32.1 C
Jakarta
spot_img

Merekonstruksi Mitologi Adam-Hawa: Reinterpretasi Diri sebagai Perempuan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMerekonstruksi Mitologi Adam-Hawa: Reinterpretasi Diri sebagai Perempuan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sosok laki-laki feminis yang pertama kali saya kenal adalah Baba—sebutan saya untuk bapak. Saya tumbuh besar di lingkungan pesantren karena orang tua saya adalah pembina pondok. Hingga usia 18 tahun, kehidupan saya hanya berputar di lingkungan pesantren, dan selama itu pula saya tidak sadar terhadap isu-isu ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, apalagi konsep feminisme dan keadilan gender. Seingat saya, di pesantren kami tidak pernah membahas isu-isu seperti itu. Kalaupun ada, mungkin saya tidak peka, atau barangkali memang belum waktunya saya terpapar isu-isu tersebut. Entahlah, saya pun tak yakin.

Namun, sejak kecil, saya terbiasa melihat Ummi dan Baba berbagi pekerjaan rumah tangga. Begitu pula kami, anak-anaknya, dilibatkan dalam urusan rumah tangga. Pagi hari, saya biasa melihat Baba bangun lebih awal untuk memanaskan air dan membuat kopi sendiri, lalu pergi ke pasar mencari jajanan kue tradisional untuk dinikmati bersama kopi tersebut. Jika mendapati piring-piring sisa semalam belum dicuci, Baba akan mencuci piring terlebih dahulu sebelum keluar untuk menikmati kopinya.

Saat hendak berangkat sekolah, Baba sering menguncir rambut saya sesuai permintaan saya hari itu. Dan jika saya berbuat salah hingga dihukum, Baba akan meminta maaf karena telah menghukum saya, lalu mengajak saya berefleksi agar kesalahan tersebut tidak terulang. Sejak kecil, saya terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga yang dilakukan bersama.

Namun, ketika duduk di bangku SMA, saya mulai merasa tidak nyaman dengan cara pengajar menjelaskan konsep penciptaan Adam-Hawa. Penjelasan yang menyebutkan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam seolah mencerminkan ketidakberdayaan perempuan. Para pengajar sering menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan interpretasi tradisional tentang kisah Adam dan Hawa sebagai dasar untuk menjustifikasi dominasi laki-laki atas perempuan.

Hingga akhirnya, saya menyadari bahwa tumbuh dalam lingkungan pesantren yang minim konflik membuat saya merasa hidup dalam fairy tale. Saya terlalu naif, menganggap semua perempuan memiliki pengalaman yang sama seperti saya. Barulah ketika kuliah dan meninggalkan fairy tale tersebut, saya menyadari bahwa perempuan menghadapi tantangan besar dan nyata. Termasuk narasi penciptaan Adam-Hawa yang seolah melanggengkan struktur patriarki dalam masyarakat.

BACA JUGA  Feminisme Masa Kini: Antara Harapan, Tantangan, dan Peran Digital

Mitologi Manusia Pertama: Adam dan Hawa

Salah satu ayat yang sering menjadi landasan penciptaan Adam-Hawa adalah surah An-Nisa’ [4]: 1. Ayat ini sering disalahpahami sebagai pembenaran ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan, dengan klaim bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki. Narasi ini melanggengkan interpretasi tradisional yang menempatkan Adam sebagai nafs wahidah (entitas utama), sedangkan Hawa dianggap subordinat.

Padahal, dalam Tafsir Al-Mishbah, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Al-Maraghi, istilah nafs wahidah merujuk pada “diri yang satu, entitas yang setara, atau berasal dari jiwa yang sama.”

Pandangan tersebut sejalan dengan Amina Wadud dalam bukunya Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Ia menyoroti istilah nafs wahidah yang menunjukkan bahwa secara ontologis, laki-laki dan perempuan sama di mata Allah. Tidak ada superioritas di antara keduanya dalam hal penciptaan. Keduanya adalah bagian dari umat manusia yang setara dan diciptakan untuk saling melengkapi.

Asma Barlas dalam bukunya, Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an (2002), menegaskan bahwa interpretasi yang menempatkan Hawa sebagai subordinat tidak berasal dari teks Al-Qur’an, melainkan bias patriarkal yang muncul dalam penafsiran sejarah.

Dengan demikian, Islam dan Al-Qur’an sebenarnya tidak pernah menegaskan bahwa perempuan memiliki derajat lebih rendah daripada laki-laki. Sebaliknya, banyak ayat yang menekankan pentingnya peran perempuan dalam kehidupan, baik sebagai ibu, istri, maupun individu yang memiliki hak dan tanggung jawab sosial yang sama.

Merekonstruksi Narasi Adam-Hawa

Saya membayangkan, bagaimana jika setiap keluarga mengajarkan rekonstruksi kisah penciptaan Adam-Hawa seperti dalam Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Quraish Shihab, yang direkonstruksi oleh Amina Wadud dan Asma Barlas? Barangkali perempuan akan lebih percaya diri, berdaya, dan menyadari nilainya. Mungkin, perbedaan gender tidak akan selanggeng ini dan tidak menimbulkan banyak masalah.

Ah, entahlah. Saya tidak bisa memastikan hal itu. Yang pasti, kelak jika saya diberi kepercayaan untuk memiliki anak, laki-laki maupun perempuan, saya akan menceritakan kisah Adam-Hawa yang adil gender. Saya akan mengajarkan bahwa menjadi laki-laki atau perempuan adalah untuk saling melengkapi. Yang membedakan hanyalah hubungan pribadi masing-masing dengan Tuhan, Sang Pencipta.

Nur Faidzaturrahmah
Nur Faidzaturrahmah
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru