26.1 C
Jakarta

Menyemai Cinta Damai Melalui Moderasi Beragama

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenyemai Cinta Damai Melalui Moderasi Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Indonesia, sebuah negara yang masyarakatnya amat majemuk, seringkali terjadi gesekan sosial akibat perbedaan cara pandang masalah keragaman. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut dapat mengganggu suasana rukun dan damai yang diidamkan bersama. Maka tidak heran, moderasi beragama di negara ini sangat urgen, kendati masih menghadapi banyak tantangan.

Misal saja ada umat beragama yang membenturkan pandangan keagamaannya dengan ritual budaya lokal seperti sedekah laut, ngapati, festival kebudayaan, atau ritual budaya lainnya. Ada yang disibukkan dengan penolakan pembangunan tempat ibadah di suatu daerah, meskipun syarat dan ketentuannya sudah tidak bermasalah tetapi karena umat mayoritas di daerah tersebut tidak menghendaki maka terjadilah perseteruan.

Kemudian terjadinya sikap eksklusif menolak pemimpin karena beda agama, dan masih banyak kasus lainnya. Dan itu semua adalah fakta yang kita hadapi karena keragaman paham umat beragama di Indonesia sangat majemuk. Nyaris tak mungkin bahwa kita bisa menyatukan cara pandang keagamaan umat beragama di Indonesia, sementara keragamana klaim kebenaran atas tafsir agama bisa memunculkan gesekan dan konflik.

Menyikapinya dengan cara membungkam tidak mungkin karena hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan ekspresi beragama, tapi membiarkan tanpa kendali keragaman pandangan yang ekstrem juga bisa membahayakan persatuan dan kesatuan, apalagi perihal agama adalah hal yang teramat sensitif. Solusi yang tepat adalah dengan cara moderasi beragama.

Jangan disalahpahami bahwa moderasi beragama sebagai sikap kompromi dengan keyakinan agama lain, tidak bersungguh-sungguh dalam beragama, tidak peduli dengan agama sendiri, dan bahkan dikatakan liberalis. (Robiatul Adawiyah: 2020) Moderasi sendiri berasal dari bahasa latin yaitu moderatio yang berarti ke-sedang-an maknanya tidak lebih dan tidak kurang.

Dalam bahasa Inggris dikatakan moderation yaitu sikap sederhana atau sikap sedang-sedang. Sedangkan dalam bahasa Arab moderasi dikenal dengan kata wasath, wasathiyah, tawasuth yang artinya tengah-tengah. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap moderasi dalam beragama merupakan cara pandang atau sikap memilih jalan tengah, bertindak adil, seimbang, dan tidak ekstrem dalam beragama.

Dan salah satu bentuk moderasi beragama yang Islam tunjukkan melalui cinta kedamaian. Diperbolehkannya perdamaian seorang Muslim dengan non Muslim pun tentunya berdasarkan ketentuan syariat. “Jika mereka merendah untuk berdamai, maka merendahlah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesunguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Anfal: 16).

Nabi Saw. sangat giat dalam usaha kepada perdamaian.“Al-diin al-mu’amalah (Agama adalah interaksi)” demikian Nabi Saw bersabda. Maksud beliau, keberagaman diukur dari interaksi. Semakin baik interaksi seseorang semakin baik pula keberagamaanya. Islam yang juga terambil dari kata yang sama “salam atau damai”, menuntut agar interaksi atau hubungan dengan siapa pun harus dilakukan dengan baik, damai, dan membawa kepada kedamaian.

Demikianlah Islam dengan ajarannya sangat menganjurkan adanya kerukunan dan kedamaian di mana pun dan kapan pun. Rukun dan damai adalah wujud esensi dari moderasi beragama, dan moderasi beragama atau ”wasathiyah” merupakan esensi dari ajaran Islam. Kemudian seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 143,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.”

Pemindahan arah kiblat yang menjadi latar belakang turunnya ayat di atas. Selama berada di Mekah, sebelum hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW bersama para sahabat shalat menghadap ke Kakbah Masjidil Haram. Akan tetapi ketika Rasul hijrah ke Madinah, kiblat shalat pindah ke Bait al-Maqdis. Menurut At-Thabari, ini bertujuan untuk menarik hati Bani Israil agar bersedia mengikuti Islam, karena kesamaan kiblat.

Akan tetapi selama satu setengah tahun berjalan rupanya tujuan ini tidak seperti yang dikehendaki. Dari sini kemudian Rasulullah SAW berdoa kepada Allah SWT agar kiblat kembali menuju Ka’bah. Karena Ka’bah adalah kiblat leluhur Nabi SAW. Menurut Quraish Shihab, boleh jadi perintah kembali mengarahkan kiblat shalat ke Kakbah karena Mekah berada di posisi tengah (wasath) sebagaimana diisyaratkan oleh ayat 143  di atas.

Menurut Djohan Effendi perubahan kiblat bukanlah sekadar perubahan arah menghadap dalam menjalankan ibadah shalat. Dibalik peralihan kiblat ada rencana yang lebih besar dan fundamental, yaitu menjadikan umat Islam sebagai ummatan wasathan, umat yang unggul dan berprestasi sehingga pantas menjadi saksi bagi seluruh umat manusia.

Peralihan kiblat sekaligus merupakan batu uji, siapa yang benar-benar mengikuti Nabi Muhammad Saw dan siapa yang masih ragu-ragu dan bahkan siapa pula yang akhirnya memilih mundur keluar dari barisan pengikut Nabi. Dan tentang peralihan kiblat itu diakhiri dengan perintah menghadap Masjidil Haram dengan menjadikan Ka’bah Baitullah sebagai kiblat kaum muslimin.

Setelah umat Islam mempunyai kiblat sendiri, dan menjadikan sebagai patokan arah yang mereka tuju, bukan agar mereka bersaing untuk saling mengungguli satu sama lain, tetapi agar mereka justru berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan untuk kemaslahatan bersama. Sebab, pada akhirnya kemaslahatan bersamalah yang menjadi arah semua umat dalam membangun kehidupan bersama umat manusia di muka bumi.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, umat pertengahan adalah potensi sekaligus tugas yang telah Allah SWT berikan dan harus terus diupayakan. Sebagaimana Rasulullah SAW ketika berada di Madinah menjadi pengayom yang mendamaikan antar suku yang terus berkonflik, tugas utama kita adalah meneladani beliau dengan cara cinta damai dalam moderasi beragama agar sama-sama menjadi umat yang pertengahan dan moderat.

Inilah esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW. Rasulullah SAW adalah sosok yang membawa solusi, tidak ingin orang-orang di sekelilingnya berpecah belah.

Muizatul Ulfa
Muizatul Ulfa
Mahasiswi Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAIN Pekalongan

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru