30.9 C
Jakarta
Array

Merebut Tafsir: Herankah ada ISIS di PAUD?

Artikel Trending

Merebut Tafsir: Herankah ada ISIS di PAUD?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya, terus terang,  tak terkejut melihat unggahan di FB  yang menampilkan anak TK memakai gaun hitam/burqa sambil menyandang replika senjata dalam perayaan 17-an. Saya justru  heran  pada reaksi orang yang terkejut atas fakta ini. Artinya selama ini banyak yang tak melihat kenyataan tak terkendalinya materi pendidikan dan pengajaran di PAUD (TK, pendidikan luar sekolah dan pendidikan usia dini lainnya).

Tahun 2014, bersama Hasriadi Ary, peneliti dari Ininnawa Makassar, kami melakukan penelitian tentang partsipasi masyarakat dan peran pemerintah  dalam pendidikan TK di provinsi  xxx. Kesimpulannya, lembaga pendidikan yang meraih partisipasi masyarakat paling tinggi adalah TK.  Namun pada saat yang sama, pendidikan ini pula  yang paling tak terkontrol dan tak terawasi oleh negara. Karenanya, mau mengajari apa saja di TK  pasti bisa!  Di suatu kabupaten, misalnya, atas nama penerapan syariat dan untuk menjaga anak perempuan dari prilaku buruk, pemerintah lokal mengeluarkan kebijakan anak perempuan segala umur tak boleh menari- pun di tingkat TK! Di suatu sekolah, pengibaran bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya tidak diperbolehkan karena dianggap akan merusak aqidah.

Masalahnya, dari sisi nomenklatur, lembaga pendidikan tingkat TK didefinisikan sebagai lembaga pendidikan yang dikelola warga masyarakat. Karenanya unsur partisipasi masyarakat sangat diutamakan. Seharusnya besarnya partisipasi warga tak menghilangkan  kehadiran negara utamanya dalam kerangka untuk menjaga dan menjamin  tujuan umum pendidikan di negeri ini.  Namun  kenyatannya, kehadiran negara seringkali sangat mnimalis.  Akibatnya siapapun bisa memberi makna  apa saja pada pendidikan tingkat awal itu dan bagaimana cara  mewujudkannya.

Hal yang paling umum adalah memenuhi tuntutan orang tua agar anak bisa baca tulis sebelum masuk SD. Orang tua melakukan itu karena banyak SD menggunakan “kemampuan baca tulis” sebagai parameter seleksi atas nama pembatasan kuota kelas.

Karena mayoritas pendudukan Indonesia beragama Islam, TK dan PAUD diisi oleh anak-anak komunitas Muslim.  Dan seperti sebuah aksioma yang wajar dan masuk akal,  pendidikan TK  pun dijadikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan warga. Karenanya bertebaranlah TKIT- TK Islam terpadu. Kini, sangat sulit ditemukan lembaga pendidkan TK/PAUD  di tingkat komunitas yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang netral dari muatan ajaran agama. Lembaga serupa itu mungkin hanya tersedia di kota yang dikelola  sebagai lembaga pendidikan  semi internasional dengan bahasa pengantar Inggris.

Di TK  yang tersedia di komunitas, anak dijejali beragam hafalan, utamanya hafalan bacaan keagamaan. Tempat di mana seharusnya mereka membangun jutaan jaringan neuron pada jaringan otaknya yang dikembangkan melalui gerak motoriknya justru dimatikan dengan meminta  anak duduk dan diam.  Mereka dipaksa menghafalkan bacaan dengan target-target tertentu. Hal ini, dalam banyak kasus,  juga dilakukan sebagai perpaduan antara agenda lembaga pendidikan tersebut dengan kehendak orang tua.   Ini karena lembaga informal lain yang semula dimaksudkan sebagai lembaga untuk pembelajaran agama yang dikelola masyarakat tak lagi hadir. Perubahan tata kelola hunian yang menjadi kompleks-kompleks perumahan telah menggusur salah satu peran lembaga pendidikan informal yang semula dikelola warga seperti Madrasah atau Sekolah Minggu. Masih untung di sejumlah tempat, mesjid komunitas bisa dimanfaatkan sebagai lembaga pengajian anak-anak (pengganti madrasah), sebab di sejumlah tempat, dengan alasan tak boleh mendirikan rumah ibadah, tak tersedia Sekolah Minggu bagi anak-anak kaum Kristiani setempat.

Sebagai lembaga yang dikelola warga, di sejumlah tempat lembaga TK juga menjadi lembaga bisnis untuk meraup keuntungan. Bukan keuntungan besar-besaran. Di sejumlah tempat TK/PAUD didirikan karena ada subsidi dari dinas pendidikan.  Hal yang lebih umum adalah, karena dana ditarik dari warga, maka yang terjadi munculnya perlombaan untuk menjadi TK favorit!  Selain  tersedia  ragam alat  bermain canggih (yang belum tentu kreatif), di TK favorit  harus ada komputer, plus kecanggihan guru dalam mem”beo”kan anak-anak dalam menghafal bacaan. Betapa bangga seorang ibu yang anaknya sudah khatam bacaan tertentu melampaui anak usia SD!.

Tak terkontrolnya materi pembelajaran di tingkat TK  juga dipengaruhi oleh input pendidiknya. Di sejmlah TK ada yang menyaratkan gurunya memiliki sertifikat mengajar tingkat TK/ PAUD, namun di banyak tempat, gurunya sama skelai tak tahu cara mengajar dan mendidik untuk pendidikan tingkat usia dini. Boro-boro filsafat pendidikannya. Tapi dengan gaji minimal – ada yang Rp 200.000/ bulan, kualitas apa yang diharapkan dari para pendidiknya?

Jadi masih herankah melihat ada yang aneh-eneh keluar dari lembaga pendidikan TK? Termasuk TK yang menampilkan semangat ISIS dalam karnaval 17-annya dan dimaksudkan sebagai meneladani Nabi.?   Ini jelas bukan melulu salah gurunya, kitalah  yang telah membiarkan TK sebagai pabrik  untuk memproduksi  monster!

*Lies Marcoes, analis sosial-keagamaan, tinggal di Bogor

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru