Harakatuna.com – Bahaya radikal-terorisme meski seolah tampak redup, tidak berarti mereka sudah tak ada—atau tak lagi bergerak, tak lagi jadi ancaman. Dengan alasan apa pun, kita tak bisa dengan jumawa mengatakan bahwa mereka sudah berhasil kita “kalahkan”. Tidak. Kita mesti mengakui api militansi mereka, yang akan terus memperpanjang nafas “jihad-jihad” untuk menegakkan versi syariat Islam menurut mereka dengan taktik-taktik barunya.
Mereka tetap aktif, khususnya dalam bentuk ideologi. Analoginya, seperti api yang meredup di atas permukaan, gerakan radikal besar kemungkinan masih tetap membara di bawah-bawah permukaan, menunggu celah untuk muncul kembali.
Apa yang mesti kita antisipasi dan lawan dari ancaman mereka adalah upaya-upaya mereka dalam melakukan rekrutmen anggota baru. Saya pikir, film Mata Tertutup yang tayang tahun 2012, adalah penting untuk kita cermati lalu juga kita interpretasi: membayangkan bagaimana upaya-upaya mereka dalam “mencuci otak”, terutama sekali, kaum-kaum muda.
Rima dan Zabir yang di-casting menjadi korban rekrutmen kelompok radikal-teror dalam film yang disutradarai Garin Nugroho itu, tidak saja mencerminkan kebangkrutan dalam diri mereka sendiri—yang karenanya kemudian lahir kekecewaan, seperti yang dialami Rima—tapi juga kebangkrutan bagi NKRI dalam skala tertentu.
Tentu saja, kita tak menginginkan hal itu terulang kembali. Kita tidak ingin ada Rima-Rima lain yang harus menjadi korban “cuci otak” kelompok radikal, lalu mengalami kekecewaan. Juga yang dialami oleh anak dari Ibu Asimah, terculik oleh kelompok radikal-terorisme, lalu kembali dengan rasa traumatis yang tak semua orang menginginkannya.
Apalagi, Zabir, yang termakan oleh “gombalan-gombalan” syahid versi kelompok ekstremis. Dengan senang hati merelakan dirinya untuk mati sambil mematikan orang lain melalui “bom bunuh diri”. Meskipun pada akhirnya Zabir lebih dulu tertembak aparat negara, tapi tetap saja kejadian tersebut mencerminkan suatu kerugian yang tidak kecil—baik bagi dirinya sendiri, keluarga kecilnya, maupun negara.
Memahami Pola Rekrutmen Kelompok Radikal-Teror
Kalau dalam film, hasil inisiasi dari Maarif Institute, pola rekrutmen anggota kelompok radikal-teror adalah dalam bentuk “jemput bola”. Yakni, partisipan langsung mendatangi target untuk diajak gabung, sebagaimana yang dilakukan Rima. Mungkin, di hari-hari ini, pola rekruitmen mereka sudah berbeda.
Sasaran utamanya kemungkinan besar akan tetap sama: pemuda. Mengapa pemuda? Karena pemuda sedang berada dalam fase kehidupan yang unik. Sebuah fase di mana mereka sedang mencari identitas dan tempat dalam masyarakat. Tanpa bermaksud memberikan simplifikasi persoalan, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa pemuda rentan menjadi sasaran.
Pertama, fase pencarian jati diri. Artinya, pada usia remaja hingga dewasa muda, dalam diri individu akan muncul dorongan untuk mencari makna hidup, tujuan, atau arah moral. Nah, kelompok radikal akan memanfaatkan momen ini dengan menawarkan identitas kolektif yang kuat dan bermakna melalui narasi-narasi “Islam” versi mereka.
Kedua, rasa ingin diterima. Sebagai bagian dari proses pencarian jati diri, dorongan tersebut biasanya berangkat dari adanya rasa teralienasi dari keluarga, teman, atau masyarakat. Sehingga, mereka akan mencari kelompok yang mau menerima mereka tanpa syarat. Dalam situasi ini, kelompok radikal akan tampil sebagai “pahlawan kesiangan” dengan memberikan kesan inklusivitas di awal, meskipun sebenarnya “ada udang di balik batu”.
Ketiga, kesenjangan sosial. Seperti dalam scene ketika Rima mencoba merekrut anggota baru yang diturunkan dari angkutan umum dan Zabir yang didakwahi oleh ustaz penjual peci. Kelompok radikal-terorisme akan menggunakan fenomena ketidakadilan ekonomi, ketimpangan akses pendidikan, atau pengangguran yang menciptakan rasa frustrasi sebagai lahan subur untuk doktrin radikal yang menjanjikan perubahan besar. Bagi pemuda yang menggebu-gebu api ghirah dalam dirinya akan langsung tergiur.
Taktik Baru Rekrutmen
Lalu, bagaimana mereka hendak mencoba merekrut anak-anak muda semacam itu? Kita harus mengasumsikan bahwa kelompok radikal telah beradaptasi seiring dengan meningkatnya pengawasan dari pemerintah dan masyarakat.
Karenanya, mereka pasti mengubah cara perekrutan dan penyebaran ideologi mereka agar lebih sulit terdeteksi. Ada tiga hal kiranya yang bisa kita asumsikan terkait taktik baru mereka untuk kita waspadai pergerakannya dalam merekrut anak-anak muda.
Pertama, melalui aktivitas yang tampak biasa. Misalnya, melalui kajian agama. Banyak kelompok radikal memulai dengan menawarkan kajian keagamaan gratis guna menarik perhatian pemuda. Kajian ini biasanya menggunakan metode indoktrinasi halus untuk perlahan-lahan menyusupi narasi intoleransi secara bertahap. Ini setidaknya yang terjadi dengan teman saya yang sering mengirimi saya Buletin Kaffah, ketika menceritakan kekagumannya bergabung dengan kajian keagamaan yang baru diikutinya.
Bisa juga melalui kegiatan sosial, seperti penggalangan dana, bantuan bencana, atau program pendidikan yang sering digunakan sebagai topeng untuk merekrut anggota baru. Lalu yang lebih baru, melalui komunitas hobi. Kelompok radikal-terorisme tentu memahami tren zaman, sehingga mereka juga mulai menjangkau komunitas-komunitas yang diminati pemuda. Seperti komunitas di bidang olahraga, seni, atau klub diskusi, sebagai pintu masuk untuk mengenalkan ideologi mereka.
Kedua, melalui narasi intoleransi dan polarisasi. Logika atau cara pandang hitam-putih akan selalu jadi senjata andalan mereka. Kelompok radikal menciptakan narasi bahwa dunia terbagi menjadi dua: pihak yang benar dan pihak yang salah. Negara dinarasikan pro-kapitalisme, menganut sistem thaghut, menindas rakyat, dan karenanya sistem khilafah Islam mesti ditegakkan. Bahkan, mereka mengonstruksi narasi itu dengan menggunakan hoaks untuk membangun ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah dan tokoh masyarakat.
Dengan demikian, mereka akan lebih mudah dalam melakukan normalisasi ideologi radikal. Umpamanya dengan menumpang isu-isu yang terlihat netral, seperti kritik terhadap kebijakan pemerintah atau perbincangan mengenai moralitas kaum muda di era medsos seperti sekarang ini—yang dianggap perlu “hijrah”. Dari sinilah, mereka perlahan-lahan mendorong anggota baru untuk menerima ideologi yang lebih ekstrem.
Ketiga, gerakan operasi bawah tanah. Ini agak terkesan menyeramkan, tapi penjelasannya demikian. Misalnya, melalui sel tersembunyi. Banyak kelompok radikal yang kini beroperasi dalam jaringan kecil dan tersembunyi, sehingga sulit bagi aparat untuk melacak struktur organisasi mereka.
Tentu, yang dilakukan adalah “pencucian otak”, tapi secara bertahap. Artinya, indoktrinasi tidak dilakukan secara frontal, melainkan bertahap, sehingga individu tidak langsung menyadari bahwa mereka sedang diarahkan ke jalur radikal. Begitulah kira-kira. Jadi, jika ditanya, apakah gerakan mereka sudah meredup? Maka jawabanya: tidak sepenuhnya.
Artinya, meski banyak upaya kontra-radikalisasi berhasil menekan gerakan mereka secara fisik, tapi itu tidak berarti mereka “kalah”. Tidak sama dengan mereka non-aktif (total). Sebab itu, hingga hari ini tiba, perjuangan kita melawan ancaman mereka masih harus terus kita gulirkan sedemikian rupa. []