keempat khalifah pertama dipilih dengan berbagai cara yang berbeda-beda.

Abu Bakar dipilih dalam sebuah perdebatan dinamis cenderung alot (syûrâ) di Saqifah Bani Sa’idah, lalu dibai’at oleh Umar, lalu disusul oleh banyak sahabat berpengaruh lainnya, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin. Sebelum Abu Bakar meninggal dunia, dan merasa bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, dia menunjuk Umar sebagai penggantinya. Sedangkan Utsman bin Affan dipilih menjadi khalifah oleh sebuah tim formatur bentukan Umar bin Khaththab yang terdiri atas: Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Nama yang terakhir tidak hadir sampai keputusan diambil, karena belum sampai Madinah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib dibai’at di masjid setelah banyak orang mendesaknya untuk menjadi pemimpin pengganti Utsman yang baru saja terbunuh.

Ketiga, dua ayat al-Qur’an yang di dalamnya terdapat kata khalîfah, yaitu: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (al-Baqarah: 30) dan “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. “ (QS. Shâd: 26) berkonteks sangat jauh dari pemahaman tentang sistem politik. Bahkan Daud jelas-jelas adalah seorang raja, karena dia merupakan menantu Raja Thalut yang setelah Thalut berhenti berkuasa kemudian digantikannya. Di dalam al-Qur’an, Thalut jelas-jelas disebut sebagai raja dalam konotasi yang baik: “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. (QS. al-Baqarah: 247). Daud kemudian digantikan oleh puteranya, Nabi Sulaiman. Dengan demikian, ketiganya adalah raja, dan kepemimpinan mereka dipuji oleh al-Qur’an.

Bahkan di dalam al-Qur’an, terdapat kata yang seakar dengan khalîfah, tetapi berkonotasi negatif, yaitu: “Maka “mengganti” (datanglah) sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu mereka, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59).

Keempat, menganggap bahwa sistem khilafah yang dimaksudkan itu berakhir pada 1924 dengan berakhirnya Daulat Utsmaniyah. Padahal jelas-jelas bahwa Daulat Utsmaniyah, dan sesungguhnya juga Daulat Abbasiyah dan bahkan Daulat Umayyah, menerapkan sistem kerajaan. Sebab, Mu’awiyah secara sepihak mengangkat puteranya, Yazid sebagai penggantinya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, khilafah sesungguhnya adalah sistem politik apa pun yang memungkinkan untuk diterapkan hukum-hukum Allah, sehingga rakyat di dalamnya bisa beribadah dengan baik dan juga bisa membangun hubungan di antara sesama mereka secara harmonis. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru