31.4 C
Jakarta
Array

Merdeka Indonesiaku

Artikel Trending

Merdeka Indonesiaku
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Semua orang diam terpaku. Tak sepatah suarapun terdengar. Tak ada yel-yel kemerdekaan, yang biasanya mengiringi pidato soekarno yang gegap gempita. Hatta berdiri tegak mendengarkan setiap kalimat yang terucap dari bibir Soekarno. Pandangan matanya lurus ke depan, tetapi pikirannya melayang, berkembara, pulang ke masa silam, hari-hari kemarin, hingga akhirnya tiba di hari ini, hari proklamasi. Sampai titik tujuan inikah berakhir segala perjuangan dan pengorbanan.

Dalam Hatta Hikayat Cinta dan Kemerdekaan sebagaimana tertulis di atas menggambarkan suasana proklamasi yang mengharu biru. Bukanlah citra akan kepongahan bangsa atas dirinya, karena sanggup memerdekakan dirinya sendiri. Sebuah syukur kepada tuhan YME, yang kemudian alampun mengamininya. Tidak hanya bumi dan langit yang berseteru dalam pengaminan tersebut, makhluk-makhluk yang tiada ternampakkan pun ikut andil. Tiada yang berani membuat kegaduhan sewaktu proklamasi di PROKLAMIRKAN. Hanyalah amin yang tergaungkan dalam sanubari insan yang akan merdeka..

Perjuangan 17 Agustus ini tiadalah semudah yang kita bayangkan. Walau semua bersatu padu untuk yang dinamakan merdeka, proses menghendaki sebuah perseteruan antara golongan muda dan golongan tua-begitu yang dikatakan buku LKS(lembar kerja siswa) Sejarah untuk jenjang sekolah menengah pertama. Perseteruan tersebut terjadi atas mereka yang mengatas namakan dirinya pemuda revolusioner, yang atas pemikiran mereka harus menyegerakan kemerdekaan dan harus dilakukan atas nama rakyat Indonesia, dengan Moh Hatta beserta yang lainnya yang sering disebut dengan golongan tua.

Hatta melontarkan pesan untuk kaum-kaum revolusioner dengan sembari senyumnya direkahkan, “Aku juga ingin melakukan revolusi, tetapi aku ingin mengokohkan dulu organisasinya. Tindakan yang kalian inginkan itu bukan revolusi, tetapi Putsch, seperti yang dulu dilakukan oleh Hitler di Munchen pada 1923 yang berujung dengan kegagalan.” Dulu ini dilontarkan kepada pemuda tadi, dan sanggup membikinnya tertegun.

Kalau kita hubungkan isi dari pesan tersebut dengan tepat tanggal 17 Agustus sekarang masihlah banyak kaitannya. Sekarang, merupakan zaman yang dinamakan zaman generasi millenial. Lebih sering zaman generasi millennial ini untuk berinteraksi dengan media sosialnya dan acuh kepada lingkungan sosial yang terjadi, seperti dilansir dari penelitian daripada Ericsson dalam media Republika. Banyak yang menyemarakkan kemerdekaan ini melalui media sosialnya, memakai twibbon, mengunggah foto kemerdekaan RI dan lain sebagainya. Namun seringnya generasi instan ini hanya memposting untuk mendapatkan pamor, like, follow, subscribe, dan lain sebagainya. Namun bukan pada bagian pamornya, bagian di mana, apakah himmah atau cita-cita kemerdekaan zaman dahulu masih terpegang oleh pemuda zaman sekarang. Akan persatuan, kemajuan, serta kemerdekaan yang haqiqi.

Tapi alangkah baiknya sebelum bergerak menuju kemajuan, kita tahu akan sejarah, tahu akan bentuk pijakan kita, atau tahu siapa yang kita pijak. Supaya lebih substantif postingannya. Sebuah kewajiban di Solo melakukan peribadatan pada momentum kemerdekaan ini, melakukan malam tirakatan bersama pada setiap RT, yang tiada lain alias malam berjuang, bersedia tidak menutup mata dan melakukan perenungan terhadap peristiwa detik-detik proklamasi mulai 16 Agustus malam sesampai pagi. Demi menghormati apa yang telah dititipkan oleh kakek-nenek kita, pahlawan kita.

“kita tidak melakukan perang secara langsung, yang perlu kita lakukan ialah refleksi atas apa yang sudah terjadi dan melakukan transformasi gerakan untuk kemajuan Indonesia kedepan, dan ini adalah bentuk refleksinya,” kata seorang mahasiswa pergerakan yang ikut dalam prosesi tirakatan.

Soekarno juga mewanti-wanti kepada pemuda sekarang karena tingkahnya yang aduhai dan mungkin ini juga akan dilontarkan persis seperti saat terjadi kegaduhan sesaat sebelum prosesi proklamasi.

“Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan kau tunggu esok!”

Mari sejenak kita mengirim doa untuk pendahulu kita semuanya… Alftikhah…..

Salam Pergerakan!

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru