Menyusuri Akar Radikalisme Islam di Indonesia
Oleh: Mohammad Sholihul Wafi*
Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme di kalangan umat Islam akhir-akhir ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Meskipun pada dasarnya, Islam sama sekali tidak pernah membenarkan praktik penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan, serta paham politik. Tapi, memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam.
Perlu dipahami, radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok akibat dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan sosio-historis. Gejala praktik kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok Umat Islam itu, secara historis-sosiologis, lebih tepat sebagai gejala sosial politik ketimbang gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan panji-panji keagamaan.
Namun, fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam ini oleh pers Barat dibesar-besarkan, sehingga menjadi wacana internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh dengan kekerasan. Akibatnya, tidak jarang image-image negatif banyak dialamatkan kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat perlu dicurigai.
Tentu saja, Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam tentu tidak boleh diam kecurigaan-kecurigaan itu dialamatkan kepada umat Islam. Sebab, di Indonesia, mayoritals umat Islam bisa saling damai dan bergandeng tangan meski dengan keragaman yang majemuk. Oleh karenanya, hal ini menjadi tantangan baru bagi umat Islam menjawab tantangan apa yang menjadi akar dari radikalisme Islam di Indonesia? Mengapa masih ada saja kaum minoritas umat Islam Indonesia yang terjebak dalam radikalisme, meskipun jelas-jelas hal tersebut tidak dapat dibenarkan?
Akar radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab, antara lain: pertama, adanya tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya (Sun Chairul Ummah, 2012: 119). Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoritarianisme (Azyumardi Azra, 1996: 18). Dalam Sejarah Indonesia, kekuasaan Orde Baru selalu membabat habis yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Akibatnya, ketika era reformasi bergulir dan pilar-pilar kebebasan ditegakkan secara bebas, mereka merasa sudah tidak ada lagi yang mengekang dan memanfaatkan momentum ini untuk menyebarkan paham radikalisme seluas-luasnya. Tak ayal, bukannya radikalisme kian surut, justru menjadi kian subur.
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui, salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan yang di dalamnya juga mencakup solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Artinya, radikalisme muncul akibat faktor emosi keagamaan, dan bukan benar-benar muncul dari agama (wahyu suci yang absolut). Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif, yakni nisbi dan subjektif.
Keterlibatan faktor emosi keagamaan ini nyata ditunjukkan dengan terjadinya kerusuhan massal di awal reformasi, ratusan gereja dan tempat usaha etnis Cina dibakar, dirusak, dan dijarah. Pada bulan Mei 1998 kerusuhan bernuansa SARA menewaskan lebih dari 1000 orang. Kerusuhan Timor Timur, Poso, Ambon, Sambas, dan lainnya adalah sebagian dari daftar panjang kerusuhan yang dilatari oleh konflik agama dan etnik (Budhy Munawar-Rahman, 2010: LVII).
Ketiga, faktor kultural. Faktor ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari (1992 :95), bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Dalam konteks ini, ketika Umat Islam menganggap negaranya melakukan sekularisasi, tentu akan menimbulkan reaksi radikalisme, karena dalam pemerintahan Islam silam, agama dan negara selalu jalan beriringan.
Keempat, faktor ideologis antiwesternisme. Westernisme dianggap sebagai suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syariat Islam, sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam (Sun Chairul Ummah, 2012: 120). Dalam hal ini, meskipun motivasi dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan, tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
Terakhir, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam. Harus diakui, faktor ini juga menjadi penyebab munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Ini dikarenakan propaganda-propaganda yang dilakukan lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan bahkan sangat sulit untuk ditangkis, sehingga seringkali sebagian memeranginya dengan tindakan “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim. Lihat misalnya film Fitna, penggambaran tentang kiamat (film 2012), dan lainnya. Dengan kata lain, kesalahan munculnya fenomena radikalisme Islam di Indonesia sebenarnya tidak bisa timpakan kepada umat Islam secara umum, sebab, ada juga faktor pemicu dibaliknya. Wallahu a’lam.
*Penulis adalah Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus