32.9 C
Jakarta

Menyikapi Persepsi Budaya Carok dan Poligami di Madura

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMenyikapi Persepsi Budaya Carok dan Poligami di Madura
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Selama beberapa tahun merantau di Jakarta ada banyak persepsi negatif yang saya dengar dan persepsi itu selalu dihubungkan dengan orang Madura. Sebut saja, budaya carok yang mengejutkan banyak orang di pelosok Nusantara, sehingga timbul stigma negatif orang Madura keras dan ekstrem. Sebab, carok identik dengan tindakan kekerasan.

Persepsi yang lain adalah poligami. Saat pertama kali belajar dengan mahaguru Quraish Shihab dan menanyakan tafsir gender di Madura, Quraish Shihab berujar spontan kurang lebih, “Poligami ya.” Kesan poligami di serambi Madinah ini, juga saya dengar dari sahabat sendiri. Dia sosok perempuan yang kebetulan kepincut sama orang Madura dan hal pertama yang dikhawatirkan adalah budaya poligami yang digemari orang Madura. Kekhawatiran ini membuat dia refleksi sebelum melangkah.

Beberapa problem yang disandarkan kepada orang Madura membuat saya bertanya-tanya: “Bernarkah begitu?” Setahu saya, orang Madura baik dan ramah. Tapi, saya mencoba mengamati, sekalipun pengamatan ini belum selamanya sudah disebut valid, tapi, paling tidak memberikan jawaban atas persepsi yang mengglobal ini. Saya coba memahami pengertian “persepsi” itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata persepsi dipahami dengan tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan; proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya. Kurang lebih persepsi ini hanya pengetahuan (knowledge), bukan ilmu (science). Pengetahuan hanya berkutat pada apa yang diketahui oleh pancaindra dan belum dilakukan penelitian. Sementara, ilmu adalah apa yang diketahui kemudian diikuti dengan penelitian.

Persepsi tidak selamanya benar dan tidak selamanya salah. Persepsi itu adalah tafsir. Tafsir Al-Qur’an belum final, namun terus dilakukan penafsiran. Karena tafsir itu hanya persepsi, maka butuh dikaji ulang dan dimungkinkan akan ditemukan kekurangan. Karena itu, kekurangan pada tafsir sebelumnya, akan disempurnakan dengan tafsir sesudahnya. Orang yang cenderung fanatis pada satu tafsir dan menutup kehadiran tafsir yang lain termasuk orang yang picik. Sebab, tafsir bukan Al-Qur’an. Al-Qur’an cukup satu, sementara tafsirnya banyak.

Masih soal persepsi. Sebelum merantau ke Jakarta, saya sering melihat pemeluk agama di luar Islam kurang benar. Tapi, saat diskusi langsung dengan lima pemeluk agama lain dan dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa semua agama di Indonesia sama-sama memegang teguh paham tauhid (monoteis). Semua agama percaya Tuhan mereka satu (ahad). Mereka tidak menduakan atau menyekutukan Tuhan dengan sesuatu yang lain. Tidak heran, bila sila pertama mengajak semua pemeluk agama memegang erat “Ketuhanan yang Maha Esa”. Jadi, soal akidah semua agama sama: sama-sama monoteistik. Hanya saja yang berbeda syariatnya atau jalannya. Apa pentingnya jalan? Kan yang terpenting tujuannya sama.

Karena praduga banyak orang menyangkut budaya kekerasan dan poligami di Madura hanya persepsi, saya ingin memberikan sekelumit uraian sebagai respons atas persepsi yang kian menggurita. Pertama, soal carok. Carok memang ada di Madura dan budaya ini banyak dimuat di media sosial. Memang, terkesan horor melihat budaya ini, seakan nyawa manusia tidak ada harganya. Darah bertumpahan. Persaudaraan terputus. Persatuan terpecah. Namun, yang penting diingat bahwa Madura punya prinsip yang sampai sekarang masih dipegang kuat. Bunyinya, “Lebih baik putih tulang daripada putih mata.” Maknanya, “Lebih baik terluka daripada menanggung malu.” Carok itu adalah bagian dari cara orang Madura membela harga dirinya yang ditelanjangi. Karena, harga diri merupakan bagian dari dharuriyyatul khams, lima kebutuhan penting yang harus dijaga, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

BACA JUGA  Pilihlah Presiden yang Berilmu dan Beretika, Siapa Dia?

Biasanya carok itu terjadi karena konflik harta, lebih-lebih keluarga. Orang Madura amat sangat malu kalau istrinya diganggu lelaki lain, sehingga lebih baik mati daripada menanggung malu. Salah satu solusinya, carok. Keluarga adalah harta yang berharga. Keluarga melebihi dari kemewahan harta benda. Jadi, budaya carok bukan tindakan kekerasan seperti terorisme dan people power. Dalam budaya ini, tidak ada kepentingan, baik kepentingan agama maupun kepentingan politik. Maka, budaya carok pada satu sisi dapat dibenarkan sebagai pembelaan terhadap harga diri yang harus dijaga. Namun, bagaimanapun budaya ini di sisi lain diharapkan diganti dengan budaya musyawarah, sehingga tidak lagi ditemukan perselisihan, pertumpahan darah, dan perpecahan.

Kedua, soal poligami. Madura dengan cakupan masyarakat yang relatif banyak hanya bisa dihitung dengan jari orang yang berpoligami. Bahkan, dapat dibilang hanyalah kalangan kyai yang berpoligami. Itupun hanya segelintir kyai saja. Entahlah, karena apa mereka poligami. Yang jelas, persepsi Madura cinta poligami tidak dapat dibenarkan. Itu hanyalah kesimpulan parsial. Orang Madura memahami bahwa kesetiaan adalah harga mati. Kesetiaan ini yang mengantarkan dirinya rela membela keluarganya saat diganggu pihak lain. Bahkan, dari saking bertanggung jawabnya, orang Madura berani merantau ke daerah orang lain hanya untuk mencari rezeki untuk keluarga. Tidak heran, di belahan Nusantara orang Madura banyak berjualan sate sampai sate menjadi khas makanan Madura yang familiar di mana-mana. Karena itu, saat saya ditanya asal dari mana dan dijawab spontan, “Dari Madura,” orang yang tanya berdesis spontan pula, “Sate.” Begitu dengar nama Madura, yang terbersit di benak banyak orang adalah sate.

Tulisan ini hanya cuitan sekilas menjawab persepsi yang tidak selamanya benar. Islam Madura adalah Islam moderat dan tidak menghendaki kekerasan. Cinta orang Madura adalah cinta sejati yang membahagiakan pasangannya. Cinta sejati mengajarkan orang Madura menjadi sosok yang bertanggung jawab dan selalu melihat pasangannya adalah cinta pertama dan terakhir. Madura, I’m proud of you.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru