27.4 C
Jakarta

Milenial dan Tantangan Dakwah Moderat di Era Digital

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMilenial dan Tantangan Dakwah Moderat di Era Digital
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Konten Dakwah Era Digital Dakwah Moderat, Penulis: Dr. Abdul Syakur, M.Ag dan Dr. Agus Hermanto, M.H.I., ISBN: 978-623-329-304-4, Tahun Terbit: 2021, Penerbit: Literasi Nusantara, Peresensi: M. Nur Faizi.

Harakatuna.com – Pertemuan dua tokoh besar, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar, Syekh Ahmad el-Tayyeb, 4 Februari 2019 lalu menghasilkan dokumen penting dalam hal kemanusiaan (hal. 29). Dokumen yang disebut sebagai human fraternity document itu, menegaskan bahwa ekstrimisme akut, perang, intoleransi, hasrat saling memusnahkan, serta adanya rasa benci diantara umat manusia, adalah musuh bersama (hal.30). Semua hal tersebut tidak boleh dilakukan, apalagi dengan membawa nama agama.

Untuk memadamkan semua perilaku buruk tersebut, membutuhkan dorongan moderasi yang kuat. Kata moderasi berasal dari bahasa Inggris, “moderation” yang berarti tidak berlebihan. Apabila ditempatkan sebagai pelaku, kata moderasi berkaitan erat dengan kata “moderator”, yang berarti penengah jalannya diskusi. Maka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi mempunyai makna menghindari kekerasan atau tindak keekstriman (hal. 31).

Jalan moderasi akan menjadikan semua orang tidak terbawa emosi saat menghadapi perbedaan. Maka apabila kata moderasi dipakai dalam konteks agama, akan secara bertahap mengurangi kekerasan-kekerasan yang terjadi antar-agama. Secara bertahap, manusia yang memandang pada konteks moderasi agama, dirinya akan menjadikan ajaran luhur agama sebagai panutan untuk menyelesaikan permasalahan.

Godaan untuk melakukan tindak radikalisme ataupun kekerasan dalam beragama menjadi kecil, sehingga menciptakan iklim nyaman dan damai dalam menjalankan agama. Manusia akan menjadi sosok yang toleran, dan peka terhadap lingkungan. Tidak memandang sebuah perbedaan sebagai halangan, melainkan sebuah peluang untuk mempererat persatuan.

Hal ini menjadi penting, mengingat keanekaragaman di Indonesia adalah sebuah takdir yang telah diletakkan oleh Tuhan. Maka bagaimana cara untuk menyikapi takdir yang diberikan, menjadi sebuah tanda bahwa manusia tersebut bisa menghadapi segala tantangan yang diberikan Tuhan.

Selain terdapat enam agama yang dipeluk oleh masyarakat, terdapat juga keanekaragaman suku, budaya, bahasa, bahkan pakaian yang digunakan. Semua perbedaan itu, menjadi tantangan yang harus segera diselesaikan dengan sikap moderat.

Dari waktu ke waktu, konsep moderasi tidak pernah berubah, yaitu mengetengahkan masalah dengan pemikiran terbuka. Akan tetapi, cara untuk mengajak semua orang untuk bersikap, terdapat beberapa perbedaan yang harus diadaptasikan. Misalnya di masa digital, ajakan untuk bersikap moderat bisa disebarkan melalui media sosial.

Pun dalam konteks pelaksanaan, moderasi juga bisa dilaksanakan via virtual, seperti tidak menjelek-jelekkan kepercayaan orang lain di media ataupun tidak menyeret agama dalam kejahatan virtual yang dilakukan (hal. 56). Sikap-sikap kecil semacam itu, akan melatih moderasi pada level tinggi.

Untuk memupuk nilai-nilai moderasi lebih dalam, diperlukan juga ajaran agama yang kuat. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan nilai keburukan. Sehingga apabila seseorang benar-benar memahami agama, dirinya akan bertransformasi menjadi sosok yang penyayang kepada setiap insan. Otomatis nilai moderasi juga akan menempel pada diri.

BACA JUGA  Felix Siauw dan Propaganda Khilafah di Indonesia

Oleh karena itu, generasi milenial sebagai pewaris zaman digital mempunyai peran penting dalam mensukseskan laju moderasi. Kehidupan generasi milenial yang akrab dengan budaya modernisme, membuat mereka lebih terlatih dan lebih siap dalam menghadapi digitalisasi (hal. 63).

Tugas bersama untuk menyiapkan generasi milenial sebagai calon terbaik untuk memimpin bangsa ke arah perdamaian. Sehingga bangsa Indonesia ke depannya akan mengusung ajaran toleransi sebagai landasan utama bernegara.

Hal ini sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Seluruh masyarakat tanpa terkecuali wajib menghormati keyakinan yang berbeda. Karena ideologi Pancasila, tidak memberatkan pada keyakinan agama yang sama, melainkan memasukkan manusia ke dalam satu agama, sehingga bisa memperoleh keluhuran sikap dalam menjalankan laku sosial.

Apabila sila pertama sudah tercapai, maka akan lahir sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Sesama manusia harus saling menghormati. Sesama manusia harus saling bertoleransi. Dan sesama manusia harus sama-sama menjunjung rasa perdamaian dan keamanan.

Dilanjutkan sila ketiga, persatuan akan mudah diraih apabila semua konteks tersebut berhasil diwujudkan. Manusia yang beradab, akan mudah menerima sesama. Dan menyikapi segala bentuk perbedaan dengan cara yang bijaksana.

Akan lebih banyak permasalahan yang bisa diselesaikan dengan teknik musyawarah. Manusia tidak lagi mementingkan dirinya sendiri. Semua menyatukan pendapat untuk kemaslahatan umat. Dan tidak terlihat lagi ada egoisme yang muncul dari masing-masing individu. Dan ketika semua itu berhasil diwujudkan, maka keadilan menjadi hadiah terindah dalam suatu tata kelola negara.

Apabila ditelaah lebih lanjut, kelima sila yang tersusun dalam ideologi negara merupakan warisan semangat yang datang dari para pahlawan terdahulu (hal. 83). Mereka berharap, walau bagaimana pun keadaannya nanti, semangat “Pancasila” akan terus ditegakkan sepanjang zaman. Sehingga unsur-unsur kesejahteraan harapannya akan ikut bersama dalam tata kelola negara.

Dengan memakai prinsip moderasi, sesungguhnya generasi milenial juga akan banyak bersinggungan dengan nilai-nilai Pancasila. Hal itu dikarenakan keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat. Antara moderasi dan Pancasila sama-sama mengarah pada kerukunan dan perdamaian masyarakat Indonesia.

Hal terpenting yang harus dilakukan adalah bagaimana mengadapsikan prinsip moderasi dalam kehidupan modern saat ini. Banyak yang berbeda, termasuk tantangan yang dihadapi. Oleh karena itu, penyelesaian dari masalah moderasi juga harus diperbarui.

Tentu saja dalam hal ini membutuhkan jiwa-jiwa milenial yang kreatif, tangguh, dan berani menyikapi segala masalah yang berkaitan dengan moderasi. Apabila milenial mampu menjawab tantangan tersebut, maka tongkat estafet dari prinsip Pancasila bisa diteruskan di zaman digital.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru