26.7 C
Jakarta

Meredam Radikalisme Via Pendekatan Dunia Tarekat

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMeredam Radikalisme Via Pendekatan Dunia Tarekat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dinul Islam selalu mengajak umatnya berdakwah dengan maui’zah hasnah dan jauh dari nilai radikalisme. Era milenial juga, sebelumnya lahirnya radikalisme dengan topeng agama. Padahal, jauh dari esensi dakwah dinul Islam. Esensi dari tindakan radikalisme ialah sikap dan tindakan seseorang, kelompok, maupun pihak tertentu yang menghalalkan kekerasan dalam membuat perubahan yang diinginkan.

Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam waktu yang instan serta drastis yang bertentangan dengan sistem sosial yang ada. Paham atau pergerakan radikalisme ini sering dikaitkan dengan terorisme, sebab kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar tujuannya dapat segera terlaksanakan. Termasuk meneror pihak yang tidak pro dengan mereka. Meski banyak pihak yang mengaitkan radikalisme dengan masalah agama tertentu, namun pada dasarnya radikalisme merupakan masalah politik dan tidak berkenaan dengan ajaran agama.

Sosok musuh bernama “radikalisme” itu identik dengan tindakan kekerasan, frontal, penuh konflik serta jauh dari sikap humanis, sehingga sering menimbulkan ketegangan. Bahkan, pertikaian di tengah masyarakat yang membuat kehidupan manusia tidak lagi tenang. Ketegangan dan pertikaian inilah yang nantinya dapat menganggu kedaulatan suatu negara hingga akan menghancurkan negara itu sendiri manakala ia tidak mampu membendung gerakan radikalisme tersebut. Gerakan ini memang lahir sebagai motivasi untuk mengubah tatanan negara yang sudah ada sesuai dengan tujuan yang diharapkan, menolak kepemimpinan suatu negara dan melakukan berbagai kegiatan “makar” terhadap pemerintah yang sah.

Radikalisme Agama

Dalam konteks syari’at Islam jelas tidak dibenarkan dan sangat jauh dari aturan-aturan Islam itu sendiri. Namun, Islam sering dijadikan “bungkus” untuk mengencarkan gerakan ini, agar aktivitas, perbuatan dan tindakan yang dilalukannya seolah-olah sesuai dengan ajaran Islam. Ini yang banyak terjadi dan parahnya lagi banyak di antara kita yang terbius oleh paham radikal ini. Pemahaman agama yang rendah atau tidak sempurna, pemikiran yang tidak luas dan pengetahuan yang minim akan lebih mudah terbuai yang pada akhirnya menjadi simpatisan dari gerakan radikal tersebut. Menjadikan Islam sebagai alat kepentingan “nafsu” dan “syahwat” adalah sebagai bentuk kedzaliman yang besar dan keingkaran terhadap jati dirinya sebagai hamba dan wakil Allah di bumi. (Muhamad Basyrul Muvid, 2020)

Di samping itu radikalisme hanya mengedepankan ego dan kepentingan pribadi dalam melakukan berbagai tindakan anarkisnya, bukan untuk kemaslahatan umum. Egoisme dan kepentingan inilah yang “merenggut” nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya, sehingga mudah dalam melakukan pembantaian, pembunuhan, pertikaian, teror, ancaman dan tindakan frontal lainnya terhadap kelompok masyarakat yang tidak setuju dengannya atau kontra terhadap gerakannya.

Oleh karenanya, radikalisme disebut sebagai musuh negara, bagi saya tidak hanya musuh negara tapi musuh agama. Benih radikalisme bisa muncul dalam beberapa katagori yaitu: pertama, sikap tidak toleran dan tidak menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni sikap yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner, yakni kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan (Mahmudati, 2014), sehingga radikalisme dimaknai sebagai respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi dan nilai (Alhairi, 2017).

Keberadaan radikalisme menjadi musuh besar seluruh negara di dunia. Kehadiran gerakan-gerakan radikal telah menyebabkan terganggunya keutuhan bangsa dan menenggelamkan nilai-nilai luhur yang menjadi warisan pendiri bangsa. Pada akhirnya dapat menghancurkan bangsa dan negara. Sungguh tindakan radikal adalah perbuatan keji dan berbahaya. Maka wajar apabila agama-agama mengutuk terjadinya tindakan radikal dan terorisme. Hal ini, karena orang-orang yang bergabung dengan gerakan tersebut cenderung tidak mampu menerima paham atau kelompok yang berbeda paham dengan kelompok mereka.

Dalam dunia tasawuf dikenal adanya tarekat. Tarekat merupakan bagian dari implementasi nilai Sufistik. Kata “Tarekat” berasal dari bahasa arab Tariqah yang berarti jalan, sistem, metode, dan madhhab (aliran). Kemudian kalimat tersebut menjadi kalimat baku dalam bahasa indonesia. Mulyadi Katanegara mengartikan dalam konteks Timur Tengah, tarekat adalah jalan kecil (jalan pintas) menuju wadi (oase) dan sulit dilalui karena terkadang sudah tertutupi pasir. Dari ungkapan Mulyadi ini tersirat ma’na bahwa tarekat tidak banyak diketahui orang, hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya, sehingga wajar saja kalau tarekat dipandang amaliah yang ilegal legitimasinya.

BACA JUGA  Awas! Nihil Aksi Teror Tidak Berarti Terorisme Hilang

Dalam istilah tasawuf, tarekat merupakan suatu metode tertentu yang ditempuh seseorang secara kontinue untuk membersihkan jiwanya dengan mengikuti jalur dan tahapan-tahapan dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah Swt. akhlak yang mulia, atau dapat diartikan bahwa tarekat ialah mengamalkan ajaran Islam secara totalitas, baik lahir maupun batin demi meraih rida Allah Swt atau wusul pada Allah.

Dengan demikian, tarekat dalam perspektif ini dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya, menjadi pengajar ilmu agama, memberi petunjuk pada orang tentang cara-cara beribadah atau tentang akhlak mulia, dan lain sebagainya.  Selain dengan cara tersebut, tarekat dalam konteks ini juga dapat dilakukan dengan cara memperbanyak wirid seperti, membaca al-Quran, tasbih, dalail al-khairat, berpuasa, dan salat sunnah. Selain itu, bisa juga dengan berkhidmah (mengabdi) kepada orang alim, atau melakukan kegiatan sosial secara kontinue seperti, bersedekah, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan lain sebagainya.

Hal ini selaras dengan pendapat yang diutarakan oleh Zainuddin Abu Yahya al-Ma’bari dalam tulisan sya’irnya, “Setiap guru sufi memiliki tarekat yang dipilihnya, dan dengan tarekat tersebut ia wusul kepada Allah. Seperti halnya menjadi pendidik di kalangan murid-muridnya, memperbanyak wirid seperti puasa, salat, khidmah (mengabdikan diri) pada manusia (ulama), dan mencari kayu bakar, atau bekerja yang diniatkan untuk disedekahkan hasilnya.”

Implikasi Tarekat

Tarekat yang merupakan bagian dari dunia tasawuf (sufistik) menjadi salah satu bagian dari Islam, selain fiqih dan aqidah (ilmu kalam). Tarekat merupakan salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, dengan senantiasa membersihkan diri dari berbagai kotoran sifat, perilaku dan akhlak yang buruk menuju kepada sifat, perilaku dan akhlak yang mulia. Realisasi bertarekat dapat ditempuh dengan bimbingan Mursyid dengan melakukan berbagai usaha batin untuk bisa mengendalikan hawa nafsu, syahwat dan egoisme diri.

Tarekat mendidik manusia untuk senantiasa berperilaku baik, bertindak penuh kasih sayang dan mengedepankan persamaan di tengah perbedaan, di samping menyibukkan diri ber-taqarrub kepada-Nya. Sehingga, orang yang mendalami ilmu tasawuf, akan menjadi pribadi yang saleh secara spiritual, moral dan juga sosial. Tipe kesalehan inilah yang nantinya dapat mengharmonisasikan kehidupan manusia yang penuh dengan kemajemukan dan membentuk manusia yang memiliki sikap toleransi dan cinta kasih yang tinggi.

Jelaslah tarekat dan radikalisme sangat berbeda jauh. Keduanya bagaikan langit dan bumi yang selamanya tidak bisa disatukan atau dipadukan. Tentunya ini menjadi landasan bahwa gerakan radikalisme akan menjadikan kehidupan mereka gelap, jauh dari cahaya Allah, dan gelapnya hati yang pada akhirnya mereka akan mengalami krisis spiritual. Krisis spiritual ini adalah “lumpuh”-nya koneksi dirinya dengan Allah, sehingga memudahkan mereka untuk berbuat sesuatu yang tidak sejalan dengan petunjuk-Nya. Berangkat dari krisis spiritual inilah manusia akhirnya kehilangan sikap-sikap manusiawi, kepekaannya terkahadap masalah-masalah sosial dan “belas kasih”-nya terhadap sesama makhluk. Untuk itu, krisis spiritual juga berdampak pada krisis moral dan sosial.

Tarekat sebagai bagian dari syariat Islam merupakan bentuk program pendidikan jiwa memberikan gambaran umum tentang aspek kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan yang sempurna, baik secara fungsional maupun ontologis Unsur spiritualitas memiliki pengaruh yang kuat terhadap proses pembentukan sikap, nilai dan moral seseorang baik dalam kehidupan intrapersonal maupun interpersonal, untuk itu muncullah istilah psikologi transpersonal sebagai pendekatan holistik yang memadukan antara spiritulitas dan psikosintesis (Cunningham, 2011).

Beranjak dari itu, bertarekat sangat berperan penting dalam proses perbaikan qalbu, akhlak, budi pekerti manusia, pensucian batin, dan kejernihan pikiran termasuk meredam radikalisme. Melalui kebaikan moral, hati dan pikiran inilah manusia akan senantiasa bertindak, bersikap, berucap dan berperilaku sesuai dengan aturan Allah Swt, dan hanya manusia yang jiwanya bersihlah yang mampu menerapkan sifat-sifat Allah yang mulia.

Melakoni dunai tarekat bukan hanya berkontribusi secara spiritual, namun juga moral dan sosial. Dunia tarekat menjadi solusi untuk sebuah kesempurnaan kehidupan manusia yang seimbang, bijaksana dan adil, yang selalu menebarkan kemanfaatan, meraih kebaikan dan sa’adah daraini (dunia dan akhirat).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru