Masjid merupakan salah satu tempat yang sangat dibutuhkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Muslim. Namun tidak banyak orang yang mau memperhatikan keadaannya. Berapa banyak masjid berdiri di komunitas mayoritas Muslim yang kurang diperhatikan. Berapa banyak daerah minoritas Muslim yang sangat membutuhkan keberadaan tempat ibadah namun kesulitan mendirikannya.
Barangkali sudah jamak diketahui jika setiap masjid mempunyai beberapa orang yang mengurus. Di Indonesia mereka disebut ‘takmir masjid’. Kata takmir itu berasal dari bahasa Arab yang mempunyai asal makna ‘tetap atau panjang zaman’. Sehingga anggota takmir dituntut untuk tetap siap mengurus dan merawat masjid setiap saat. Selain itu takmir juga sering diartikan dengan memakmurkan. Sehingga memakmurkan masjid menjadi tugas pokok seorang anggota takmir. Namun menurut penulis, takmir lebih tepat diartikan dengan meramaikan. Sebab anggota takmir dituntut untuk melakukan berbagai cara agar masjid tidak sepi dan kosong. Alhasil tujuan dari takmir adalah menjadikan rumah Allah menjadi ramai dengan berbagai bentuk ibadah dan aneka kegiatan positif.
Pada beberapa tahun belakangan, kata takmir sudah digantikan dengan istilah baru, yakni DKM (Dewan Kemakmuran Masjid). Istilah baru ini merupakan suatu terobosan baru agar istilah takmir yang dinilai kesan kurang menarik dan rendahan bagi sebagian orang berubah menjadi lebih bergengsi. Apalagi istilah merbot yang bagi sebagian kalangan merupakan pekerjaan yang kurang dihargai. Padahal sebenarnya DKM, takmir, merbot atau siapapun yang mengurus masjid merupakan tugas yang sangat mulia. Tanpa mereka umat Islam tidak akan nyaman beribadah di masjid.
Sejatinya meramaikan masjid bukanlah tugas para DKM, takmir, dan merbot saja. Namun men-ta’mîr-kan masjid merupakan tugas bagi semua insan Muslim. Allah swt dalam QS Al-Tawbah: 18 telah menerangkan orang-orang yang meramaikan masjid. Mereka hanya dibatasi dengan empat ciri; Pertama, beriman kepada Allah swt dan hari akhir. Orang yang keimanannya benar-benar menancap dalam hati akan senantiasa menghiasi waktu-waktunya dengan beribadah terutama shalat jamaah. Kedua, mendirikan shalat. Bisa dapat dipastikan orang yang memperhatikan shalatnya akan berupaya pergi ke masjid saat mendengar azan dikumandangkan. Ketiga, mengantarkan zakat. Muslim yang taat pasti mau mengeluarkan zakat. Umumnya setiap masjid menerima zakat yang akan disalurkan kepada yang berhak. Sehingga mau tidak mau orang yang berzakat akan pergi ke masjid untuk mengantarkannya. Keempat, hanya takut kepada Allah swt. Orang yang gemar pergi ke masjid merupakan orang yang ikhlas mengharap ridanya. Dia tidak akan pergi ke masjid hanya untuk mencari perhatian sesamanya.
Mufassir kenamaan, al-Razi menegaskan bahwa yang dimaksud dengan meramaikan masjid ada dua kemungkinan; pertama, sering mendatangi dan beri’tikaf. Kedua, membangun dan merawat masjid. Namun beliau menambahkan dua ciri yang disebutkan dalam QS Al-Tawbah, yakni mendirikan shalat dan mengantarkan zakat, mengindikasikan bahwa yang dimaksud dari meramaikan adalah mendatangi masjid untuk beribadah dan berbagai kegiatan positif.
Di era tahun 90-an, masjid dan mushala masih sempat menjadi tempat favorit bagi masyarakat. Bahkan anak-anak tidak takut untuk menginap dan tidur di masjid ataupun mushala. Para Orang tua pun tidak khawatir mereka tidak pulang. Karena masjid dan mushala menjadi tempat yang sangat nyaman dan mengasyikan bagi mereka. Namun kini hal itu sudah sangat terbalik. Masjid sudah banyak ditinggalkan. Anak-anak remaja lebih asyik di alun-alun dan aneka macam taman yang dilengkapi dengan jaringan wifi.
Apakah hanya pijakan kaki-kaki keriput tak beralas yang membersihkan debu lantai masjid? Apakah terus hanya suara azan dengan nafas berat diselingi batuk yang menggaduhkannya? Apakah hanya kicauan burung-burung yang memanggil para jamaah sambil meninggalkan jejak yang sama sekali tidak diharapkan? Sudah ramaikah masjid kita? [Ali Fitriana]