28.9 C
Jakarta
spot_img

Menyembuhkan Indonesia Tercinta dari Riuh Politik dan Propaganda

Artikel Trending

EditorialMenyembuhkan Indonesia Tercinta dari Riuh Politik dan Propaganda
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Negara tercinta, Indonesia, sepertinya tengah dilanda sejumlah petaka. Di tengah gemuruh kritik yang menggelegar terhadap pemerintah hari-hari ini, ada kegelisahan yang merayap pelan namun pasti di benak banyak orang. Kepercayaan public, public trust, yang ibarat tiang penyangga sebuah bangunan, mulai retak dan goyah. Masyarakat mulai bergejolak namun pemerintah tampak tuli. Riuh politik dianggap angin lalu belaka.

Korupsi sebesar hampir 200 triliun di Pertamina, yang terungkap lewat skandal pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax, hanyalah satu dari sekian banyak luka yang menganga. Transparansi kebijakan yang nyaris nihil, kedok efisiensi demi makan gratis yang justru salah sasaran, serta sikap anti-kritik yang kian mengeras, merupakan bukti bahwa ada yang salah dalam tata-kelola pemerintahan. Masyarakat pun bertanya-tanya: ke mana arah negeri ini?

Namun, itu belum seberapa. Di balik kegelapan itu, ada bayangan lain yang mencoba merangkak naik. Kaum radikal, dengan narasi yang terkesan lantang namun penuh racun, mulai menumpang gelombang ketidakpuasan—menambah curam public distrust. Mereka menuduh sistem politik negeri ini korup dan kafir; sistem ekonominya dianggap meniru Barat yang kapital-sekuler, dan mereka menawarkan solusi utopis: Daulah atau Khilafah.

Kendati terlihat menarik bagi sebagian yang kecewa, narasi tersebut sesungguhnya adalah ilusi yang berbahaya. Ia jelas mengaburkan akar masalah, sekaligus akan merobek-robek persatuan yang sudah susah-payah dibangun selama ini. Sebab, Indonesia adalah sebuah negara yang lahir dari keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke, ribuan suku, bahasa, dan agama hidup berdampingan, meski tak selalu harmonis.

Sistem politik dan ekonomi yang ada saat ini, meski jauh dari sempurna, adalah hasil ijtihad-mufakat panjang. Ia adalah buah dari perjuangan para founding father yang memimpikan negara yang merdeka, adil, dan makmur. Memang, korupsi dan ketidakadilan adalah penyakit yang harus dilawan hingga titik darah penghabisan, namun mengganti sistem yang ada dengan konsep Daulah atau Khilafah bukanlah jawabannya. Justru naif.

Sejarah telah membuktikan bahwa sistem ala kaum radikal itu justru banyak melahirkan tirani, di mana kebebasan dan hak-hak dasar warga negara dikorbankan atas nama agama yang dieksploitasi. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Pertama, kita perlu mengakui bahwa masalah yang ada saat ini adalah buah dari sistem pemerintahan yang belum matang. Korupsi, transparansi yang buruk, dan sikap anti-kritik adalah gejala dari sebuah sistem yang masih mencari bentuk—tumbuh. Inilah panggilan untuk memperkuat demokrasi kita, bukan melemahkannya. Kita perlu mendorong partisipasi publik yang lebih besar, pelibatan suara rakyat, dan akuntabilitas pemerintah.

Kedua, kita harus berani mengakui bahwa demokrasi kita sedang sakit. Namun, bukan berarti ia harus dimatikan dan diganti sistem lain yang utopis ala kaum radikal. Demokrasi adalah sistem yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri, asal kita mau menjadi bagian dari proses penyembuhan itu. Jika masyarakat mau bergerak lebih dari sekadar clicktivism, tekanan pada pemerintah untuk berbenah akan lebih nyata dan diperhitungkan.

BACA JUGA  Nataru sebagai Sinergi Nasional Menghadapi Ancaman Radikal-Terorisme

Ketiga, kita harus melawan narasi radikal dengan cara yang cerdas dan elegan. Narasi mereka menarik karena menawarkan solusi yang seolah-olah efektif. Namun, kita harus ingat bahwa masalah kompleks tak bisa diselesaikan dengan solusi simplistis. Kita perlu membangun narasi tandingan bahwa demokrasi adalah sistem terbaik untuk Indonesia tercinta. Begitu juga dengan sistem perekonomiannya.

Keempat, melawan radikalisme tak cukup dengan larangan. Kaum radikal tumbuh subur di tanah yang gersang keadilan. Untuk memotong akarnya, pemerintah harus membuktikan bahwa sistem demokrasi bisa menjawab kegelisahan rakyat. Pembangunan ekonomi harus inklusif. Pendidikan agama harus dikembalikan ke khitahnya: mengajarkan moderasi, bukan eksklusivisme dan anti-pluralitas.

Kelima, kita perlu revolusi birokrasi. Ini paten; tak bisa ditawar. Skandal Pertamina dan sejumlah kebobrokan lainnya adalah bukti bahwa mental “yang penting proyek jalan” masih bersarang di institusi negara. Efisiensi anggaran juga tak boleh lagi jadi kedok belaka, kendati dipakai untuk investasi di Danantara. Setiap kebijakan harus melalui uji publik yang bermakna, bukan sekadar formalitas. Indonesia butuh whistleblowers dari dalam sistem.

Keenam, kita harus kembali ke akar sebagai bangsa yang majemuk. Keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan. Kaum radikal ingin mempolarisasi kita dengan narasi yang mempertentangkan satu kelompok dengan kelompok lain. Tugas kita adalah merajut kembali persatuan itu, dengan mengingatkan semua orang bahwa kita semua adalah bagian dari Indonesia dan karena itu, bersatu merupakan keniscayaan.

Tantangan yang kita hadapi saat ini adalah ujian bagi karakter kita sebagai bangsa. Apakah kita akan terpecah gara-gara narasi radikal, atau kita akan bangkit bersama untuk memperbaiki sistem yang ada? Jawabannya ada di tangan kita. Demokrasi bukanlah hadiah taken for granted; ia adalah tanggung jawab bersama. Kita tidak boleh kehilangan harapan, sebab di balik semua kegelapan, selalu ada cahaya yang menunggu dinyalakan.

Akhiran, ada sebuah pertanyaan yang harus kita tujukan pada diri sendiri: maukah kita menjadi generasi yang termakan propaganda para radikalis, atau menjadi penerus para pejuang yang dulu bersepakat Bhinneka Tunggal Ika sebagai janji untuk tetap berdiri bersama, meski badai menerpa? Jawabannya tak ada di TikTok, X, atau di mimbar khotbah, tapi di tangan kita yang mau mengawal perubahan untuk kesembuhan Indonesia tercinta. []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru