30.8 C
Jakarta
spot_img

Merawat Pancasila dan Membongkar Kecacatan Ideologi Jihadis

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMerawat Pancasila dan Membongkar Kecacatan Ideologi Jihadis
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa hari lalu, kita dikagetkan berita nasional bahwa pemerintah Indonesia akan memulangkan Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin atau yang dikenal Hambali. Berita ini disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia, yakni Yusril Ihza Mahendra, bahwa pemerintah saat ini tidak hanya mengurusi narapidana asing di Indonesia, tetapi juga warga Indonesia yang ditahan di luar negeri (Kompas, 2025).

Berita ini jelas menjadi tamparan keras bagi kita semua para pejuang demokrasi dan penegakan Pancasila. Pasalnya, belum ada alasan kuat yang mendasari pemerintah untuk memulangkan sosok ideolog teror bernama Hambali yang sekarang ditahan di penjara militer Amerika Serikat di Teluk Guantanamo. Sudah mafhum semua siapa Hambali sebenarnya. Ia adalah sosok konseptor dan inisiator sejati dalam dunia teror yang membajak nama Islam. Rekam jejaknya dalam aksi teror atas nama Islam telah dimulainya sejak awal tahun 2000an.

Mengutip dari Islah Bahrawi, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) melalui akun X pribadinya, Hambali adalah mantan Ketua Mantiqi 1 Jamaah Islamiyah Asia Tenggara yang terhubung langsung dengan Osama bin Laden dan Ayman al-Zawahiri. Salah satu murid ideologis Hambali adalah Dulmatin, DPO 6 negara yang kepalanya pernah dihargai 10 juta USD oleh FBI dan akhirnya tewas tertembak oleh Densus 88 pada tahun 2010 di Pamulang. Hambali ditangkap dalam pelariannya pada tahun 2003 di Ayutthaya, Thailand. Pasca ditangkap, dia dipindahkan beberapa kali untuk diamankan di beberapa safe house hingga ke Yordania, untuk menghindari upaya pembebasan paksa dari pihak Al-Qaeda. Hambali akhirnya dipindah ke penjara Guantanamo pada tahun 2006.

Tidak berhenti di situ, lanjut Islah, rekam jejak Hambali di Asia Tenggara diawali oleh rencananya untuk mengebom beberapa lokasi strategis di Singapura, termasuk Stasiun MRT Yishun, pada tahun 1999. Rencana itu batal setelah otoritas keamanan Singapura (ISD) menangkap 19 anggota jaringan Hambali di Singapura. Setelah itu, Hambali selanjutnya mengorkestrasi perencanaan dan pendanaan aksi serentak “Bom Malam Natal” pada 24 Desember 2000 di beberapa gereja yang tersebar di 7 kota besar Indonesia, dan 18 orang tewas dalam tragedi tersebut.

Itulah sekilas beberapa rekam jejak Hambali, untuk lebih lengkapnya bisa langsung ditelusuri di akun X pribadi Islah Bahrawi. Namun yang pasti, Hambali banyak terlibat dalam rencana aksi teror di berbagai tempat di Asia Tenggara. Bahkan dia juga sempat mendirikan “Al-Ghuraba”, sebuah pasukan khusus teror global dari Pakistan.

Al-Ghuraba dan Doktrin Ideologi Jihadis

Membaca rekam jejak Hambali yang juga sempat mendirikan pasukan khusus teror global bernama Al-Ghuraba, memancing saya untuk melakukan penelusuran tentang profil pasukan ini, lebih-lebih landasan doktrin yang dipakai dalam melakukan aksi teror. Singkat cerita, akhirnya dari penelusuran ini mengingatkan saya kembali pada buku berjudul Al-Ghuraba Manhaj Mereka yang Terasing karya Abu Isrofiel. Satu judul buku yang saya pikir bernuansa radikal dan ekstrem. Sayangnya, saya belum menemukan data siapa Abu Isrofiel sebenarnya, entah hanya sebagai nama panggilan (laqob), samaran atau lainnya. Tetapi yang pasti, buku ini tidak layak dikonsumsi dan bertentangan dengan nilai ideologis bangsa Indonesia. Meskipun tidak menutup kemungkinan, buku ini sampai sekarang masih menjadi konsumsi para kelompok teroris dan didistribusikan secara sembunyi-sembunyi.

Selain itu, penelusuran ini membawa saya pada satu channel/saluran di platform Telegram yang mencurigakan dan saya pikir perlu diverifikasi ulang di lain waktu untuk menelaah doktrin kelompok salafi-jihadis. Fokus pada buku Al-Ghuraba Manhaj Mereka yang Terasing, dalam buku ini juga terdapat banyak sekali fatwa atau pemikiran Abu Muhammad Al-Maqdisi. Sosok yang juga mempunyai rekam jejak mengerikan dalam membajak nama Islam dan juga termasuk tokoh jihadis paling berpengaruh. Al-Maqdisi juga pernah tinggal di Afghanistan selama periode pertama 1987 saat jihad melawan Soviet, juga telah melahirkan banyak buku/risalah rujukan kelompok-kelompok jihadis di berbagai negara. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Millah Ibrahim, yang menjadi semacam manifesto bagi gerakan jihad global (Abu Fida, 2024).

Buku Al-Ghuraba Manhaj Mereka yang Terasing menarik untuk dibedah. Pasalnya, bisa dipastikan semua doktrin tulisan yang ada dalam buku tersebut diniatkan untuk menentang dasar ideologis negara Indonesia dan ditulis semacam model tematik. Di antaranya seputar kesesatan demokrasi, NKRI, Pancasila, dan lainnya, lengkap disertai landasan teologis, mulai ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, hingga pandangan ulama-ulama salaf.

Merujuk pada buku Al-Ghuraba Manhaj Mereka yang Terasing, para jihadis melihat nasionalisme sebagai agama dan merupakan salah satu bentuk ajaran syirik karena sudah menuhankan negara (tanah air). Bahkan menurut mereka, “…seseorang yang beriman kepada Pancasila akan mencintai dan membenci atas dasar Pancasila. Dia itu mu’min (beriman), tapi bukan kepada Allah, namun iman kepada Pancasila. Inilah makna yang hakiki dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun Yang Maha Esa dalam agama Pancasila bukanlah Allah, tapi itulah Garuda Pancasila yang melindungi pemuja batu dan berhala!!!”.

Selain itu, para jihadis meyakini bahwa sila ketiga Pancasila—Persatuan Indonesia—dengan butirnya yang berbunyi—menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau kelompok—menurut para jihadis termasuk kepentingan syirik.

BACA JUGA  Menyingkap Finansial Terorisme: Dari Sumber Gelap hingga Pendanaan Radikalisasi Global

“…disebutkan bahwa kepentingan nasional harus didahulukan atas kepentingan apa pun, termasuk kepentingan golongan (agama). Jika ajaran tauhid (dien Islam) bertentangan dengan kepentingan syirik dan kekufuran negara, maka tauhid harus mengalah. Sedangkan Allah SWT berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya [Al-Hujurat: 1]. Dan Allah SWT berfirman: Katakanlah: bila ayah-ayah kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, karib kerabat kalian, harta yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah yang engkau sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah…[At-Taubah 24]”.

Membongkar Kecacatan Ideologi Jihadis

Membaca penggalan doktrin kelompok jihadis di atas semakin meyakinkan saya akan kecacatan berpikir yang hakiki. Mulai ketika para jihadis melihat nasionalisme sebagai agama baru, dan Pancasila berserta segala butir/nilainya diyakini tidak sejalan dengan Islam. Tidak ada sedikit pun yang bisa dipertanggungjawabkan dari landasan telogis kelompok jihadis. Kalau boleh saya katakan, kelompok jihadis menjadikan Al-Qur’an hanya sebagai bahan legitimasi atas aksi-aksi terornya. Juga memaksa Al-Qur’an hanya untuk mengikuti hawa nafsunya. Inilah letak kebodohan yang sebenarnya dari kelompok yang membajak nama Islam selama ini.

Kecacatan berpikir atau kebodohan kelompok teroris bisa dilihat ketika mereka menjadikan Surah Al-Hujurat ayat 1 hanya untuk menentang Pancasila tanpa sedikit pun ada usaha untuk menelusuri konteks dari ayat tersebut. Menentang Pancasila juga berarti menentang pluralitas. Karena itu mari kita lihat kelompok jihadis yang memahami ayat secara sepotong, parsial, dan hanya mengambil ayat yang mempunyai efek legitimasi bagi dirinya (cherry picking), meskipun itu hanya sepenggal ayat.

Padahal sebetulnya, Surah Al-Hujurat ayat 1 berbicara tentang seruan kepada umat muslim untuk tidak memutuskan suatu perkara sebelum membahas dan meneliti lebih dulu hukum Allah atau ketentuan dari Rasul-Nya terkait perkara tersebut. Artinya, ayat ini tidak tepat untuk dijadikan dalil penolakan terhadap nilai Pancasila. Karena justru, ayat yang berbicara bahwa Islam mengakui adanya keberagaman atau pluralitas, sebagaimana juga nilai yang terkandung dalam Pancasila yakni pada ayat 13 Surah Al-Hujurat. Ibnu Katsir pun dalam kitab tafsirnya menjelaskan Syu’ūb berarti orang non-Arab, dan Qabāil adalah orang Arab (Ibnu Katsir, 1999). Selaras dengan Ibnu Katsir, At-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa Syu’ūb sebagai keturunan jauh (nasaban ba’īdan) dan Qabāil adalah keturunan yang dekat (At-Thabari, 2000).

Begitu pula dengan Surah At-Taubah ayat 24 yang juga dijadikan landasan untuk menentang nilai pluralitas dalam Pancasila. Tentu menjadi sesuatu yang konyol menjadikan ayat tersebut sebagai dalil penentangan terhadap Pancasila. Pasalnya, lagi dan lagi, ayat tersebut sama sekali tidak sedang berbicara tentang apapun terkait akidah. Justru ayat tersebut hanya tentang peringatan kepada manusia untuk tidak mencintai dunia secara berlebihan, apalagi sampai melebihi cintanya pada Sang Khaliq dan Rasul-Nya. Lantas, bagaimana ceritanya bisa kemudian dijadikan sebagai landasan teologis menentang Pancasila. Ironis sekali, bukan?

Para ulama ahli tafsir juga tidak ada perbedaan dalam menafsirkan Surah At-Taubah ayat 24 sebagai sebuah peringatan kepada seluruh manusia untuk tidak mencintai hal-hal yang bersifat duniawi secara berlebihan. Kemenag RI menafsirkan berlebihan di sini dengan melihat awal proses turunnya ayat tersebut, yang mana ayat tersebut berkenaan dengan keengganan sebagian kaum muslim untuk berhijrah ke Madinah karena diberatkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Padahal, hijrah merupakan wujud nyata kecintaan kaum mukmin kepada Allah dan Rasul-Nya.

Walhasil, tidak ada alasan bagi para jihadis untuk tidak mengakui bahwa Pancasila sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Karena sejatinya, Pancasila bukan hal lain dari Islam. Di samping Islam mengajarkan nilai kesatuan untuk membentuk perdamaian, Pancasila pun demikian. Keduanya mempunyai esensi dan keterpaduan spirit yang sama dalam memahami pluralitas sebagai sunatullah dan keniscayaan. Tak terkecuali pluralitas yang melekat pada dinding negara ini sebagai label dari realitas Nusantara. Wallahu A’lam.

M. Faidh Fasyani
M. Faidh Fasyani
Santri PP Al-Anwar Sarang Rembang. Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang, Rembang. Tulisannya telah termuat di beberapa media cetak dan online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru