30.1 C
Jakarta
Array

Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama (Bagian 4-Habis)

Artikel Trending

Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama (Bagian 4-Habis)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tiga model (Istikhlaf, Bai’at, Ahlul Halli wal Aqdi) ini, terjadi hanya dalam kurun 13 (tiga belas) tahun. Kalau memang Islam ada konsep, tidak akan demikian, apalagi para sahabat itu adalah orang yang paling takut dengan Rasulullah. Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan, yang ada hanya “komunitas agama” (kuntum khaira-ummatin uchrijat linnas). Jadi Khaira Ummatin, bukan Khaira Daulatin atau Khaira Jumhuriyyatin, apalagi Khaira Mamlakatin.

Sebab konsep negara yang definitif seperti yang ada sekarang ini hanya akhir-akhir ini. Yang dikatakan paham Negara Bangsa (Nation State) ya, baru-baru saja. Islam tidak mempunyai konsep yang pasti. Itu tergantung dari cara kita merumuskannya. Tergantung para teoritisi, para politikus Islam, dan karena itu tak perlu direpotkan. Kita memilih Republik Indonesia, ya tidak ada persoalan. Adapun negara lain, ya terserah mereka. Sebab, yang paling penting itu berlakunya hukum Islam di masyarakat, dan itu tergantung upaya kita (buktinya, toh kita berhasil menggolkan RUU Perkawinan?).

Para teoritisi seperti al-Mawardi (Al-Ahkamus Sulthaniiyah), Ibnu Abi Rabi’, Ibnu Khaldun (Muqaddimah), Ibnu Taimiyah telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan ini. Dan ternyata, paham kebangsaan ini pernah digali oleh pikiran cemerlang Ibnu Khaldun.

Beliau berpendapat, bahwa agama saja tidak cukup dapat membentuk negara. Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa “Ashabiyyah” (perasaan keterikatan). Tujuannya, membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Ini, adalah paham kebangsaan pertama yang pernah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan.

Jadi, pengertian negara modern seperti sekarang ini, mengikuti paham kebangsaan Ibnu Khaldun. Kitabnya (Muqaddimah), dibaca oleh para ulama dan tidak satupun dari mereka ada yang menentang. Ini berarti ada “Ijma’ Sukuti” antar para ulama, terhadap paham kebangsaan Ibnu Khaldun. Hujjatus Tsubut (kepastian argumentasinya) Ijma’ Sukuti ini memang tidak ada. Bisa dikatakan, berarti umat Islam sudah kira-kira enam abad lalu menerima paham kebangsaan.

Kalau kita pelajari kitab Al-Umm karya besar Imam Syafi’i dan ketika beliau menulis pula kitab Ar-Radhi’ah was Siyarus-Syaibani (As-Syaibani adalah guru Imam Syafi’i yang menulis kitab Al-Siyar atau Hubungan Internasional), disini jelas bahwa unsur lokalitas memegang peranan penting dalam karya-karya Imam Syafi’i. Bahkan Imam Syafi’i memang terkenal sebagai seorang mujtahid yang pandai mempertautkan unsur-unsur lokalitas dalam kaitannya dengan dalil-dalil naqli. Paham ini disebut sebagai paham istiqra’ yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum seperti al-‘Adatul Muhakkamah atau al-‘Urfu dan lain sebagainya.

Dilihat dari sudut ilmu Ushul Fiqh, Imam Syafi’i secara potensial menerima paham Ibnu Khaldun tentang paham kebangsaan dalam kehidupan bernegara. Kalau sudah begini, maka wawasan kebangsaan berarti bisa menerima Ideologi Nasional. Bagi NU, jalan pikiran ini jelas sekali, urut dan bening akar-akar masalahnya secara teliti menggunakan tradisi Islam sendiri, tidak didoktrin dengan konsep yang mentah dari luar.

Ketika ideologi nasional (Pancasila) telah digunakan sebagai tali pengikat kita semua dalam wawasan kebangsaan, di sini kita dapat melihat kemampuan bangsa Indonesia untuk menyelesaikan secara tuntas masalah ideologi mereka. Karena Pancasila mengandung unsur semua ideologi dunia. Sebab kalau tidak diikat dengan ideologi nasional bangsa kita dikuatirkan nantinya, akan tercebur ke dalam pertentangan antar ideologi dunia yang tidak putus-putusnya.

Jadi NU mempertanggungjawabkan itu semua, tidak hanya dari sudut akal-akalan saja. Ini memang kenyataan dari cara berpikir yang runtut secara falsafi. Dan hal ini sudah dirumuskan oleh Kiai Ahmad Shiddiq.

Sekarang setelah kita menyelesaikan masalah ideologi secara tuntas, kita dapat mengklaim bahwa negara Indonesia ini yang menyelamatkan adalah NU. Sebab secara ideologis, NU lah yang mulai memikirkan dan menyelesaikannya secara tuntas hubungan antara ideologi nasional dan agama. Kita telah mengadakan rekonsiliasi atau titik temu antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi.

Ini juga ditegaskan dalam Anggaran Dasar (AD) NU pada pasal dua tentang asas dan pasal tiga tentang akidah. Di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, juga dipertegas bahwa sila Ketuhanan bagi NU adalah tauhid.

Sekarang tentu ada tindak lanjutnya, negara ini mau diapakan oleh NU? Dan itu harus diisi wawasan Islami. Sebab itu hak kita, sebagaimana orang lain juga berhak mengisi dengan wawasan mereka; kalau ABRI dengan wawasan kekaryaan; kalau Kriten, wawasan Yesus Kristus.

Ada semacam lomba memang untuk memberi wawasan. Ini tidak ada masalah sebab yang penting pemberian wawasan itu tidak formal ideologi. Dengan kata lain akhlaknya atau landasan etik dari kehidupan bangsa ini, harus kita usahakan agar diwarnai oleh wawasan Islam. Ini menjadi kewajiban kita.

Untuk itu, bagi umat Islam atau NU pada khususnya, harus melakukan sejumlah penentuan atau perumusan kegiatan, dalam hal ini tahapan kegiatan itu ada dua macam.

Pertama, pengembangan fungsi kepemimpinan di dalam NU. Kalau NU organisasi terbesar di Indonesia maka NU harus menciptakan kepemimpinan yang tangguh, yang mampu menjalankan roda organisasi. Kalau semua desa di Indonesia harus mempunyai Ranting NU maka ketua rantingnya saja sudah 68.000 karena desa di Indonesia jumlahnya ya sekian itu.

Di sini tenaga kepemimpinan yang tangguh dan terampil di masa depan harus ciciptakan. Caranya, ya harus dilatih; dipersiapkan tenaga pelatih dan mereka harus dilatih secara berangsur-angsur, sehingga dalam tempo lima belas tahun lagi keseluruhan pimpinan kita, mulai dari Ranting sampai ke PBNU, sudah terdiri dari orang-orang yang tangguh, orang-orang yang mengerti bagaimana ilmu manageman yang sebenarnya. Oleh karena itu kita harus melakukan tekanan kegiatan pada pengembangan tenaga kepemimpinan.

Kedua, pengembangan tenaga penggerak dan pengelola yang mengupayakan perbaikan kualitas hidup masyarakat. Untuk itu, PBNU mencanangkan sepuluh sampai lima belas ribu tenaga yang akan dilatih (tenaga lapangan).

Untuk ini semua, tentu kita harus mampu mengaitkan kepemimpinan dengan konsekuensi ideologi nasional yang kita ambil. Apa yang kita kerjakan baik dalam bidang kepemimpinan maupun dalam pengembangan tenaga lapangan harus dalam konteks kerangka pembangunan nasional.

Kalau begitu maka NU memerlukan suatu kelompok yang menjadi penghubung atau yang melatih agar warga NU mengenal wawasan pembangunan kita, mengetahui detail pembangunan nasional. Karena itu bagian penting yang kita bahas adalah pola hubungan keluar dari warga NU (eksternal leader, al-alaqah al-kharijiah). Dan tidak lain kelompok penghubung tadi, tentunya ya para sarjana. Tujuan hubungan keluar tadi adalah, kita menimba dari kawan-kawan kita kemampuan untuk menggerakkan diri, memperbaiki diri menuju pada tahap pencapaian pelaksanaan yang tuntas.

Dengan demikian, maka tradisi Islam yang telah berabad-abad berkembang, masih tetap kita pertahankan, yaitu: watak penyerapannya yang tinggi terhadap budaya positif yang ada diluar (eklektik).

*KH. Abdurrahman Wahid, Mantan Ketua Umum PBNU

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru