28 C
Jakarta

Merayakan Natal Bersama Gus Dur, Gus Nadir, dan Quraish Shihab

Artikel Trending

KhazanahOpiniMerayakan Natal Bersama Gus Dur, Gus Nadir, dan Quraish Shihab
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam waktu dekat ini, saudara kita, umat Nasrani akan menyambut perayaan Natal. Tentu saja perayaan Natal di masa pandemi yang penuh ketidakpastian ini tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Lewat Surat Edaran Menteri Agama tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Ibadah dan Perayaan Natal di Masa Pandemi Covid-19, umat Nasrani diimbau agar kebaktian dan perayaan Natal diadakan sederhana, tidak berlebihan, dan lebih menekankan persekutuan di keluarga.

Meski Natal pada tahun ini dirayakan dengan sederhana, minimalis, dan senyap. Namun, tetap saja terdapat sesuatu yang riuh daripada perayaan Natal itu sendiri, yaitu narasi larangan umat Islam untuk mengucapkan ‘Selamat Natal’ kepada kaum Nasrani. Anehnya, narasi semacam ini selalu ramai, menggema, bertebaran di media sosial dari tahun ke tahun.

Padahal, narasi ini semestinya sudah usang, tak sepatutnya diamini oleh umat Islam Indonesia. Semangat keberagaman atas dasar spirit kebhinekaan dan pluralisme tentu harus dibangun dan dirawat bersama. Seperti yang telah diteladankan oleh Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Tak salah apabila Gus Dur, cucu Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri oganisasi Islam terbesar di Indonesia ini, dinobatkan sebagai Guru Bangsa, juga Bapak Pluralisme. Pasalnya, perjuangan panjang Gus Dur dalam membela kaum minoritas dan tertindas membuahkan perubahan nyata, dan dapat kita rasakan manfaatnya sampai sekarang.

Sebagai contoh adalah diresmikannya Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, menemani Islam, Katholik, Kristen Prosestan, Hindu, dan Budha. Dan masih banyak yang lain tentu saja.

Bagi saya, Gus Dur, bukanlah panutan bagi umat Islam atau kalangan Nahdlatul Ulama (NU) saja, melainkan panutan seluruh manusia Indonesia. Oleh sebab itu, tak heran ia dibanjiri asmo laqob atau julukan yang beragam dari umat lintas iman. Umat Islam menyebutnya sebagai Kiai dan Gus, umat Nasrani menjulukinya Berkah, umat Konghucu memanggil ia Bapak, sementara umat Hindu dan Budha panggil ia Pelindung. Tentu saja hal itu merupakan kehormatan yang tak dapat disandang oleh sembarang orang.

Kembali lagi ke persoalan Natal. Ironis sekali jika mengucapkan ‘Selamat Natal’ diharamkan hanya karena kekhawatiran terhadap kualitas iman kita. Jika mengucapkan ‘Selamat Natal’ lantas membuat iman kita berpaling, kemudian murtad atau pindah agama, alangkah lemahnya kualitas iman kita.

Buktinya, umat Muslim yang tiap tahun mengucapkan ‘Selamat Natal’ kepada umat Nasrani tetap saja menjadi seorang Muslim yang taat nan baik. Memberi ucapan Natal kepada saudara kita, umat Nasrani, sama sekali tidak ada kaitannya dengan akidah. Hal demikian hanya sebatas tenggang rasa, sopan santun, dan kebaikan bersama.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Gus Dur, bapak empat putri ini, malah menjadi pelopor agar umat Islam diberi kebebasan pilihan untuk menghormati Natal atau tidak. Bukan malah melarang apalagi mengharamkannya. Saat Gus Dur menjadi Presiden, ia bahkan memerintahkan Banser untuk menjaga gereja pada perayaan natal.

Menurutnya, menjaga gereja sama halnya menjaga rumah kita karena pada dasarnya gereja berada di bumi Indonesia. Selain itu, merayakan Natal bagi umat Muslim sejatinya adalah menghormati kelahiran utusan Allah, yakni Nabi Isa. Oleh sebab itu, tak heran jika umat Nasrani sangat mengagumi, dan menghormati Gus Dur.

Sementara itu, Nadirsyah Hosen, dosen hukum di Monash University sekaligus Ra’is Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia menyebutkan hal senada dengan Gus Dur. Lewat akun twitternya, putra Kiai Ibrahim Hosen yang lebih akrab dipanggil Gus Nadir ini, berpendapat bahwa tidak ada larangan bagi umat muslim untuk mengucapkan ‘Selamat Natal’.

Bahkan lewat cuitannya (13 Desember 2017) dijelaskan bahwa mayoritas ulama kontemporer memperbolehkan mengucapkan ‘Selamat Natal, seperti Syekh Mustafa Az-Zarqa, Syekh Wahbah az-Zuhaili, Syekh Ali Gomaa, Syekh Yusuf Qatdhawi, Syekh bin Bayyah, dan Habib Umar bin Hafidz.

Bahkan, menurutnya, menghadiri perayaan Natal di luar gereja diperbolehkan. Mendatangi dan memberi kado untuk acara Natal pun diperbolehkan. Yang tidak diperkenankan adalah mengikuti ritual Natal di dalam gereja.

Sama halnya dengan Gus Nadir, mufasir kenamaan Indonesia, Quraish Shihab, saat ditanya perihal hukum mengucapkan selamat hari raya agama lain oleh putrinya, Najwa Shihab di kanal YouTube-nya, ia menjawab, bukan hanya tidak boleh, bahkan bagus karena ikut bergembira pada kegembiraan orang lain. Bagi Quraish Shihab, mengucapkan selamat hari raya untuk umat agama lain merupakan hal baik demi menjaga kerukunan dan perdamaian.

Alhasil, jika para orang alim yang memiliki otoritas keilmuan yang mumpuni, tidak diragukan lagi sependapat dengan hal itu. Mengapa kita, orang awam, selalu membuat kegaduhan di media sosial? Mau sampai kapan umat Islam memperdebatkan larangan mengucapkan ‘Selamat Natal’?

Nur Kholis
Nur Kholis
Mahasiswa KPI Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru