27.1 C
Jakarta

Merawat Nilai-Nilai Moderasi di Tengah Negara Pluralistik Indonesia

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMerawat Nilai-Nilai Moderasi di Tengah Negara Pluralistik Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Indonesia tentu tidak dapat disamakan dengan negara lain, apalagi dibanding-bandingkan. Pasti negara Ibu Pertiwi ini memiliki sisi kelebihan dan sisi kekurangan. Sebagai warga negara, kita hendaknya selalu mensyukuri kelebihan yang dikaruniai Tuhan dan menerima dengan lapang dada kekurangan yang dimiliki suatu negara.

Kelebihan Indonesia dan jelas ini diakui oleh kebanyakan orang adalah sikap moderasinya. Moderasi atau dalam bahasa Arabnya wasathiyyah mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara pluralistik, yakni negara yang dapat menyatukan perbedaan yang terbentang luas di pelosok Nusantara. Mulai perbedaan suku, bahasa, budaya, hingga perbedaan agama.

Dengan moderasi perbedaan itu hadir bukan sebagai biang perpecahan, melainkan sebagai keindahan hidup. Tanpa perbedaan ini Indonesia akan menjadi negara yang menoton dan membosankan. Karena itu, perbedaan sangat dijaga. Masing-masing pemeluk agama diajarkan untuk saling menghormati. Semisal, mereka menghormati perayaan besar Idul Fitri untuk agama Islam, Hari Raya Natal untuk agama Kristen, dan seterusnya.

Penghormatan terhadap perbedaan tersebut merupakan bentuk toleransi yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Nabi tidak pernah mengganggu, apalagi merusak tempat ibadah orang di luar Islam. Nabi selalu bergaul dengan baik bersama mereka. Sehingga, melalui pergaulan yang baik itulah banyak pemeluk agama di luar Islam yang mengikuti dakwah Nabi. Bayangkan seandainya Nabi membakar hangus atau merusak tempat ibadah orang non-muslim! Pasti Islam tidak akan diterima di penjuru dunia.

Begitu besarnya pengaruh toleransi, Indonesia menjadi negara yang warganya paling banyak memeluk agama Islam. Pernyataan ini bukan dipahami, bahwa agama lain tidak baik. Saya yakin, semua agama adalah baik dan benar, selagi menegakkan prinsip moderasi. Terus, dengan banyaknya muslim di Indonesia seharusnya pemeluk agama semitik ini menjadi teladan terhadap pemeluk agama lain.

Sederhananya, menjadi teladan yang baik cukuplah menjadi pribadi yang mendamaikan. Tentu, pribadi ini menghindari aksi-aksi kekerasan yang merugikan orang lain, seperti terorisme. Pribadi ini tahu bahwa membunuh orang lain adalah perbuatan yang dilarang dan dilaknat dalam semua agama, lebih-lebih agama Islam. Disebutkan dalam surah an-Nisa’ ayat 93: Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Neraka Jahannam.

Nurcholish Madjid (atau yang lebih akrab disapa ‘Cak Nur’) adalah salah satu tokoh muslim Indonesia yang sangat mencintai perbedaan. Saking cintanya terhadap perbedaan, Cak Nur menawarkan gagasan pluralisme. Saya memahami pluralisme ini dalam New Age-nya Sukidi adalah paham atas kemajemukan agama. Maksudnya, Cak Nur meyakini kebenaran semua agama selagi agama itu beriman terhadap satu tuhan.

BACA JUGA  Lebaran Ketupat dan Makna Filosofis yang Dapat Kita Petik

Agama, bagi Cak Nur, bagaikan jalan yang berbeda-beda yang dapat mengantarkan seseorang (pemeluk agama) kepada satu tujuan (Tuhan Yang Maha Esa). Karena itu, Cak Nur menegaskan, bahwa perbedaan agama sesungguhnya memiliki kebenaran yang sama. Hanya kebenaran itu ditempuh melalui jalan yang berbeda. Ada yang melalui jalan yang dibawa Nabi Muhammad (agama Islam). Ada pula yang melalui jalan yang ditempuh Nabi Isa (agama Kristen). Dan seterusnya.

Berdasarkan gagasan Cak Nur ini, kita hendaknya tidak gampang menyerang balik dengan penyesatan. Kita hendaknya membaca maksud di balik gagasan tersebut. Cak Nur menghadirkan pluralisme tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk membela toleransi terhadap perbedaan yang akhir-akhir ini mulai dirusak oleh pemeluk agama Islam sendiri yang cara berpikirnya tradisionalis. Lebih dari itu, Cak Nur tidak ingin terjadi perpecahan, apalagi pertumpahan darah akibat pemeluk agama yang tidak menerima perbedaan.

Gagasan Cak Nur tersebut mendapat support dari Gus Dur. Sehingga, gagasan itu diperjuangkan Gus Dur sampai akhir hayatnya. Gus Dur, meski terlahir dari keluarga yang hidup di pesantren, tetap terbuka terhadap perbedaan. Saking terbukanya, Gus Dur tidak membatasi ruang geraknya. Semua orang, baik muslim atau non-muslim, saling bersaudara, sehingga mereka harus diperlakukan baik. Bahkan, Gus Dur tidak terima jika pemeluk agama di luar Islam direndahkan. Karena, mereka adalah saudara kita, meski berbeda agama.

Buah dari keterbukaan itu, Gus Dur menjadi ulama yang dicintai oleh semua umat. Sampai sekarang Indonesia merasa kehilangan ditinggal tokoh pluralis ini. Karena, Gus Dur memiliki kecintaan yang besar terhadap kemanusiaan. Cinta Gus Dur ini terus diabadikan oleh murid-muridnya dalam komunitas yang diberi nama GusDurian. Komunitas ini terus menghadirkan pemikiran Gus Dur yang toleran dan terbuka.

Menjaga perbedaan yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut adalah bukti kecintaan terhadap tanah air Indonesia. Sebab, Indonesia berdiri tegak bilamana warganya bersatu dalam perbedaan. Perbedaan yang terbentang di tubuh Indonesia adalah karakteristik negara pluralistik ini. Maka dari itu, kita hendaknya terus merawat cinta terhadap perbedaan tanpa terkecuali. Ingatlah semboyan bangsa Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika. Maksudnya, bersatu di tengah perbedaan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru