27.1 C
Jakarta
Array

Merajut Kerukunan Ala “Pluralisme” Pesantren

Artikel Trending

Merajut Kerukunan Ala “Pluralisme” Pesantren
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dulu sekali, Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 masih gusar sekaligus garang terhadap tumbuh suburnya ideologi-ideologi yang bertentangan dengan agama Islam, ia yang menjadi korban fatwa haram adalah pluralisme, sekularisme, dan liberalisme yang katanya mengoyahkan sistem ideologi negara yang dikenal dengan demokrasi dan pancasila meskipun tak pancasilais sekali.

Memang benar, selaku orang tua kita MUI mewaspadai atas segala ideologi-ideologi yang menyimpang dari jalan tol bernama pancasila yang lahir dari cucuran keringan para pendiri bangsa untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang demokratis. Paling tidak fatwa haram dari MUI adalah sebagai bentuk kewaspadaan dan kehawatiran-kehawatiran, tak masalah bersedia payung sebelum hujan toh kenyataannya juga tak dihiraukan. Pemerintah malah senang melihat ideologi berselewengan dengan UUD 45 yang katakanlah sakral.

Nyatanya, di pentas era reformasi pada usia negara NKRI yang ke-72, persoalan ideologi-ideologi yang ber-kelas ekstrem dan radikal terus naik ke atas canggah negara yang “plural” dan ingin menggantikan bendera negara dengan satu bentuk ideologi absolut yang menurut Adian Husaini memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim), sedang pemerintah tak benar-benar mau serius menangkis ideologi semacam itu.

Jika terus santai, maka negara pancasila ini tak salah jika terus dihantam dengan berbagai ideologi-ideologi yang menyimpang tadi, mungkin saja saat ini telah berada di abang kehancuran (berada di ujung tombak) dengan noda-noda praktek keragaman yang menyimpang dari subtansi nilai pokok “perdamaian”. Mari kita lihat, misalnya praktek kejahatan terorisme dan radikalisme yang memasang badan sebagai kelas agama Islam yang menempuh jalur garis keras, karena pandanganya yang terlalu eksklusiv, anti-tradisi, dan kerap mengusung ide-ide islamisme, yang dengan santainya menarik penafsiran dikotomi terhadap agama-agama lain dan mengebom ideologi yang tak sama menjadi salah satu bumerang paling hebat. Ini adalah bukti dari rentetan buramnya kesejarahan negara yang mejemuk, dan secuil dari akutnya penolakan terhadap negara yang plural.

Kalau mau arif menilai negara Republik ini dengan kedewasaan dan akal sehat, ia ibarat sebuah kapal yang memuat beragam macam barang, baik dari keragaman suku bangsa, seni, budaya, agama, ideologi, dan lain-lain, itu sebab Clifford Geert menilai bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kompleks dengan satu pilar Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa yang multikultural dan plural.

Ya, memang nasib jika sebagian kelompok masih menutup kuping dan tak mau mendengar suara-suara keberagaman yang ada di Indonesia, mau untung sendiri, mau menang sendiri, dan mau pokok-nya pokok-nya—muncul reaksi klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Maka tak bisa disalahkan jika pemerintah (maaf) membubarkan organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena tak mengakui sistem demokrasi dan keberagaman yang ada di Indonesia, meski itu sih titik kecil yang jadi sampel saja.

Selain itu, belum lagi kasus kekerasan yang terjadi karena tak ada keselarasan pemahaman antar keberagamaan, untuk melihat contohnya: tinggal lihat bagaimana kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah yang terjadi sampai 15 kali dari tahun 2010 hingga 2011,  kekerasan terhadap Jama’ah Qiyadah al-Islamiyah Siroj Jaziroh di Padang Sumatra Barat tahun 2007, sampai kekerasan terhadap Jemaat Gereja di Bandung Jawa Barat tahun 1995, 1999, 2005 hingga 2007, kasus kekerasan terhadap umat Katolik di Sleman Yogyakarta, tahun 2014, sampai penyerangan kaum Kristiani terhadap warga Muslim saat dalam suasana Idul Fitri tahun 2015. Selain itu, juga tindakan diskriminasi pada penduduk Syi’ah di Sampang tahun 2013 yang masih tergiang di ingatan dan tak bisa dilupakan begitu saja.

Oleh karena itu, penting kiranya Indonesia merawat satu rumpun kemajemukan dan atau heterogenitas tersebut menjadi sebuah kekuatan, bukan ancaman dengan alasan ketakpahaman. Karena sumber utama konflik menurut teori Huntington memang tak bisa lepas dari keberagaman: baik antar kelompok, agama, budaya, etnis, bahasa, yang terus bertele-tele semenjak era reformasi digaungkan hatta sekarang ini dengan kepongahan kemerdekaan yang tak terkontrol.

Untuk sekarang ini, mengutip perkataan bapak pluralisme macam Gus Dur, Indonesia perlu merevitalisasi dan merawat pluralisme. Gus Dur menyatakan dan menegaskan kembali akan pentingnya merawat kemajemukan dalam bernegara untuk memperkuat ikatan nasionalisme Indonesia yang Cak Nun bilang sakit perut. Merawat berarti ada upaya agar negara kesatuan republik ini tak karat dan tak terkikis oleh serangan dari luar, sebab selama ini negara tak mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok antimultikultural dan antipluralis yang melanggar hukum, seolah negara membiarkan kesalahpahaman tentang makna multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia terus berlanjut mengecambah dan bahkan dapat menjurus ke perpecahan yang sulit disembuhkan.Wallahua’lam..

Jamalul Muttaqin, peneliti di bidang sosial, agama, dan sastra, tinggal di Sumenep.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru