32.9 C
Jakarta
Array

Merisaukan Cadar dan Toleransi Kita

Artikel Trending

Merisaukan Cadar dan Toleransi Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Belum lama ini perdebatan publik mengenai hukum bercadar untuk perempuan kembali muncul ke permukaan. Polemik itu kembali mengemuka setelah Menteri Agama, Fachrul Razi, menggulirkan ide kontroversial soal wacana pelarangan bagi aparatur sipil negara (ASN/PNS) dalam memakai cadar dan celana cingkrang di lingkungan instansi pemerintahan. Meski masih berupa kajian, Kemenag menilai ide ini positif dengan alasan keamanan (Tirto.id, 1/11/2019). Tidak heran jika wacana tersebut menuai pro-kontra di masyarakat.

Kita seperti selalu disuguhkan dengan perdebatan yang tak kunjung selesai. Perdebatan yang selalu menguras emosi tapi tidak menyentuh akar permasalahan kehidupan beragama kita. Sungguh menjadi petaka besar, ketika masyarakat tidak mampu berpikir bijaksana dan cerdas dalam menyikapi persoalan itu.

Pasalnya, argumen-argumen yang semacam ini sering kali dimasuki oleh kelompok-kelompok yang melontarkan pernyataan provokatif bahkan ujaran kebencian. Bukannya kita menuduh tapi acapkali ada oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan momentum ini untuk dijadikan tunggangan demi melancarkan misi memecah belah persatuan bangsa, toleransi agama (pluralitas), kebersamaan, dan persaudaraan.

Atribut keagamaan saja kenapa harus kita ributkan? Dengan kemudian mencari argumen lewat justifikasi dalil-dalil agama. Bikin heran saja. Padahal, secara tidak sadar kita terjebak dengan cara berpikir yang tidak runtut cenderung melompat-lompat pada situasi yang berpotensi merusak hubungan sosial dan keagamaan yang masih harmonis.

Misalnya mana yang Islami dan mana yang bukan? Apakah pakai cadar atau tidak? Apakah pakai jubah atau pakai sarung? Celana di atas lutut ataukah di bawahnya? Mana pakaian yang lebih syar’i dan mana bukan? Terus saja begitu. Hingga perbincangan model pakaian ini masuk dalam ranah akidah atau keyakinan, sehingga beragama seringkali membuat orang lupa bertuhan.

Toleransi Perbedaan

Lagipula kita tidak bisa menilai orang sebagai penganut radikalisme hanya berdasar pada atribut keagamaannya saja. Menggunakan atribut keagamaan seperti jilbab, cadar, dan salib merupakan hak asasi setiap individu. Seharusnya negara hadir dalam masalah-masalah yang lebih substansial. Namun, masalah yang substantif ini tidak kemudian menjadikan cadar sebagai suatu pembenaran sepihak seolah-olah dengan pakain tersebut merasa paling benar.

Maka dari itu, Islam memberikan kebebasan bagi umatnya dalam berpikir dengan bijaksana, sehingga dalam menanggapi sebuah permasalahan itu dengan sopan dan santun. Apalagi dalam persoalan ikhtilaf (perbedaan pendapat). Karena yang menghadapi persoalan yang berskala demikian jangan sampai membawa dampak buruk di tengah-tengah masyarakat.

Di luar konteks diskursus tentang atribut keagamaan. Tidak dipungkiri Islam memiliki banyak sekali pemahaman dalam menjalankan ajaran agama terutama dalam hal furu’. Maka tidak patut sama sekali suatu pemahaman golongan tertentu dijadikan satu-satunya pemahaman yang paling benar. Apalagi seperti cadar, dan lain sebagainya.

Isi kepala, konteks budaya, kepentingan, hingga keilmuan kita sangat tidak mungkin untuk dibuat seragam. Menunggalkan kebenaran suatu pemahaman bukan hanya rawan untuk menginjak-injak pemahaman lain. Tetapi juga bertentangan dengan sunnatullah atas khittah kemajemukan yang telah dijamin Allah dalam banyak ayat-Nya.

Kalaupun kita sedang mengikuti suatu pemahaman atau aliran Islam tertentu dan menyakininya sebagai sebuah kebenaran. Seyogianya ia ditempatkan dalam ruang milik kita dan untuk kita semata. Bukan diproklamasikan dengan heroik yang hanya memantik kerawanan, bertabrak-tabrakan dengan ruang publik lain yang di dalamnya dihuni pula oleh keragaman pemahaman.

Koreksi Atas Perbedaan Islam dan Radikalisme

Maka, Islamisme berbeda dengan radikalisme. Stereotype terhadap kelompok tertentu seharusnya tidak boleh terjadi, hanya karena simbol dan ekspresi beragama mereka melalui cara berpenampilan yang khas, seperti: jenggot, jubah, peci, atau wanita yang bercadar dan berkalung salib.

Sudah saatnya pemerintah melalui lembaga terkait lebih berfokus pada penyelesaikan permasalahan intoleransi yang selama terkesan mengalami pembiaran. Setara Institute mencatat 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan pada 2016 dengan 270 bentuk tindakan. Sebanyak 123 tindakan pelanggaran dilakukan oleh aktor negara dalam bentuk aktif, seperti pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan, dan 17 peristiwa merupakan tindakan pembiaran. Selain itu, terdapat 130 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara dengan pelaku tertinggi adalah kelompok warga sebanyak 42 tindakan.

Pada 2017, terdapat 155 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan tercatat dengan 201 bentuk tindakan. Sebanyak 75 tindakan pelanggaran melibatkan aktor negara, yaitu 71 berbentuk tindakan aktif, 3 tindakan by rule, sementara 1 tindakan lainnya merupakan tindakan pembiaran. Sebanyak 126 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara dengan pelaku tertinggi adalah kelompok warga, yakni 28 tindakan.

Bedasarkan data tersebut, tentu ini menjadi pekerjaan rumah besar untuk pemerintah. Penanganan kasus yang tak tuntas akan membuat kelompok intoleran dan radikal merasa mendapat angin. Sebaliknya, penyelesaian kasus secara adil akan menegaskan kuatnya komitmen negara melindungi hak kelompok minoritas. Hanya dengan cara itu, siklus intoleransi di negeri ini bisa diakhiri.

Pada akhirnya mengutip apa yang dikatakan Romo Franz Magnis bahwa toleransi bukan asimilasi. Kita perlu menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka. Serupa dengan konsep tasamuh dalam Islam, yaitu menghormati perbedaan pemahaman beragama dan juga agama lain dengan prinsip yang teguh tanpa perlu saling bersinggungan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru