28 C
Jakarta

Merasa Paling Religius, Benih Awal Terorisme?

Artikel Trending

KhazanahOpiniMerasa Paling Religius, Benih Awal Terorisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Fenomena tuduhan kafir, sesat, masuk neraka, dan sebagainya yang bisa berujung pada kekerasan atas nama agama terhadap orang atau kelompok tertentu di Indonesia seolah tidak pernah usai. Tuduhan-tuduhan tersebut tidak hanya terjadi antarumat beragama yang berbeda atau antaragama, tetapi juga antarumat beragama yang sama atau intra-agama.

Jika dicermati, fenomena ini bisa menjadi benih awal dari terorisme. Sudah banyak mekanisme baik secara struktural maupun kultural dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi masalah ini yang patut diapresiasi sekaligus dievaluasi.

Fenomena tuduhan-tuduhan tersebut salah satunya berakar pada sikap seseorang yang merasa dirinya paling beragama atau religius diiringi dengan anggapan bahwa orang lain selain dirinya masih tidak religius atau belum religius. Hal ini memunculkan pertanyaan sederhana: Apakah seseorang tidak boleh merasa religius?

Dale Cannon, dalam karyanya Six Ways of Being Religious, menyebutkan bahwa paling tidak, ada enam cara yang biasa digunakan oleh seseorang untuk merasa dirinya religius atau saleh. Pertama, melaksanakan ibadah ritual, seperti salat, misa, dan sebagainya. Kedua, belajar ilmu agama. Ketiga, mendalami mistis atau spiritual, seperti mengikuti tarekat atau sejenisnya.

Keempat, bermediasi dengan orang-orang suci, seperti berziarah ke makam nabi atau sebagainya. Kelima, mengabdi, seperti menjadi aktivis organisasi keagamaaan atau sejenisnya. Keenam, berakhlak baik dan benar, seperti bersikap jujur, adil, tertib, dan sebagainya.

Perasaan religius dalam diri seseorang tentu tidak diperoleh dengan terbatas pada enam cara di atas saja. Bahkan, jika diperhatikan dengan cermat, di zaman sekarang pun ada yang merasa sudah religius jika memakai “busana keagamaan” seperti gamis, sarung, dan sebagainya.

Dengan penjelasan Dale Cannon, ada tiga hal yang menurut penulis penting untuk ditandai.

Pertama, perasaan religius adalah sebuah hal yang bersifat subjektif. Setiap orang bisa merasa, menyatakan, dan mengklaim dirinya religius. Pada dasarnya itu wajar-wajar saja. Lebih-lebih di era digital sekarang ini, setiap orang bebas menunjukkan religiusitasnya.

Di story maupun feed Instagram misalnya, sering kali ditemukan orang-orang mengunggah kegiatan keagamaan yang diikutinya lengkap dengan caption ayat-ayat suci atau kutipan tokoh agama tertentu.

Hal tersebut cukup untuk membuat seseorang merasa religius, membentuk image religius, dan orang lain pun mengiranya religius. Jika dihubungkan dengan Tuhan, orang bisa saja mengaku dekat dengan Tuhan, namun tidak ada satupun yang bisa “mengkonfirmasi” hal tersebut pada Tuhan untuk disaksikan oleh semua orang sebagai bukti kedekatannya dengan Tuhan.

BACA JUGA  Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Seberapa Bahaya?

Kedua, meskipun setiap orang bebas menunjukkan kereligiusannya, hal tersebut bisa saja menjadi masalah apabila seseorang memaksakan kriteria dan standar kereligiusannya yang bersifat subjektif pada orang lain. Jika hal tersebut terjadi, kehidupan sosial keagamaan akan rentan terganggu.

Orang yang salat menganggap orang yang tidak salat akan masuk neraka lalu memaksanya untuk salat, orang yang pendidikan agamanya tinggi merendahkan orang yang pendidikan agamanya rendah, orang yang ikut ormas agama A menghina orang yang ikut ormas B, pengikut tokoh agama A mencaci pengikut tokoh agama B, dan seterusnya.

Bisa jadi, puncaknya, tuduhan sesat akan saling dilemparkan satu sama lain. Maka, sikap rendah hati dalam beragama sangatlah penting dan itu juga merupakan anjuran agama itu sendiri. Rendah hati sangat diperlukan termasuk dalam beragama.

Ketiga, ketika ada seseorang mengaku dirinya religius lalu dijadikan tokoh agama, hal tersebut menunjukkan bahwa penokohan tersebut juga didasari oleh perasaan religius yang subjektif. Hal ini bisa dilihat dari peristiwa penolakan tokoh agama tertentu, yang menunjukkan bahwa masyarakat yang menolak tokoh agama tersebut memiliki kriteria dan standar kereligiusannya sendiri.

Maka, pembentukan masyarakat yang cerdas, logis, dan bijak dalam beragama juga sangat penting. Dengan begitu, tokoh agama yang gemar menuduh sesat, kafir, dan sebagainya, tidak akan “laku” dengan sendirinya.

Alhasil, setiap orang berhak dan wajar-wajar saja untuk merasa religius, namun dalam menjalankan kereligiusannya, seseorang perlu menyadari bahwa perasaan religiusnya itu bersifat subjektif sehingga ketika dirinya merasa religius dirinya harus ingat bahwa orang lain juga merasa demikian dengan kriteria dan standarnya sendiri-sendiri.

Oleh sebab itu, sikap rendah hati dan bijak dalam beragama menjadi sangat diperlukan di era keberagamaan yang beragam ini agar kereligiusan seseorang memberi dampak yang positif terhadap diri dan lingkungannya, sehingga fenomena tuduhan-tuduhan sesat, kafir, dan sebagainya tidak lagi terjadi karena hanya memuaskan “nafsu beragama”-nya sendiri. Jika tidak, dirinya akan merasa benar sendiri dan bisa saja menyerang orang lain yang dianggap tidak religius.

Muhammad Alwi
Muhammad Alwi
Mahasiswa Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Minat pada kajian Hubungan Antaragama.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru