27.1 C
Jakarta

Menyoal Tagar Indonesia Darurat HAM yang Salah Kaprah

Artikel Trending

KhazanahTelaahMenyoal Tagar Indonesia Darurat HAM yang Salah Kaprah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ramai Sekali beranda di Twitter, Facebook, hingga Instagram. Isinya sama, tentang persoalan aksi untuk pejuang HAM dan Kemanusiaan, #IndonesiaHumanRightsSOS. Isu yang tidak akan pernah pudar, semakin besar bahkan kasus IB HRS belumlah menjadi puncak jika belum mencapai aksi yang begitu besar. Meski demikian, berbagai aksi atas nama “HAM dan Kemanusiaan” semakin menjamur di berbagai daerah. Mulai dari Sampang Madura(16/12/20), Bandung (15/12/20), hingga Yogyakarta (18/12/20).

Ini hanya beberapa kota yang beramai-ramai disertai dengan ratusan aksi yang berkumpul. Sebagian yang lain, pasti akan menyusul suara-suara demo di berbagai elemen daerah menuntut hal yang sama. Katanya “demi HAM”, demi “Kemanusiaan”, bebaskan “Imam Besar, kami”. Lagi-lagi kita dibuat salah tingkah dengan persoalan ini. Dalam fase ini, saya merasa banyak kecolongan.

Sebab yang terjadi semakin IB HRS dipenjara, ia dengan pandainya membangun “imej” atas nama “agama”, akan “berpuasa” selama di penjara, salah satunya.  Membuat kaumnya semakin terperangah dan semakin takjub kepada orang yang disebut “Imam Besar” itu. Sebab bagi mereka, IB HRS yang dalam kondisi terdzalimi, tetaplah menjadi pribadi yang “agamis”.

Saya tidak menyalahkan akan perilaku baik yang diperlihatkan oleh IB HRS, justru ini bagus. Barangkali dari kejadian ini, ia akan berubah menjadi sosok humanis, tidak lagi menggemborkan sistem khilafah dengan berdalih bahwa dirinya pancasilais, atau sebagainya. Nyatanya, hal itu dilakukan dalam upaya mambangun imej semata. Komunikasi yang dibangun atas nama “agama” begitu picik, orang-orang akan prihatin, semakin takjub, pengikutnya semakin besar, bahkan dengan dipenjarakannya seorang IB HRS, popularitasnya semakin meningkat. Akan ada banyak massa yang berjuang “demi HAM dan Kemanusiaan”.

Demi HAM dan Kemanusiaan?

Saya dibuat terperangah dengan banyaknya aksi yang dilakukan di berbagi daerah. Saya yakin, sebagian besar yang ikut aksi tersebut, tidak paham dengan duduk persoalan yang terjadi. Mengapa saya katakan demikian? Sebagian besar massa berdalih “demi Habib”, keturunan “Rosulullah”, Ulama harus di “dihormati”, serta dalil-dalil yang lain.

Menyoal figur IB HRS yang belakangan ini selalu menjadi topik menarik untuk ditulis. Lagi-lagi, mengapa IB HRS perlu dinegasikan dalam NKRI? Kehadirannya membuat Indonesia semakin kacau, dengan berdalih sebagai pancasilais, padahal sebenarnya dengan lantang ingin menegakkan sistem khilafah, menegasikan pemeluk agama lain. Ia dan para pengikutnya berhasil menciptakan “kegaduhan” yang amat sangat panjang, ditambah oleh kepentingan politik yang hadir beberapa hari terakhir ini.

BACA JUGA  Penggalangan Dana Terorisme: Akar Langgengnya Masalah Terorisme

Hingga tulisan ini saya rampungkan, kiranya perlu dengan tegas saya sampaikan atas apa yang dikatakan oleh KH. Ahmad Ishomudin melalui 164 Chanel PBNU,

“Akidah Al-Asy’ari melarang untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, melakukan pemberontakan akan menimbulkan perpecahan, ciri Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah mempererat persatuan, tidak boleh memecah belah, ciri aswaja itu menghindarkan segala marabahaya, maka sesuatu yang menimbulkan mudharat yang besar, seperti melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, bertentangan dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” .

“Oleh karena itu, tidak dibenarkan apabila ada anggota masyarakat melakukan pemberontakan (bughat) kepada pemerintah yang sah, pemberontakan yang dimaksud yaitu melakukan perlawanan secara bersenjata, dimana orang-orang bersenjata itu memiliki kekuatan, ada pemimpin dan pasukannya, untuk melakukan bughat. Oleh karena itu, pemerintah boleh memerangi mereka menurut pandangan aswaja agar tidak terjadi fitnah lebih besar yang menimbulkan bahaya lebih besar”. Lanjutnya.

Beliau memaparkan bahwa kehadiran kritik sangat diperlukan kepada pemerintah sebagai “amar ma’ruf nahi munkar”. Kritik dan pemberontakan adaah dua hal yang sangat berbeda, kritik harus menggunakan kalimat yang santun bukanlah dengan mencaci maki, kalimat keras, hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.

Kiranya penjelasan tersebut amat sangat jelas bagi yang berdalih Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Apalagi berdalih atas nama “agama”. Apa yang mereka (red:pendemo) lakukan justru salah kaprah. Demi “HAM dan Kemanusiaan” yang mana sebenarnya mereka perjuangkan? Tidak ada ruang bagi perusak NKRI, pemecah belah bangsa, apalagi kelompok yang membuat “kegaduhan” untuk meninggikan “dirinya” sendiri dengan berdalih nama “Allah”. Wallahu a’lam bish shawab.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru