28 C
Jakarta
Array

Mereduksi Paham Radikal dengan Budaya Tradisional

Artikel Trending

Mereduksi Paham Radikal dengan Budaya Tradisional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

                                                        Gundul gundul pacul cul Gembelengan

Nyunggi nyunggi wakul kul Gembelengan

Wakul ngglimpang Segone dadi sak latar

Wakul ngglimpang Segone dadi sak latar

Masih kental dalam ingatan lagu “Gundul-gundul pacul” yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Keberadaannya mengingatkan kita pada permainan tradisional yang pernah kita mainkan pada masa kanak-kanak. Kecerdikan Sunan Kalijaga lah yang membuat lagu ini tetap ada hingga saat ini. Beliau menitipkan lagu ini pada anak-anak, sebab anak-anak lah yang dinilai mempunyai kemampuan lebih soal ingatan. Di sisi lain, lagu ini mempunyai sisi filosofis yang mendalam. Kedalaman makna serta pesan tersirat yang dikandungnya dapat memberikan solusi atas paham radikal yang kian berkembang.

Makna Lagu “Gundul-gundul pacul”

Kata gundul melambangkan seorang bayi yang masih polos dan belum mempunyai tanggungan apa-apa. Dalam bahasa jawa pacul berarti cangkul. Orang jawa memiliki filosofi tersendiri tentang kata pacul, yaitu papat kang ucul. Maksudnya kemuliaan seorang pemimpin tergantung pada empat anggota tubuh yaitu mata, telinga, hidung, dan mulut.

Mata digunakan untuk melihat kekurangan-kekurangan selama kepemimpinannya. Telinga untuk mendengar keluhan umatnya. Hidung untuk mencium aroma kebaikan, sedangkan mulut untuk memberikan nasehat. Jika keempat anggota tubuh ini digunakan sesuai fungsinya, maka roda kepemimpinan yang dijalankan akan menuai keberhasilan.

Kata gembelengan mempunyai makna bebas melakukan apa saja. Maka gundul gundul pacul cul gembelengan dapat ditafsiri semua bayi yang terlahir di dunia dalam keadaan suci. Segala hal salah yang dilakukannya belum dapat dikatakan sebagai dosa, karena tanggungan itu belum ditimpakan kepada dirinya. Selain itu, dia mempunyai anggota tubuh yang dapat digunakan untuk menjalankan kebaikan.

Selanjutnya arti nyunggi nyunggi wakulkul adalah membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Bakul sendiri menyimbolkan amanah yang dititipkan kepada seorang pemimpin. Semua kesejahteraan, keamanan, dan kemakmuran umatnya haruslah diletakkan di atas kepalanya. Dengan begitu, segala hal yang tidak berkaitan dengan amanah umat harus dinomor duakan.

 Seorang pemimpin tidak boleh berlaku gembelengan lagi. Maksudnya, dalam menjalankan roda kepemimpinan tidak boleh sembrono atau menganggap permainan belaka. Karena umat telah menimpakan amanah kepada dirinya, dan menjadi hal yang wajib untuk menjaga amanah tersebut.

Namun, jika dia tetap berlaku gembelengan, maka hasilnya wakul glempang dadi sak latar (bakul jatuh dan nasinya tumpah ke tanah). Maksudnya kepemimpinannya akan berantakan dan digantikan oleh berbagai masalah yang muncul dimana-mana.

Menyikapi Maraknya Terorisme dan Paham Radikal

Menyikapi kasus terorisme yang marak terjadi, seharusnya kita berdaulat kepada diri kita sendiri. Maksudnya, memikirkan segala sesuatu yang benar-benar bermanfaat, bukan membawa kerusakan. Kita harus menjadi pemimpin yang berhasil bagi diri kita sendiri. Kita tidak boleh terbuai oleh kata provokasi yang menghasilkan pertengkaran, perpecahan, dan retaknya persatuan. Kita harus mempunyai pendirian, bahwa segala sesuatu yang mengatasnamakan kekerasan sebagai jalan keluar, pasti menimbulkan kerugian yang besar.

Sementara itu, ulama yang mempunyai tanggungan lebih untuk memimpin umatnya harus mampu menjaga dirinya. Keberhasilan seorang ulama diukur dari sejauh mana ia membawa kemanfaatan bagi umatnya. Menjaga sikap serta ucapan dalam kehidupan sehari-hari sudah menjadi hal wajib yang harus dilakukan. Karena, bagi umatnya dialah sumber idola dan panutan dalam segala hal.

Dalam hal ini, seorang ulama harus memegang erat-erat pacul yang dia gunakan. Dia harus memanfaatkan mata, hidung, mulut, dan telingan untuk menyelesaikan permasalahan dalam diri umatnya. Tentunya, jalan keluar yang dia hasilkan tidak hanya bermanfaat bagi umatnya saja, namun juga bermanfaat bagi semuanya.

Salah satu penyebab kasus bom bunuh diri adalah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama. Ulama yang berjiwa  dan mengasong paham radikal akan menggiring umatnya ke jalan kekerasan. Menurutnya, serumit apapun maslahnya dapat diselesaikan dengan kekerasan. Paham ini sangatlah keliru, karena dia hanya memandang permasalahan pada satu sisi saja. Dia menganggap kekerasan itu bermanfaat bagi umatnya, karena dengan cara kekerasan itulah umatnya akan mati syahid dan masuk ke dalam surga. Namun, dia lupa memikirkan bagaimana nasib orang yang menjadi tindak kekerasannya. Banyak bangunan yang runtuh, anak-anak menjadi yatim, dan nama baik negara tercoreng.

Seharusnya seorang ulama tidak tergesa-gesa mengambil setiap keputusan. Sebaliknya, perlu dilakukan perenungan serta dialog-dialog yang panjang. Sehingga kepemimpinan yang ia jalankan dapat berjalan sempurna tanpa ada permasalahan yang membuntutinya.

[zombify_post]

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru