26.8 C
Jakarta

Mewaspadai Momentum Kelompok Teroris, Kita Harus Apa?

Artikel Trending

KhazanahOpiniMewaspadai Momentum Kelompok Teroris, Kita Harus Apa?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kita tentu familiar dengan kutipan khas “Bang Napi” dalam salah satu program berita kriminal televisi nasional, “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan, waspadalah.” Kutipan yang menggarisbawahi niat dan kesempatan melakukan kejahatan ini sejalan dengan premis kriminologi dalam memandang terjadinya suatu kejahatan. Momentum teroris, maksudnya.

Tidak berbeda dengan kelompok teroris jihadis umumnya, kesempatan menjadi suatu yang dinanti-nantikan bahkan berupaya diciptakan dalam mencapai beragam tujuan dan target, mulai dari yang paling sederhana seperti tewas bunuh diri hingga ide mendirikan negara Islam.

Data menunjukkan bahwa kelompok jihadis di Indonesia dalam berbagai kesempatan secara sadar mempersiapkan momentum untuk melancarkan aksi terorisme. Momentum, atau yang dalam bahasa khas kelompok jihadis kerap disebut sebagai miftahul sira (الصيراع)  bermakna kunci atau pembuka perseteruan.

Momentum dimaksud dapat berbentuk simbolis atau juga pragmatis. Misalnya kita melihat pola ancaman terorisme simbolis jelang hari raya keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal, atau pola ancaman pragmatis seperti konflik pemilihan umum, demonstrasi protes kebijakan pemerintah, hingga pandemi Covid-19 dan kesulitan hidup yang mengikutinya.

Dalam dua tipologi jihad menurut ideolog jihadis Abu Muhammad al-Maqdisi, jihad tamkin dan jihad nikayah, keduanya menempatkan momentum pada posisi sentral. Baik jihad tamkin yang berprinsip pada upaya mencapai kekuasaan politik berupa sistem, pemerintahan, serta penguasaan wilayah dan jihad nikayah yang berprinsip pada jatuhnya musuh sebanyak-banyaknya demi kemuliaan Tuhan sama-sama mencari dan menciptakan momentum dalam aksinya.

Momentum instabilitas politik, ekonomi, dan keadaan krisis bagi pendekatan tamkin, serta momentum kelengahan dan kesempatan aksi terorisme bagi pendekatan nikayah. Kedua tipologi ini berkembang di kelompok jihadis Indonesia lintas latar afiliasi, baik afiliasi Al-Qaeda maupun ISIS.

Untuk mencapai tamkin, kekuasaan politik dan wilayah, kelompok jihadis memproyeksikan urgensi konflik besar di tengah masyarakat dalam upaya meraih tamkin. Salah seorang mantan strategist kelompok jihadis menyampaikan bahwa kelompok jihadis Indonesia menikmati dan mendambakan instabilitas politik dan ekonomi sebagai momentum baik melancarkan serangan atau penguatan ideologis melalui radikalisasi, miftahul sira.

Secara gamblang misalnya, data menunjukkan pada Pemilu 2019 kelompok jihadis dengan sengaja mengadudomba pendukung Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi di 15 saluran media sosial, dengan harapan kerusuhan dan protes hasil pemilu dapat bertransformasi menjadi konflik sipil yang meluas, memanfaatkan kepentingan politik dan konflik kepentingan elite untuk menjadi pelumas ide menegakkan negara Islam.

Masih berhubungan dengan pemilihan umum, kasus penistaan agama Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta juga dijadikan momentum kelompok jihadis menyeru penargetan etnis keturunan Tionghoa.

Atau juga contoh saat jaringan pro-Islamic State memanfaatkan distress penutupan tempat ibadah, pembukaan tempat perbelanjaan serta hiburan, dan pembatalan keberangkatan Haji dan Umrah di tengah masyarakat Muslim Indonesia untuk mendelegitimasi pemerintah sebagai pemerintah thaghut anti Islam yang wajib diperangi pada krisis pandemi Covid-19 belakangan.

Upaya menciptakan momentum adalah potret kelompok jihadis yang secara natural merupakan asymmetric adversary dalam peperangan asimetris yang tengah kita hadapi. Kekuatan kelompok jihadis yang tak setara-sebanding vis-à-vis kekuatan negara mendorong kelompok jihadis secara sadar menjadi penumpang gelap dengan memancing di air keruh, dengan kata lain memanfaatkan buih-buih potensi konflik untuk sedemikian rupa mengubahnya menjadi gelombang konflik besar.

BACA JUGA  Harmoni Ramadhan: Antara Saleh Ritual dan Saleh Sosial

Atau yang oleh Schmid (2011) dan Rogers (2008) disebut sebagai strategi waging conflict. Yaitu kelompok jihadis tidak perlu secara langsung terlibat dalam penciptaan konflik, melainkan memanfaatkan kerawanan konflik yang berkembang. Pola-pola mempertahankan konflik pada posisi status quo tampak misalnya pada gerakan ISIS di Suriah dan Irak atau kelompok jihadis – kriminal seperti Abu Sayyaf di Mindanao yang memanfaatkan instabilitas keamanan, politik, dan krisis ekonomi sebagai upaya menyambung eksistensi. Kondisi tidak stabil di Irak dan kawasan menyusul pandemi Covid-19 saat ini bahkan disebut oleh para peneliti seperti Cafarella (2019) menunjukkan indikasi ISIS’s second comeback, kebangkitan kedua ISIS.

Mewaspadai Konflik

Dari sekian banyak strategi dan pendekatan yang dilakukan oleh kelompok teroris, upaya menciptakan momentum belum terlalu banyak mendapat sorotan, ketimbang perhatian terhadap bom bunuh diri misalnya. Hal ini disebabkan dampaknya yang tidak langsung dapat dilihat dan dirasakan, menciptakan momentum adalah selayaknya membangun sebuah bangunan, menempatkan fondasi radikalisasi, menempatkan simpatisan pada posisi-posisi penting dan kemudian berusaha memanfaatkan konflik. Media sosial dan internet membuat strategi ini makin perlu mendapat perhatian sebagai sebuah bahaya yang laten.

Untuk itu, lagi-lagi penting untuk memperhatikan dinamika masyarakat, politik, serta ekonomi nasional global dalam upaya menanggulangi ancaman terorisme. Ahli terorisme seperti Gunaratna (2016) menyebut bahwa Indonesia dengan sejarah kehidupan agama yang moderat dan berdampingan (coexistence) akan memiliki mekanisme pertahanan tersendiri dari upaya kelompok teroris menebar konflik berbasis agama.

Sejalan dengan pandangan Prof. Noorhaidi Hasan (2018) bahwa masyarakat kita dengan kearifan budaya dan kultur keagamaan yang diwarnai oleh organisasi keagamaan dan manhaj Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang pengaruhnya menjamah akar rumput memiliki daya tolak pada konflik yang dibawa oleh radikalisme dan ekstremisme melalui sebuah mekanisme kultural.

Kedua pandangan di atas tentu didasari oleh serangkaian scientific proof. Namun demikian perkembangan masyarakat yang dinamis, pemantik konflik baru, kekuatan revolusi digital dan internet, serta situasi politik ekonomi global perlu tetap menyisakan tempat atas nama kewaspadaan dan kesiapsiagaan.

Misalnya saja, proses menuju tahun politik 2024 akan segera berjalan, gelombang ketiga Covid-19 kembali diprediksi terjadi pada akhir Februari kemarin, hingga dinamika pemindahan ibu kota negara (IKN) dan isu penunjukan Basuki Tjahaja Purnama dalam posisi penting kepala otorita IKN yang akan kembali membangkitkan isu politik identitas, seluruhnya perlu mendapatkan perhatian.

Prognosis ancaman terorisme terus-menerus berkembang menuntut pemerintah dan elemen masyarakat untuk memperbarui antibodi – mekanisme kulturalnya untuk menangkal potensi konflik. Bagi pemerintah dan elite politik, menyadari bahwa banyak penumpang gelap dalam beragam konflik tentu bijaksana dan perlu diinsafi dengan sungguh-sungguh.

Prakoso Permono
Prakoso Permono
Sarjana Hubungan Internasional dan Magister Kajian Terorisme Universitas Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru