Harakatuna.com – Watak teknologi yang bersifat memudahkan, telah membuka kran terhadap menjamurnya propaganda kelompok radikal di tengah belantara media. Kemajuan teknologi yang alih-alih mendatangkan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan di satu sisi, ia justru menciptakan kekhawatiran tersendiri di sisi yang lain.
Propaganda kelompok radikal yang difasilitasi kemajuan teknologi, mampu dimanfaatkan dengan cukup epik. Ia hadir dalam berbagai bentuk visualisasi menggiurkan, kalimat retoris menghanyutkan, serta slogan yang menghentak kesadaran.
Penempatan media sosial sebagai bagian tersendiri dari seluruh sistem sosial-kebudayaan, sepertinya sudah tidak lagi relevan. Faktanya bahwa, media sosial telah berhasil menyulut berbagai tindakan real sehari-hari. Dalam artian, adanya interaksi antara pengguna dan media yang saling mempengaruhi, sehingga dapat mendorong suatu tindakan dari pengguna (Santoso, 2020).
Dalam konteks inilah generasi muda menjadi rentan. Para generasi muda yang ikut semarak dalam mengkonsumsi berbagai konten yang bertebaran di media, kurang dapat terjamin keselamatannya dari ‘makhluk’ yang satu ini. Makhluk yang disebut radikalisme.
Diseminasi Literatur Kelompok Radikal
Kemajuan teknologi yang menjadi jembatan kelompok radikal dalam menyebarkan gagasan-gagasannya, mencapai angka yang mencengangkan. Tulisan Ma’arif yang merujuk pada data BNPT, harusnya mampu memantik sinyal kehati-hatian.
Sialnya, tidak hanya melalui media sosial, upaya kelompok radikal dalam melestarikan wawasan juga digarap secara akademis. Upaya tersebut ditempuh dengan melakukan penerjemahan ke dalam tulisan-tulisan yang berasal dari jejaring organisasi sepaham yang notabene dari luar negeri, semisal ISIS (Munip, 2023).
Dalam penelitian yang dilakukan Abdul Munip dengan menyasar kasus Aman Abdurrahman, penerjemahan berbagai tulisan ke dalam bahasa Indonesia didasarkan pada motif ideologis-keagamaan. Abdurrahman mendapatkan akses kepada tulisan dari berbagai jaringan internasional yang tersebar di media online. Lagi-lagi media ikut berperan dalam mempersempit jarak geografis antara kelompok radikal Indonesia dengan organisasi transnasional.
Bukan hanya dalam persoalan penerjemahan an sich, upaya bias interpretatif dan distorsi dalam penerjemahan yang dilakukan, khususnya yang diambil dari kitab-kitab kuning pun juga ditemukan (Munip, 2023). Khusus dalam persoalan penerjemahan dari kitab-kitab kuning, hal ini juga banyak dilakukan oleh kelompok Salafi-Wahabi.
Mengurai Ekosistem Kelompok Radikalis
Sejak kemunculannya, jaringan kelompok radikal telah berhasil menyentuh berbagai elemen dan kelompok masyarakat. Bahkan paparan virus radikalisme ini telah menembus sejumlah orang yang jelas-jelas berada dalam institusi kenegaraan. Di samping itu, kampus juga menjadi ladang terbuka tumbuhnya benih-benih gagasan radikalisme.
Universitas yang idealnya menjadi wadah munculnya gagasan kritis-transformatif, tidak lepas dari jamahan kelompok radikal yang merangsek dari sejumlah sisi. Fakta tersebut semakin menguatkan adanya ikatan yang masif di antara para simpatisan kelompok yang terus berupaya menggalang massa dari berbagai kalangan.
Kerentanan generasi muda dalam menanggapi isu radikalisme yang terus dimodifikasi serta dikemas dengan cara elegan, menjadi sekian penyebab yang dapat diajukan. Secara psikologis penyebaran gagasan yang cermat dan dibungkus secara menarik, dapat mendorong seseorang untuk terpikat dan terlibat dalam tindakan real (Widyaningsih, 2019).
Dalam artian, pengutamaan terhadap segmentasi kelompok muda dengan pengemasan gagasan yang menggugah, menjadi tindakan yang diambil untuk menjaring masa. Hal ini diakui oleh sejumlah aktivis dan praktisi media beberapa tahun belakangan, yang menunjukkan adanya kekurangan dalam mengcounter narasi radikalisme yang berkembang di media sosial. Kontestasi untuk mengemas suatu gagasan menarik menjadi sebuah tantangan yang perlu direnungkan.
Kontra-Radikalisme Kultural Pesantren
Pesantren sebagai komunitas yang terbukti memiliki resiliensi (ketahanan) serta modal sosial-kultural yang kuat, menjadi pilihan efektif dalam membendung derasnya propaganda radikalisme (Irfan Abu Bakar, 2020). Sistem pengajaran yang mengutamakan ketersambungan rantai keilmuan (sanad), setidaknya dapat dipandang sebagai upaya menjaga nilai dan praktik Islam yang telah diwariskan oleh para cerdik cendikia orang-orang terdahulu.
Pesantren harus dipandang sebagai agen aktif yang ikut berjuang dalam menanamkan nilai-nilai Islam yang orisinil. Upaya tersebut terus diwariskan dalam tradisi pesantren melalui eksplorasi dan kontekstualisasi sumber-sumber Islam dari para pendahulu. Meski tidak sedikit yang mencoba mendekonstruksi ajaran-ajaran yang sudah tidak lagi dianggap relevan tersebut.
Namun, dalam konteks ini, alih-alih mencoba mendekonstruksi ajaran Islam klasik dengan argumen historis tersebut, yang sepertinya perlu untuk dipertanyakan ulang. Bahwa perlu untuk rekonstruksi dan kontekstualisasi atas materi atau konten yang diajarkan, saya tentu sepakat. Namun, menganggapnya sebagai tidak relevan sepertinya kurang bijak.
Sebab sejauh ini, praktik dari para simpatisan maupun kelompok radikal-teroris, disebabkan salah satunya oleh pemahaman yang menyimpang dalam memaknai ajaran agama. Dalam aspek ini, tentu tidak relevan dengan watak pesantren yang memiliki nilai-nilai fundamental yang menjadi bagian terpenting untuk diwariskan. Pewarisan ajaran Islam yang dijaga melalui rantai keilmuan secara turun-temurun demi menjaga otentisitasnya.
Pesantren menjadi agen aktif, yang secara tidak langsung telah tampil sebagai akumulasi nilai-nilai Islam dan lokalitas yang mengakar dalam historisitas pendidikan Indonesia. Di saat yang bersamaan, komitmen yang mengalir dalam nadi perjuangan, terus diwujudkan dan dimodifikasi untuk menjawab tantangan zaman.
Rujukan
Irfan Abu Bakar, dkk. (2020). Resiliensi Komunitas Pesantren terhadap Radikalisme.
Munip, A. (2023). Penerjemahan dan Terorisme di Indonesia. Diva Press.
Santoso, S. P. (2020). Pengantar Dasar Kajian Terorisme Abad 21: Menjaga Stabilisasi Keamanan Negara.
Widyaningsih, R. (2019). Deteksi Dini Radikalisme. Purwokerto: Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman.