Harakatuna.com – Aksi 411 yang digelar oleh sejumlah anggota FPI Senin (4/11) kemarin dan menarasikan pengganyangan Jokowi dan Gibran menjadi preseden buruk di awal pemerintahan Presiden Prabowo. Keadaannya bertambah buruk karena seminggu sebelum itu, ratusan pemuda ikut baiat kepada HTI untuk memperjuangkan Islam kaffah: tegaknya khilafah. Dua peristiwa tersebut menjadi tanda kebangkitan islamisme dan transnasionalisme di Indonesia.
Penting dicatat bahwa, bangkitnya FPI dan HTI ibarat api dalam sekam bagi Indonesia yang tengah menghadapi krisis identitas di tengah ancaman ideologi radikal. FPI, sebagai simbol islamisme yang ingin menghapus toleransi negeri ini lewat doktrin ortodoksnya, dan HTI dengan agenda transnasionalismenya yang mempromosikan negara khilafah, mulai merayap kembali ke ruang-ruang publik setelah sempat dibubarkan dan dilarang.
Gelombang pengaruh mereka semakin nyata melalui aksi-aksi massa yang mengusung narasi provokatif—di samping infiltrasi di medsos—yang menyasar kaum muda. Dengan berakhirnya era Jokowi, yang selama ini represif terhadap mereka, muncul kekhawatiran bahwa islamisme-transnasionalisme akan kembali bangkit. Artinya, Indonesia sedang darurat. Ke depan, gerakan mereka tentu akan semakin masif.
Gerakan-gerakan tersebut jelas tidak lagi dapat dianggap sekadar kebebasan berpendapat. Nyata sekali ia merupakan ancaman riil bagi keutuhan dan kedaulatan bangsa. Dengan kata lain, Presiden Prabowo dihadapkan pada tantangan besar untuk merumuskan strategi nasional yang efektif, tegas, dan holistis untuk meredam kebangkitan kembali ideologi yang membajak Islam demi kepentingan politik: FPI-HTI.
Dalam setiap gerakan FPI maupun HTI, persatuan dan kesatuan Indonesia menjadi taruhan. FPI menggunakan sentimen keagamaan untuk mempolarisasi umat Islam. Lewat aksi-aksi yang menyudutkan orang/kelompok tertentu, atau bahkan memprovokasi pemerintah, mereka memanfaatkan kebebasan berekspresi sebagai tameng kepentingan ideologis: menggeser wajah Islam moderat dan mengajarkan Islam garis keras.
HTI, di sisi lain, tidak kalah berbahayanya. Organisasi terlarang itu tak pernah jera menyebarkan doktrin transnasionalnya, yakni khilafah, demi meruntuhkan pilar-pilar kebangsaan; Pancasila dan UUD 1945. Di bawah bendera ‘Islam Kaffah’, atau propaganda ‘One Ummah’, mereka menawarkan khilafah sebagai perombak NKRI. Artinya, NKRI bagi mereka mesti diubah secara menyeluruh karena dianggap belum kaffah.
Konflik Palestina, ketidakadilan global, dan problematika sosial-ekonomi di tanah air dijadikan senjata oleh HTI untuk meracuni pikiran masyarakat. Setiap ketidakpuasan sosial dipelintir menjadi bahan bakar untuk narasi anti-nasionalisme dan merongrong kedaulatan negara. Terbaru, mereka menggunakan tambang batu bara sebagai narasi pemberontakan dengan mengilustrasikan khilafah sebagai solusi kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, pada situasi yang tak menentu secara politik dan terancam secara ideologi kebangsaan, tidak ada pilihan lain selain bertindak tegas dan strategis. Prabowo dalam hal ini menjadi satu-satunya harapan dan solusi. Mengabaikan ancaman tersebut hanya akan membuat Indonesia semakin rapuh, juga berpotensi menjadi sarang islamisme-transnasionalisme yang mencederai pluralitas dan pilar-pilar kebangsaan.
Lantas, bagaimana semestinya menyikapi kebangkitan islamisme-transnasionalisme di era Prabowo? Sebagaimana Jokowi yang tegas memerangi kelompok FPI dan HTI hingga tidak berkutik sama sekali, Presiden Prabowo perlu merumuskan kebijakan nasional yang komprehensif dan berani untuk mengatasi kebangkitan islamisme-transnasionalisme. Jika tidak, maka hanya soal waktu, FPI-HTI akan berulah kembali. Lalu, bagaimana strateginya?
Tentu, penegakan hukum secara tegas dan proporsional terhadap islamis-transnasionalis yang mengancam persatuan dan keamanan nasional menjadi strategi paling utama. Segala perundang-undangan yang mengatur larangan ideologi anti-Pancasila, anti-kebhinekaan, anti-NKRI, dan anti-UUD 1945 perlu diterapkan secara serius agar ancaman tersebut teratasi—sebelum menjadi problem nasional yang sulit ditanggulangi.
Selain itu, pemerintah harus mengintensifkan program kontra-radikalisasi, terutama di lingkungan pendidikan. Generasi muda sangat rentan termakan propaganda HTI, misalnya, sebagaimana yang terjadi belum lama ini. Maka, mereka perlu diarahkan untuk memahami bahwa Islam adalah agama yang menghargai keragaman. Kelompok yang menentang hal itu berarti melawan sunatullah demi kepentingan ideologi-politik belaka.
Selanjutnya, karena pemanfaatan teknologi dalam diseminasi islamisme-transnasionalisme telah berkembang pesat, dengan platform medsos sebagai alat utama, memonitoringnya adalah keniscayaan yang tak dapat ditawar. Intelijen, badan siber, waktunya turun tangan—jika Presiden Prabowo hendak serius bersikap. Dengan jaringan pengamatan yang cermat-tanggap, semua konten islamisme-transnasionalisme akan tertangani.
Secara garis besar, pemerintah perlu menguatkan sosialisasi nasionalisme dan wasatiah Islam. Pancasila yang dimaksud bukan sebagai dasar negara belaka, tetapi juga mesti menjelma sebagai pemahaman-penghayatan mendalam di setiap jiwa anak bangsa. Dialog kebangsaan, pelatihan kebhinekaan di kalangan ASN, pelajar, hingga masyarakat umum dapat menjadi benteng resiliensi dari islamisme-transnasionalisme itu sendiri.
Intinya, ancaman FPI dan HTI relatif kompleks. Mereka adalah representasi paham yang ingin meruntuhkan pilar-pilar kebangsaan dan kelompok pemecah-belah persatuan dan kesatuan. Dalam upaya menjaga Indonesia tetap menjadi negara demokratis, plural, dan moderat, semua elemen masyarakat perlu berperan aktif. Pemerintah, masyarakat, akademisi, agamawan, dan pemuda harus bersatu-padu memerangi islamisme-transnasionalisme.
Dan di atas semua sikap tersebut, Presiden Prabowo memegang peran penting dalam menentukan langkah strategis yang akan jadi prioritas negara. Yang jelas, itu bukan sekadar persoalan keamanan, tetapi juga masa depan Indonesia. Dengan sikap dan tindakan yang strategis, Indonesia punya harapan untuk tetap kokoh di bawah payung Pancasila. Setiap upaya memecah-belah kesatuan dan kesatuan harus ditangani hingga ke akar-akarnya.
Jadi, bagaimana islamisme dan transnasionalisme yang sedang semarak itu perlu disikapi? Jawabannya: menunggu ketegasan Presiden Prabowo untuk menanggulangi secara tegas, lugas, dan komprehensif. Jangan sampai kebangkitan kembali FPI dan HTI membuat negara ini keteteran dan tercerai-berai oleh propaganda negatifnya tentang Indonesia.