30.8 C
Jakarta
spot_img

Menyelamatkan Yogyakarta dari Cengkeraman HTI dan Propaganda Khilafah Palsu

Artikel Trending

Milenial IslamMenyelamatkan Yogyakarta dari Cengkeraman HTI dan Propaganda Khilafah Palsu
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kawasan 0 KM Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah beberapa kali diramaikan oleh pawai kecil bertema khilafah. Sekelompok pemuda membawa spanduk dan poster yang menggaungkan kerinduan akan tegaknya sistem palsu ala HTI itu. Sebagian wajah mereka tertutup masker, menambah kesan misterius. Meskipun aksi tersebut terlihat sporadis, tetapi implikasinya tidak dapat diabaikan begitu saja.

Yogyakarta, dengan statusnya sebagai Daerah Istimewa yang sarat nilai historis-kultural, tidak seharusnya jadi panggung narasi yang merongrong keutuhan Indonesia. Sangat mengherankan, bagaimana aksi semacam itu dapat terjadi di pusat budaya dan kota pelajar. Dan yang lebih mengherankan, mengapa kelompok terlarang itu berani tampil di ruang publik, seolah legal mengusung ide khilafah bak mengencingi nasionalisme?

Yogyakarta tampaknya menjadi target strategis HTI dan propaganda khilafah. Mereka mencoba menciptakan narasi bahwa Yogyakarta memiliki keterkaitan historis dengan sistem khilafah, yakni Mataram Islam. Klaim tersebut diperkuat dengan penggiringan opini bahwa keraton Yogyakarta pernah menjalin hubungan dengan Turki Utsmani. Namun, narasi semacam itu lebih bersifat propaganda daripada sejarah yang faktual.

Karena itu, menyelamatkan Yogyakarta dari cengkeraman HTI dan propaganda khilafah palsu merupakan sesuatu yang tak dapat ditawar. Jika tidak segera ditangani, aksi-aksi parade HTI dan demo penegakan khilafah di 0 KM tidak akan pernah berhenti—akan selalu muncul di momen-momen tertentu. Mengingat Yogyakarta sebagai kota pelajar, HTI akan banyak meraup keuntungan, karena target mereka memang generasi muda dan pelajar. Ironi.

Klaim Historis yang Ahistoris

Narasi tentang hubungan antara keraton Yogyakarta dan Turki Utsmani digemborkan terus oleh kelompok pro-khilafah untuk membangun ilusi legitimasi historis. Bagi mereka, Turki Utsmani adalah simbol kejayaan Islam sekaligus simbol kekhilafahan yang patut diteladani, sementara Yogyakarta dianggap memiliki potensi untuk menjadi penerusnya. Tetapi, benarkah klaim tersebut memiliki dasar historis yang kuat?

Sebenarnya, sistem pemerintahan Turki Utsmani bukanlah khilafah sebagaimana dipahami HTI, yakni Khilafah Tahririyah. Turki Utsmani adalah dinasti monarki yang memerintah dengan model kekuasaan absolut. Sama halnya dengan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Turki Utsmani tidak memiliki struktur pemerintahan yang sepenuhnya konsisten dengan konsep kepemimpinan ala minhāj al-nubuwwah. Khilafah sejati berakhir ketika Muawiyah bin Abu Sufyan mengambil alih kekuasaan dan mengubahnya menjadi kerajaan.

Dengan demikian, menghubungkan keraton Yogyakarta dengan Turki Utsmani adalah pengaburan sejarah. Keraton Yogyakarta, yang didirikan pada akhir abad XVIII, memiliki karakter unik yang tidak bisa disamakan dengan struktur pemerintahan mana pun, apalagi khilafah. Upaya HTI mengaitkan keraton dengan khilafah hanyalah strategi untuk membangun legitimasi di mata publik, terutama generasi muda yang tak paham sejarah.

Lebih jauh, fenomena tersebut menunjukkan kekosongan intelektual dalam memahami definisi khilafah di kalangan pendukung HTI itu sendiri. Mereka mengabaikan fakta bahwa kekhalifahan Islam sejati tidak mungkin tegak di tengah sistem politik modern yang lebih kompleks: demokrasi. Sebaliknya, mereka hanya mengandalkan romantisme sejarah yang sudah terdistorsi oleh narasi propaganda. Sungguh klaim historis yang ahistoris.

BACA JUGA  Doa Lampion Merah: Menelisik Ruh Imlek dari Kacamata Muslim Tionghoa

Jagalah Yogyakarta Tetap Istimewa!

Pawai khilafah ala HTI di Malioboro adalah reminder bersama, bahwa program deradikalisasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah masih memiliki banyak tantangan. Ideologi transnasional HTI dan kelompok sejenisnya terus mencari celah untuk menyusup ke ruang publik, bahkan di tempat yang sarat simbol nasionalisme seperti Yogyakarta. Hal itu tidak dapat dibiarkan: Yogyakarta adalah daerah istimewa bagi Indonesia.

Untuk menjaga keistimewaan Yogyakarta dan menyelamatkannya dari cengkeraman HTI, diperlukan pendekatan yang tegas dan strategis. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi melawan propaganda khilafah palsu itu. Perlu ada edukasi sejarah yang lebih komprehensif di kalangan masyarakat, terutama generasi muda, agar mereka memahami konteks sejarah secara utuh tanpa terpengaruh romantisme HTI yang menyesatkan.

Pada akhirnya, Yogyakarta mesti tetap istimewa sebagaimana seharusnya, menjadi pusat budaya dan pendidikan sekaligus benteng penjaga NKRI dari pengaruh ideologi transnasional. Membiarkan narasi khilafah HTI berkembang adalah ancaman nyata bagi keistimewaan Yogyakarta itu sendiri. Maka, jagalah Yogyakarta tetap istimewa, sehingga HTI musnah dan Indonesia terus menjadi negara besar berkat kuatnya nasionalisme.

Menurut riset Ayik Heriansyah (2024), mantan Ketua HTI Bangka Belitung, saat ini aktivis HTI memiliki beberapa akun Instagram yang secara khusus punya embel-embel Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mereka mencakup influencer HTI atau komunitas ke-HTI-an yang kerap menarasikan khilafah palsu. Berikut penemuan Ayik:

Akun-akun tersebut secara aktif menyebarkan narasi tentang pentingnya menegakkan khilafah melalui berbagai kegiatan kajian, komunitas, hingga konten media sosial yang menargetkan generasi muda. Pada saat yang sama, mereka selalu mempropagandakan kebobrokan demokrasi dan pilar-pilar kebangsaan, untuk meruntuhkan nasionalisme generasi muda dan mencetak generasi-generasi yang anti-NKRI.

Untuk mencengkeram Yogyakarta, HTI benar-benar memanfaatkan medsos sebagai pendekatan dakwah mereka. Medsos jadi alat utama untuk meraih simpati generasi muda melalui pesan-pesan yang terbungkus indah. Sekali lagi, Yogyakarta sebagai kota pendidikan jelas merupakan target utama karena tingginya konsentrasi pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah. Apakah semua itu akan dibiarkan? Tidak.

Semua elemen masyarakat harus bersatu menolak upaya menjadikan Yogyakarta sebagai markas khilafah palsu HTI. Langkah cepat, strategis, dan terorganisasi perlu segera diambil untuk memastikan bahwa Yogyakarta tetap istimewa. Dan tentu, ini semua bukan tentang menjaga Yogyakarta saja, melainkan juga tentang mempertahankan cita-cita luhur Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat untuk melawan transnasionalisme HTI.

Wallahu a’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru