28 C
Jakarta

Mewujudkan Literasi Ideal Melalui Critical Thinking

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMewujudkan Literasi Ideal Melalui Critical Thinking
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Data Puspernas tahun 2019 menyebut jumlah perpustakaan di Indonesia mencapai 164.610 perpustakaan. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara kedua dengan jumlah perpustakaan terbanyak di dunia, dibawah India dengan jumlah 323.605 perpustakaan. Akan tetapi, jumlah yang sedemikian melimpah tidak diimbangi oleh minat baca masyarakat. UNESCO mencatat, minat baca masyarakat Indonesia berada di angka 0,001%, yang artinya dari 1000 masyarakat Indonesia, hanya ada 1 orang yang rajin membaca.

Selaras dengan data tersebut, permasalahan sebenarnya timbul dari absennya perhatian seluruh elemen masyarakat dari bagaimana cara mengkonsumsi informasi. Kemajuan digital, hanya mengajarkan bagaimana seseorang bisa memproduksi informasi secara cepat. Melalui berbagai platform, baik berupa video, foto, tulisan, seseorang diajari tentang bagaimana membuat sesuatu secara cepat menggunakan teknik editing, research, dan teknik-teknik lainnya.

Sehingga kegiatan membaca, menelaah, ataupun kegiatan lain untuk mencerna informasi secara dalam, terlindas oleh gaya hidup matrialistik. Motivasi seseorang untuk mencerna informasi, hanya sebatas untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Sangat sulit untuk menemukan semangat murni dalam mencerna informasi. Maka bisa ditebak, informasi yang didapatkan hanya berhenti pada satu isu saja, dan berakhir pada kesempitan sudut pandang.

Di era teknologi, hal itu diperparah oleh keberadaan media sosial, yang mengelompokkan seseorang berdasarkan satu kesukaan. Jejak digital yang terekam dalam like, follow, comment, secara tidak langsung mewakili kecenderungan seseorang terhadap sesuatu. Misalnya seseorang yang setuju akan satu isu, cenderung mengikuti dan meng-update informasi pada isu tersebut, begitu pula seballiknya. Tidak ada ruang tengah, untuk membangun kesinambungan antara dua pendapat yang berbeda. Setiap waktu, pendapat keduanya terus menerus dikuatkan oleh informasi yang didapatkan.

Gempuran informasi di media sosial, yang awalnya dapat membantu masyarakat menyelesaikan beragam permasalahan, berbalik arah menghancurkan sisi sosial mereka. Masyarakat yang harusnya hidup secara berkelompok, dipaksa untuk hidup individualistik dan mengabaikan makhluk lainnya. Terkikislah kerukunan, persatuan, ataupun toleransi yang semula dapat diciptakan secara mudah.

Oleh karena itu, kejadian-kejadian tersebut harus secepatnya dihentikan dengan merekontruksi ulang cara berpikir menghadapi era informasi. Fokus masyarakat tidak hanya diarahkan pada pembuatan sarana informasi yang menarik, namun juga harus menaruh fokus yang sama pada penerimaan suatu informasi. Pengelolaan informasi akan membantu masyarakat untuk lebih dewasa menghadapi era digital.

BACA JUGA  Mungkinkah Skill Menulis Seseorang Menghilang?

Berkenaan dengan hal tersebut, sebenarnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah membuat Road Map Literasi Digital tahun 2020-2024 dengan cakupan 4 literasi digital, yaitu keamanan digital, cakap digital, budaya digital, dan etika digital. Kesemua aspek tersebut adalah komponen dasar untuk membentuk sikap terbaik di era digital.

Merespon kebijakan dari Kominfo, banyak institusi, mulai dari universitas, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, dan beberapa tokoh penting saling menyokong untuk membentuk literasi digital yang ideal pada masyarakat. Dan pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua tidak mau ketinggalan untuk melakukan hal yang sama.

Critical thinking yang diterapkan di pondok pesantren dipercaya sebagai bahtera yang menjanjikan dalam menghadapi era digital. Secara sederhana, budaya critical thinking pada pondok pesantren dapat ditemukan melalui kegiatan yang ada dalam pondok pesantren.

Misalnya dalam kegiatan musyawarah kitab yang diselenggarakan beberapa hari sekali, secara langsung akan membiasakan santri untuk berpikir kritis untuk mencerna suatu permasalahan. Apa maksud masalah tersebut, bagaimana penerapannya, dan sejauh apa batasan masalah yang dapat diterapkan, kesemuanya dapat diulik dalam kegiatan tersebut.

Kekuatan inilah yang berusaha dimunculkan kembali oleh Harakatuna yang mengusung tema nasionalisme dalam melakukan literasi digital. Melalui website Harakatuna, semua pihak dapat saling bekerja sama untuk menyusun argumen terkait perdamaian bangsa, yang salah satunya dapat menyasar pada pondok pesantren.

Harakatuna secara langsung berkomunikasi dengan berbagai golongan, yang memungkinkan Harakatuna mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Kemudian dari masalah-masalah tersebut, Harakatuna mencontohkan bagaimana cara mengurainya, dan mencari solusi yang terbaik.

Selain itu, Harakatuna juga mengundang seluruh penulis di Indonesia untuk bergabung mengembangkan berpartisipasi aktif dalam literasi digital. Dengan kata lain, Harakatuna ingin membiasakan budaya critical thinking di masyarakat. Inilah wujud literasi yang ingin disumbangkan Harakatuna untuk bangsa.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru