27.6 C
Jakarta
Array

Meraih Kedamaian di Era Digital

Artikel Trending

Meraih Kedamaian di Era Digital
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Era globalisasi membawa banyak perubahan pada model penyampaian informasi. Dahulu kegiatan berkirim pesan membutuhkan waktu paling sedikit tiga hari, namun digitalisasi mempersingkatnya menjadi beberapa detik saja. Melihat peluang itu, manusia sebagai penggerak roda globalisasi melakukan tugasnya dengan baik. Mereka berlomba-lomba membaca, menyebarkan, dan memajang informasi melalui alat komunikasi yang dimiliki. Sayangnya, pertukaran informasi ini menjadi celah besar berkembangnya berita hoaks atau berita bohong. Kehadirannya mengubah kebiasaan guyub rukun masyarakat menjadi individualistik dan lebih sensitif.

Ironisnya, globalisasi semakin mempermudah warganet menciptakan dan menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannya. Tidak hanya orang awam, kalangan akademisi yang mempunyai intelektual tinggi dapat berperan sebagai agen penyebar kebohongan. Dengan menekan tombol share tanpa melakukan klarifikasi, membuat pelaku berpeluang besar sebagai agen penyebar kebohongan.

Artinya semua pihak dapat berperan aktif dalam penyebaran berita hoaks ini. Semua orang, dari yang mempunyai intelektual tinggi sampai rendah mempunyai peluang sama sebagai agen penyebar hoaks (hal.39). Masifnya penyebaran berita hoaks, mengubah pola pikir masyarakat semakin berubah mengikuti alur provokasi yang disebarkan. Masyarakat harus pandai memilah berita mana yang harus ditelaah.

Secara psikologis, asupan berita dapat mempengaruhi pola pikir pembaca. Jika yang lebih banyak diserap informasi perdamaian, dengan sendirinya pola pikirnya akan mengutamakan persatuan. Sebaliknya, apabila berita provokatif yang lebih banyak diserap, maka kemarahan yang akan menguasai jiwa.

Agar berita hoaks tidak lagi berdampak dan penyebarannya dapat dihentikan, maka diperlukan keterkaitan semua pihak. Semua pihak harus mempunyai tujuan yang sama menumpas berita bohong. Untuk itu, perlu kesabaran serta kecerdasan emosional agar tidak menjadi korbannya.

Tidak ada agama manapun yang mengajarkan kekerasan. Baik agama Islam, Budha, Hindu, atau agama yang lainnya saling memotivasi umatnya untuk menyebarkan kasih sayang (hlm. 25). Dengan konsep seperti itu, tentu ada konsep-konsep dalam agama yang mengajarkan umatnya mencegah berita hoaks. Agama Islam sebagai agama terbesar di dunia mempunyai konsep yang luar biasa untuk menghadapi penyesatan berita.

Sebagai agama Rahmatan lil alamin, Islam menawarkan konsep tabayyun yaitu menyelidiki terlebih dahulu kebenaran berita tersebut. Konsep ini pernah diajarkan Rassulullah menghadapi fitnah yang ditimpakan kepada istrinya Siti Aisyah. Untuk mengatasi hal ini, Rasulullah tidak langsung percaya terhadap pemberitaan ini. Beliau menanyakannya kepada beberapa shahabat yang beliau percaya.

Padahal bisa saja, Nabi bertanya kepada malaikat Jibril tentang kebenaran berita ini. Namun, sebagai teladan umat, Nabi mengajarkan konsep tabayyun untuk membuktikan kebenaran berita. Sebab, orang biasa belum tentu bisa bertanya kepada malaikat Jibril, sebagai gantinya dipilihlah konsep tabayyun yang bisa dilakukan siapa saja.

Konsep tabayyun sangat dianjurkan untuk menghindari pemberitaan yang menyesatkan. Sebagai makhluk yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa, manusia harus menggunakannya untuk menyelidiki kebenaran. Selain itu, harus cerdas secara emosional juga, tidak terburu-buru emosi dan menghalalkan kekerasan.

Manusia harus mempunyai sifat syukur, yaitu menyadari akan sifat rahman (kasih) dan rahim (sayang) Allah swt dalam segala tindakan. Melakukan segala kebaikan dengan kenikmatan yang telah diberikan Tuhan, misalnya menggunakan kecerdasan pikiran untuk mengajak kepada kemaslahatan dan melarang segala bentuk pepecahan, membungkus perbedaan pandangan dalam lantunan kata-kata persatuan, dan tidak mudah melakukan aksi penolakan yang mengakibatkan perang saudara berkumandang.

Selain itu, Islam mengajarkan 4 konsep dasar yang dapat dijadikan pegangan ketika beraktifitas di dunia maya. Pertama, tawasuth , yaitu bagaimana sikap kita agar menjadi orang yang moderat, yang duduk di tengah atas suatu permasalahan. Kedua, tawazun, yaitu harus berimbang antara informasi yang dibaca dengan informasi yang dijadikan sebagai penguat berita. Ketiga, tasamuh atau toleransi, artinya ketika mendapat pemberitaan yang keluar dari pandangan kita, tidak lantas terburu-buru meluapkan emosi namun harus dicerna secara dingin dan penuh ketenangan. Keempat, tawadul atau keadilan, yang merupakan implementasi terhadap ketiga sifat tersebut. Kesemuanya harus dapat diaplikasikan secara nyata dan sempurna.

Agama harus dimanfaatkan sebagai pelindung berita hoaks. Konsep-konsep yang termaktub di dalamnya harus segera dipelajari dan dilaksanakan. Agama Islam sebagai rahmatan lil alamin harus kembali ditegakkan. Tidak cepat marah dan merajuk pada persoalan kecil yang ditumpangi oleh provokasi dan kebohongan. Menjadikan pemeluknya cerdas dengan konsep kasih sayang dalam agamanya.

Judul Buku           : Indonesia Tanpa Caci Maki

Penulis                  : Deni Gunawan

 

Penerbit                : Elex Media Komputindo

Tahun terbit         : 2019

ISBN                       : 978-602-04-9090-8

 

Jumlah halaman  : 204 halaman

 

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru