31.7 C
Jakarta
Array

Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama (Bagian 1)

Artikel Trending

Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama (Bagian 1)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di dalam kesejarahan umat Islam, ada suatu tradisi yang perlu kita warisi dan terus kita kembangkan. Tradisi ini telah berkembang berabad-abad lamanya, yaitu: watak penyerapannya yang tinggi atau yang sering disebut orang sebagai “Eclectic”. Seperti Imam Abu Hanifah (Ibnu Tsabit bin Nu’man, Abu Hanifah), disamping ia seorang yang sangat alim dalam ilmu fiqh ia juga seorang penjahit (kalau istilah sekarang, ya “Hanafi Tailor” begitulah).

Abu Hanifah, seorang yang ahli memotong pakaian (kana bazzazan bil Qufah, Hanifah adalah seorang  ahli mode dari kota Kufah). Dia juga seorang yang mampu menggali khazanah arsitektur dari luar negeri Arab. Seperti misalnya, dari Samarkand, Ma Waroan Nahr dan negeri-negeri lainnya. Khazanah arsitektur itu, seperti mode “Arabes” atau lengkung-lengkung yang tak ada di negeri Arab ketika itu.

Begitu pula Imam Syafi’i, beliau adalah seorang pendiri madzhab (ahli fiqh) bahkan pencipta ilmu ushul fiqh: terkenal dengan kitabnya “Al-Risalah”. Kitab ini tercipta, lantaran ada pertanyaan dari salah seorang muridnya (Abdurrahman Ibnu Mahdi) mengenai kedudukan atau fungsi akal dalam kaitannya dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Pertanyaan ini, lantas dijawab Imam Syafi’i dengan surat (Al-Risalah) yang panjangnya empat ratus halaman.

Di pihak lain, Imam Syafi’i adalah seorang “kritikus sastra” (naqidul Adaby) yang cukup disegani. Timbangannya sangat dihargai para penyair dan sastrawan, untuk mengukur kemurnian bahasa Arab karena beliau merupakan salah seorang yang paling ahli dalam lughat (bahasa) kabilah bani Hudzail (Kabilah yang paling murni bahasa Arabnya). Andaikan Imam Syafi’i masih hidup, ya menjadi ketua Dewan Kesenian begitulah. Saya kan hanya itbak. (Abdurrahman Wahid adalah ketua DKJ).

Sikap hidup seperti Imam Hanafi, Imam Syafi’i merupakan satu contoh dari sikap yang eclectic (kemampuan daya separ yang tinggi), kosmopolitan, kata orang sekarang. Seluruh Imam dan mujtahid, hampir mempunyai watak yang demikian.

Kita lihat misalnya Ibnu Qutaibah Al-Dinawari (pengarang Ikhtilaful Muhadditsin) yang sangat dalam pengetahuannya dalam ilmu Hadits. Tetapi dilain pihak, beliau adalah seorang budayawan yang mempu menulis kitab “Ensiklopedi para sastrawan dan penyair” (Thabaqatus Syu’arak). Jadi, sangat kelihatan sekali watak eclectic-nya.

NU, sebenarnya mewarisi watak yang demikian ini. Artinya, ia juga mempunyai kemampuan daya serap yang tinggi terhadap budaya luar, yang dimungkinkan untuk menjadi kemanfaatan bagi diri dan umat Islam pada umumnya. Satu contoh, pesantren-pesantren di Malaysia tidak mau menerima nilai-nilai baru yang datang dari luar seperti, sistem sekolahan atau sistem jadwal. Pesantren di sana, tetap mempertahankan pola-pola lama didalam mengolah mengolah pendidikannya.

Akhirnya, pesantren di sana ditinggalkan arus kehidupan masyarakat sekelilingnya. Orang mau masuk ke pesantren, pada umumnya jika telah mengalami kejenuhan dan kejemuan kehidupan kota yang urban. Pesantren dengan demikian, lalu menjadi tempat pelarian bagi mereka yang frustasi dengan kehidupan kota.

Tidak demikian halnya dengan pesantren di Indonesia. Berdasarkan kemampuan menyerap itu, maka pesantren dapat sistem sekolah, sistem jadwal atau hal-hal lain yang memang memberi manfaat bagi dirinya. Dengan arti, pesantren di Indonesia dapat menerima dari luar yang baik, tanpa harus kehilangan esensi dasarnya. Sehingga prinsip: al-Muhafazhah bil qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, tetap dipertahankan. Kitab “Al-Amtsilatu Tashrifiyah” (Kitab Sharraf) yang digubah Kiai Maksum bin Ali, Jombang, merupakan contoh konkret dari penerimaan nilai-nilai baru; metodanya diambil dari luar, sedangkan isinya ya dari kitab-kitab seperti Nazhmul Maqshud dan semacamnya. Kitab ini, karena bagusnya metoda penyampaian yang digunakan, sampai dikembangkan di Mesir (Al-Azhar).

*KH. Abdurrahman Wahid, Mantan Ketua Umum PBNU

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru