30.1 C
Jakarta

Merasa Seorang Penulis? Jangan Takut Ditolak Media

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMerasa Seorang Penulis? Jangan Takut Ditolak Media
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menulis adalah profesi keabadian. Kurang lebih seperti itulah yang ingin disampaikan oleh penulis tersohor, Pram. Bagi Pram, usia manusia boleh saja dibatasi angka-angka, tapi tidak dengan barisan kata. Saat manusia tak lagi bisa bersuara karena nyawa dan raga tak lagi bersama, ia akan tetap bisa bersuara dengan tulisan-tulisannya.

Sampai nanti, sampai akhir yang tak diketahui pasti. Singkat cerita, banyak orang yang memutuskan terjun ke dunia kertas & pena⸻kini menjadi dunia file dan laptop⸻ gegara terinspirasi oleh sosok Pramoedya Ananta Toer.

Sayangnya, hanya sebagian kecil yang tetap bertahan sebagai seorang penulis, sementara sisanya memilih menyerah karena telah lelah. Lelah dengan penolakan sekaligus ide yang sukar sekali ditemukan atau bahkan yang lebih tragis lagi, lelah dengan honor yang tak dapat memenuhi kebutuhan.

Untuk mempertahankan profesi keabadian tersebut, para penulis agaknya perlu banyak belajar dari sikap tokoh Aku dalam novel Sult karya peraih penghargaan Nobel Sastra asal Norwegia, Knut Hamsun.

Kelebihan utama novel ini adalah cerita yang berdasarkan pengalaman pribadi penulis saat diuji dengan kelaparan di Christania, menurut putra dari Knut Hamsun sendiri (Tore Hamsun) dalam buku biografi karyanya yang menceritakan sosok sang ayah ⸻Knut Hamsun, Min Far atau Knut Hamsun, Ayahku. Sehingga tokoh Aku dalam novel Sult adalah Knut Hamsun muda yang lengkap dengan segala gejolak batinnya.

Penolakan Naskah Adalah Hal yang Lumrah

Dikisahkan bahwa tokoh Aku berkesibukan sebagai seorang penulis mud(l)a yang berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhan perut lewat honor dari tulisan-tulisannya yang terbit di surat kabar.

Tokoh Aku mengawali karir kepenulisannya dengan banyak s(d)uka cita, seperti kegembiraan mendapatkan kabar bahwa tulisannya layak muat dengan honor lima sampai sepuluh krone yang akan menghindarkannya dari rasa lapar selama beberapa hari, lalu kembali lagi seperti semula dalam jangka waktu yang lebih lama.

Saking menderitanya, tokoh Aku harus merelakan beberapa barangnya berpindah ke sebuah tempat yang biasa disebut masyarakat Jawa sebagai ‘sekolah’. Kondisi ini dapat ditemui dalam kutipan berikut,

Akhir-akhir ini hidupku agak tersendat-sendat, makin lama makin banyak barang milikku yang pindah ke “pamanku” di rumah gadai (halaman 3).

BACA JUGA  Telaah Literasi Kita: Indonesia Darurat Membaca?

Tokoh Aku memang memiliki penghasilan dari tulisan-tulisan yang dihasilkan, namun tak semua tulisan harus berujung pemuatan. Bagi seorang penulis, penolakan naskah adalah hal yang lumrah. Bahkan, hanya penolakan yang membuat seorang penulis mengetahui kekurangan tulisannya.

Dengan begitu, tulisannya akan mengalami peningkatan kualitas sesuai dengan seberapa sering tulisannya mengalami penolakan. Bukankah koreksi yang membuat seseorang belajar? Sama halnya dengan tokoh Aku yang mengalami penolakan berkali-kali, sehingga ia bertekad tak akan kembali ke redaktur sebelum menenteng tulisan yang akan membuat sang redaktur terkesan, seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini,

Aku bertekad takkan datang padanya lagi sampai saat aku sanggup membawa suatu karya yang akan membuat “Komandan” terkesan, sehingga ia akan membayarkan sepuluh krone tanpa ragu-ragu sesaat pun. Dan aku pulang lagi, dan mulai menulis lagi (halaman 145).

Tulisan yang ditolak tidak selalu berarti tulisan tersebut tidak layak, sebab setiap surat kabar memiliki kriteria yang berbeda-beda. Misalnya saja surat kabar A cenderung menyukai tulisan yang bernuansa keagamaan, sementara tulisan yang dikirimkan surat kabar A lebih bernuansa politik.

Tentu saja tulisan tersebut memiliki kecenderungan ditolak daripada dimuat karena ketaksesuaian gaya selingkung. Oleh sebab itu, penulis sudah seyogianya tidak berhenti pada satu media, tetapi berani mencoba media-media lainnya. Sebagaimana tokoh Aku dalam novel Sult yang marah dan kecewa terhadap penolakan, namun berani mencoba ke surat kabar yang lain. Berikut kutipannya,

Tulisan terakhir yang begitu kuharapkan, dikembalikan oleh sang redaktur, dan aku langsung menyobeknya, marah, tersinggung, tanpa membacanya sekali lagi. Sementara ini akan kucoba surat kabar lain, agar lebih banyak pilihan (halaman 141).

Sikap tokoh Aku dalam novel ini pada dasarnya merefleksikan kondisi psikologis mayoritas penulis yang cenderung kecewa daripada berterima saat naskahnya ditolak, namun satu hal yang harus disadari setiap penulis di seluruh penjuru dunia, bahwa penolakan adalah hal yang lumrah. Jika seorang peraih penghargaan Nobel Sastra saja masa mudanya dilakui dengan penolakan, maka mengapa para penulis harus takut ditolak?

Akhmad Idris
Akhmad Idris
Alumnus Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya. Beberapa karyanya pernah dimuat di dalam Jurnal Pena (Universitas Jambi), jurnal Salingka (Kemendikbud), Jurnal Pembelajaran Bahasa & Sastra (Universitas Negeri Malang), dan Jurnal Efektor (Universitas PGRI Kediri).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru