Harakatuna.com – Pada tahun 2016, jika kita masih ingat, Indonesia dikejutkan dengan keterlibatan Dian Yulia Novi, seorang perempuan yang terlibat dalam rencana aksi bom bunuh diri di Istana Negara. Kasus tersebut membuka mata banyak pihak tentang peran baru perempuan dalam jaringan terorisme: bukan sekadar pendukung, tetapi aktor utama. Perempuan yang selama ini dianggap berada di balik layar kini melangkah maju sebagai pelaku teror yang aktif, baik di Indonesia maupun dunia.
Keterlibatan perempuan dalam aksi teror bukanlah fenomena baru. Di tingkat global, peran perempuan telah tercatat sejak abad ke-19. Salah satu contohnya adalah Vera Zasulich, seorang perempuan Rusia yang menembak Gubernur Jenderal Fedor Trepov pada 1878, sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Ia dengan bangga menyebut dirinya teroris, membedakannya dari sekadar pembunuh. Di Indonesia, keterlibatan perempuan dalam terorisme semakin menonjol dalam dua dekade terakhir, dengan pola perekrutan dan partisipasi yang terus berkembang.
Perempuan kini tidak hanya direkrut sebagai perekrut atau propagandis, tetapi juga dilatih untuk menjadi pelaku serangan langsung. Dalam beberapa kasus, peran perempuan dianggap strategis karena perempuan cenderung tidak dicurigai oleh aparat keamanan, memungkinkan mereka untuk lebih efektif dalam menyusup atau melancarkan serangan. Namun, di balik “kesetaraan gender” semu yang ditawarkan terorisme, perempuan tetap menjadi korban eksploitasi ideologis dan psikologis.
Menurut Musdah Mulia, meskipun perempuan terlibat sebagai pelaku dalam aksi teror, mereka tetap korban dari manipulasi dan eksploitasi. Proses perekrutan sering kali menggunakan wacana agama dan kesetaraan gender sebagai daya tarik. Kelompok radikal memanfaatkan kerentanan psikologis perempuan, menawarkan makna hidup baru sebagai bagian dari perjuangan jihad. Dalam banyak kasus, perempuan yang direkrut adalah mereka yang sedang mengalami tekanan sosial, kekerasan, atau diskriminasi.
Pernikahan sering menjadi pintu masuk bagi perempuan ke dalam jaringan terorisme. Suami atau calon suami mereka memainkan peran kunci dalam menanamkan ideologi radikal. Legitimasi agama digunakan untuk memperkuat narasi patriarki, dengan perempuan diminta menunjukkan loyalitas dan kepatuhan sebagai bentuk ibadah. Perempuan dieksploitasi secara fisik dan ideologis: mereka dianggap memiliki “potensi tersembunyi” yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan teror.
Fenomena keterlibatan perempuan dalam terorisme menantang kita untuk melihat isunya secara lebih mendalam. Tidak cukup hanya dengan pendekatan keamanan, tetapi diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Salah satu solusi yang dapat diambil adalah memberikan akses yang lebih besar kepada perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat komunitas maupun nasional. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1.325 menegaskan bahwa perempuan memiliki peran penting sebagai agen perdamaian. Keterlibatan mereka dalam mencegah konflik dan aksi teror harus diprioritaskan.
Di Indonesia, pemerintah dan masyarakat sipil dapat bekerja sama untuk mencabut peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan, yang sering kali menjadi akar ketidakadilan yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Narasi perdamaian dan ajaran Islam moderat juga perlu terus digaungkan melalui berbagai platform, termasuk media sosial yang sering menjadi medan perang ideologi.
Selain itu, program pendidikan berbasis gender yang inklusif dapat menjadi alat penting dalam mencegah radikalisasi perempuan. Pendidikan tersebut harus mencakup pemahaman tentang hak-hak perempuan, penguatan ketahanan psikologis, dan pemahaman kritis terhadap ideologi radikal.
Keterlibatan perempuan dalam terorisme adalah peringatan bagi kita semua bahwa kesetaraan gender yang sejati belum sepenuhnya tercapai. Perempuan harus dilihat sebagai mitra setara dalam menciptakan perdamaian, bukan sebagai alat atau korban dari agenda radikal.
Upaya pencegahan radikalisasi perempuan membutuhkan pendekatan yang holistik, melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, dan komunitas lokal. Dengan menciptakan ruang dialog yang inklusif dan memperkuat peran perempuan dalam berbagai sektor, kita dapat membangun ketahanan yang lebih kuat terhadap ancaman terorisme.
Menyelamatkan perempuan dari jebakan terorisme bukan hanya soal mencegah aksi teror, tetapi juga tentang menciptakan dunia yang lebih adil dan setara, di mana perempuan tidak lagi menjadi korban eksploitasi, tetapi pemimpin dalam perdamaian dan kemanusiaan.
Menurut data terbaru, keterlibatan perempuan dalam terorisme di Indonesia terus meningkat. Sepanjang tahun 2023 hingga awal 2024, beberapa perempuan terdeteksi terlibat dalam aktivitas teroris. Salah satu kasus yang mencuat adalah keterlibatan keluarga sebagai unit radikalisasi, di mana perempuan berperan sebagai perekrut bahkan pelaku serangan, seperti yang terlihat dalam kasus bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung.
Densus 88 juga melaporkan bahwa perekrutan perempuan semakin terorganisasi melalui platform digital. Media sosial menjadi medium utama untuk menyentuh emosi perempuan yang tengah mengalami kekecewaan sosial, diskriminasi, atau kekerasan. Situasi itu semakin diperparah oleh ketidakadilan gender yang masih terjadi, baik di ranah domestik maupun publik.
Mencegah perempuan menjadi bagian dari jaringan terorisme bukan saja tugas aparat keamanan, melainkan tanggung jawab bersama. Masyarakat, pemerintah, dan komunitas harus berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan adil bagi perempuan.
Pertama, narasi moderasi agama perlu diperkuat di semua lini. Keluarga, sekolah, dan media harus menjadi garda terdepan dalam menyampaikan nilai-nilai inklusivitas dan kedamaian. Pendidikan berbasis gender juga harus dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, dengan fokus pada penguatan mental dan pemahaman kritis terhadap ideologi radikal.
Kedua, pemerintah harus mencabut peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan. Ketidakadilan struktural adalah pintu masuk bagi kelompok radikal untuk memanfaatkan rasa frustrasi dan ketidakberdayaan perempuan.
Ketiga, perempuan harus diberikan ruang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1325 telah menegaskan pentingnya peran perempuan sebagai agen perdamaian. Perempuan bukan korban atau pelaku saja, melainkan solusi dalam upaya melawan terorisme itu sendiri.
Akhirnya, kita semua harus menyadari bahwa terorisme merampas nyawa dan masa depan. Ketika perempuan terjerumus dalam pusaran terorisme, kerugian tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh keluarga, masyarakat, dan bangsa. Karena itu, kita harus bergerak bersama, membangun lingkungan yang mendukung perempuan untuk menjadi agen perubahan. Mereka mesti menjadi benteng perdamaian, bukan malah terjebak dalam propaganda terorisme.