30 C
Jakarta

Menyingkap Tabir Politik Identitas; Antara Populisme Islam dan Wacana Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamMenyingkap Tabir Politik Identitas; Antara Populisme Islam dan Wacana Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kran perdebatan tentang politik identitas kembali menyeruak ke publik dan menjadi perbincangan nasional. Hal itu terjadi menyusul pernyataan Partai Ummat, saat pembukaan Rakernas beberapa hari lalu, untuk menggunakan politik identitas menuju Pemilu 2024. Secara tidak langsung, partai besutan Amien Rais tersebut hendak menjadi antitesis Jokowi yang selama ini sering mewanti-wanti masyarakat soal bahaya politik identitas. Sekilas, Partai Ummat tampak berani.

Menariknya, bersamaan dengan pernyataan tersebut, pihak Partai Ummat menegaskan bahwa ada yang salah dari pemahaman masyarakat tentang politik identitas. Sekali lagi, pernyataan tersebut seolah hendak menampar Jokowi—secara implisit mengatakan bahwa Jokowi tidak paham apa itu politik identitas. Ditambah lagi, pada momentum Rakernas, Anies Baswedan hadir dan memberi sambutan. Ia yang kerap dijuluki ‘bapak politik identitas’ juga membahasnya dengan argumentatif.

Menurut Anies, wacana politik identitas sengaja didesain untuk memperburuk citra politik Islam—dan terutama citra dirinya pasca-kasus Al-Maidah 51. Anies kemudian menegaskan, cara terbaik membuktikan riil atau fiktifnya wacana politik identitas yang dilekatkan pada dirinya adalah dengan melihat rekam jejak selama memimpin DKI. Karena itu, kata Anies, masyarakat hendaknya sadar bahwa mereka telah termakan anggapan miring ihwal politik identitas sendiri.

Tentu saja ini menarik. Pasalnya, selama ini Anies kerap dibenturkan dengan Jokowi. Pada saat yang sama, Partai Ummat juga sering dianggap problematis dan oportunis. Jadi polemik politik identitas pun rancu; apakah ia memang sengaja diciptakan untuk kontestasi politik ke depan, atau justru merupakan sinyal insurgensi umat Islam? Tidak boleh dilupakan, saat Partai Ummat bicara politik identitas, mereka juga menyebut soal sekularisme. Jelas ini semua semakin laik dibahas.

Rasanya seperti ada tirai yang belum tersingkap dalam term politik identitas. Siapa yang berkepentingan di baliknya; siapa yang dirugikan karenanya; serta apa hakikat politik identitas itu sendiri. Kendati bukan term baru, ia bak menyimpan banyak rahasia. Dari situlah, upaya menyingkap tabir politik identitas menjadi urgen. Tujuannya secara umum adalah melihat dengan jelas apakah ia berbahaya untuk NKRI atau tidak. Apa pun jawabannya, tulisan ini hendak mengulas tentangnya.

Kesalahpahaman Kolektif

Di era post-truth, kebenaran itu bisa diciptakan dan didesain untuk kepentingan tertentu. Era informasi mengubah aturan kebenaran konvensional, karena narasi yang konsisten dan kontinu bisa merestrukturisasi kekeliruan menjadi kebenaran tunggal sekalipun. Sekat antara ‘paham’ dan ‘tidak paham’ tidak lahir oleh sedikitnya bacaan dan pengetahuan akan sesuatu, melainkan seberapa masif sebuah narasi dimainkan dan seberapa selektif pembaca menerimanya.

Hal itulah yang terjadi pada politik identitas. Ia sama dengan term ‘khilafah’. Kitab-kitab Fikih Siyasah sudah final membicarakan politik Islam dan sudah sampai pada konsensus bahwa Islam tidak mengatur secara spesifik sistem pemerintahan apalagi memasukkannya sebagai syariat. Tetapi, wacana khilafah masih menguat dari masa ke masa, lintas negara dan lintas rezim, dengan satu tujuan yaitu melengkapi syariat yang belum tegak, yakni Negara Islam. Sangat manipulatif.

BACA JUGA  Aplikasi Prinsip Wasatiah dalam Menyikapi Hisab-Rukyat Ramadan

Militansi terhadap khilafah dari waktu ke waktu juga mengalami lonjakan. Faktornya bukan karena masyarakat menyadari khilafah sebagai sistem politik Islam yang sah, tetapi karena kesalahpahaman kolektif mereka tentang khilafah dan syariat itu sendiri. Tentu saja kesalahpahaman tentang khilafah tidak datang tiba-tiba, melainkan hasil sempurna dari narasi masif dan kontinu. Bersama dengan politik populisme, ia menjelma sebagai “identitas kolektif politik umat Islam”.

Itulah fakta di balik tabir politik identitas. Ada agenda besar dan berbahaya yang mengidentifikasi diri sebagai “Islam”, sehingga umat Muslim tertarik untuk menjadi bagian di dalamnya. Artinya, tidak seperti yang Partai Ummat kemukakan ihwal identitas politik islami, politik identitas sudah terdistorsi ideologi tertentu yang berkepentingan mengganti sistem negara. Islam sekadar dijadikan embel-embel untuk menyembunyikan agenda terselubung; tegaknya khilafah.

Selain itu, tidak dapat dinegasikan pula bahwa term politik identitas sebenarnya menjadi tumpangan kedua belah pihak. Yang pro-politik identitas, mereka menggunakan argumen pentingnya identitas Islam dalam dunia perpolitikan kita. Sementara yang kontra-politik identitas, mereka meyakini bahwa Islam berbahaya untuk politik nasional. Kedua pihak bernarasi dalam kepentingannya sendiri. Padahal yang berbahaya bukan Islam, melainkan populisme dan khilafah yang manipulatif di baliknya.

Melawan Populisme dan Khilafah

Demikianlah, yang harus dilawan dalam politik kita adalah populisme dan khilafah. Para populis memakai identitas Islam untuk memobilisasi massa demi agenda politik tertentu, sementara para aktivis khilafah mengeksploitasi Islam untuk menggaet umat demi agenda merombak sistem pemerintahan. Mereka pada berlindung di bawah “Islam” untuk tujuan-tujuan tak terpuji dan mendasarkan perbuatannya sebagai politik ideal keumatan dan keislaman.

Dalam konteks politik identitas yang tengah hangat diperbincangkan, sebenarnya tidak sulit untuk membaca jalan politik Amien Rais. Politikus oportunis itu selalu memanfaatkan massa untuk tujuan yang sangat politis. Jika dulu terkenal dengan istilah ‘people power’, hari ini ‘politik identitas’ yang ia narasikan juga memiliki esensi yang sama. Masyarakat Indonesia, terutama umat Islam, baginya dan Partai Ummat adalah soal mobilisasi—politik praktis.

Jika dulu yang dijadikan tameng adalah ‘demokrasi’, hari ini tamengnya adalah ‘Islam’. Di hadapan publik, Partai Ummat tampil sebagai pejuang nilai-nilai islami politik. Namun di balik tabir, dengan menyadari bahwa umat Muslim di Indonesia adalah mayoritas dan karena itu suaranya berharga, sebenarnya Partai Ummat sedang ingin menarik seluruh lapisan umat Islam menuju kesamaan agenda politik. Di bawah naungan ‘politik identitas’, Muslim populis dan aktivis khilafah akan jadi satu komando.

Adalah tidak penting apakah Anies Baswedan atau pun lainnya yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024. Yang penting adalah, waspada terhadap politik identitas. Ia tidak seideal yang Partai Ummat jelaskan. Para populis dan aktivis khilafah menyusup ke dalam istilah tersebut dan sebagaimana yang sudah-sudah, Islam hanya embel-embel belaka. Satu-satunya cara terhindar dari muslihat di balik tabir politik identitas adalah kecerdasan personal; tidak percaya politikus manipulator agama.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru