Harakatuna.com – Masih ingatkah Anda kepada Nurshadrina Khaira Dhania? Dialah perempuan mantan pemuja kekhalifahan yang bernaung di Suriah. Dia berusia 16 tahun ketika itu, duduk di bangku SMA, mengidamkan hidup di bawah panji-panji Islam yang gemilang. Dia ingin membawa rombongan keluarganya untuk hijrah ke tanah Syam.
Berbekal bacaan dari Tumblr dan kanal Diary of Muhajirah (Catatan Harian Kaum Perempuan Berhijrah), dia berani memangkas hatinya untuk merayu keluarganya mendatangi Suriah. Di saat itu, Dhania ingin hidup seperti kisah-kisah para hijrahwati yang hidup enak di bawah kekuasaan Islam yang menjalankan nilai-nilai Islam. Dhania mengira hidup di Suriah akan penuh romantis ala zaman Nabi.
Karena keinginan yang memuncak itu, Dhania mencari informasi di media. Sebagai remaja, Dhania bisa berselancar di internet. Dia terus mencari, dan Dhania mendapatkan informasi tentang apa yang dianggapnya indah di bawah kekhalifahan ISIS. Bersama adiknya, Dhania pun sering menonton video propaganda ISIS dari Suriah.
Lama kelamaan Dhania serasa terhipnotis. Dia terus menonton video dan dianggapnya benar adanya. Meski bapak dan orang di luar sudah banyak mengatakan ISIS itu kelompok teroris, Dhania menutup kuping dan mata. Bagi Dhania itu hanyalah fitnah belaka. Lalu dia membangun komunikasi dengan pendukung ISIS di Suriah.
Setelah intens berkomunikasi, akhirnya dia berangkat ke Suriah pada tahun 2015. Pas ketika masuk perbatasan Dhania benar-benar senang. Saking senangnya karena telah sampai di negeri yang diimpikan dan diberkahi, dia langsung sujud syukur. Namun sayang sekali. Di sana, dia menemukan kenyataan yang lebih buruk dari bayangan, impian, dan kisah-kisah di Tumblr dan kanal Diary of Muhajirah. Dia menemukan kenyataan terbalik 180 derajat dari semua yang ada di pikirannya. Dia terpuruk dan merasa tertipu. Dia melihat bahwa Islam telah dibajak oleh ISIS.
Kisah di atas adalah pembuktian kemenangan teroris dalam memonopoli media. Teroris mengalahkan akal waras perempuan. Medsos mengubah peran keibuan untuk mencari wadah keimanan yang sempurna untuk merespons fenomena keagamaan tingkat global. Namun ia gagal dalam menjunjung tinggi rasionalitas karena canggihnya propaganda teroris di medsos.
Sekarang zaman sudah berbeda. Perekrutan melalui cara nyata seperti pengajian dan forum sudah kurang relevan. Seperti kisah Dhania, propaganda teroris melalui media sudah menjadi satu strategi utama yang digunakan oleh kelompok teroris untuk menyebarkan ideologi, merekrut anggota baru, dan menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat.
Self-Sefficacy sebagai Kunci
Dhania dan seperti banyak kasus perempuan yang terlibat kelompok teroris adalah pilihan rasional dan tetap menjunjung tinggi nilai keibuan, sekalipun dengan cara pandang dan implementasi berbeda. Dalam teori kognitif sosial, Dhania terjangkit self-sefficacy cukup tinggi. Menurut Bandura, dalam Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory” (1986), self-efficacy merupakan keyakinan dalam diri seseorang atas kemampuan untuk mengatur dan melakukan tindakan yang diperlukan agar sesuai dengan situasi yang diinginkan.
Begitupun dengan Dhania, dengan self-efficacy ini, dia berani memutuskan terlibat dalam tindakan bersama teroris. Perempuan ini mengira tindakannya bisa memberi sumbangsih besar atas hidup dan agamanya bersama kelompok teroris.
Padahal, perempuan ini hanya dimanfaatkan dengan kekuatan self-efficacy ini. Para teroris hanya memberi peluang kepada individu perempuan untuk berkontribusi secara bermakna dalam kegiatan agama yang dianggap konstruktif, sehingga perempuan-perempuan tersebut tidak perlu mencari validasi.
Dari self-efficacy ini dia merasa punya misi dan tujuan besar yang membuat diri perempuan merasa penting untuk bergabung dan menjalankan aksi. Efikasi diri ini membuat seorang perempuan merasa yakin terhadap kemampuannya untuk mengorganisasi dan melaksanakan tindakan untuk mencapai hasil membanggakan. Dari keyakinan ini perempuan merasa mampu berkontribusi secara positif terhadap agama meski sebenarnya dia telah ditipu oleh teroris.
Perempuan kuat secara self-efficacy. Tetapi dia lemah dari manipulasi visual yang dibuat teroris. Dia kuat secara organik tetapi rapuh ketika melihat ketidakadilan dan isu-isu sensitif tentang agama. Kekuatan dan kelemahan inilah yang ditembak teroris sebagai strategi propaganda melalui algoritma medsos seperti rekaman video, pamflet, dan dokumen yang disebarkan untuk menjangkau kehidupan perempuan. Dan mereka teradikalisasi, seperti kasus Nurshadrina Khaira Dhania.
Untuk mencegah kasus Dhania tidak terjadi lagi, kita memerlukan edukasi literasi digital mengenali propaganda teroris. Selain itu, kita juga butuh pendekatan berbasis teori psikologi untuk memahami bagaimana paham tersebut memengaruhi individu dan bagaimana intervensi dapat dilakukan korban.
Dalam pencegahan radikalisasi, terori efikasi diri dapat digunakan untuk membantu perempuan tidak bergabung dengan kelompok radikal. Dengan pendampingan psikososial kepada perempuan dapat menghindari perempuan tidak terjebak ke dalam propaganda teroris yang kini sedang mereka produksi di medsos.