33.2 C
Jakarta

Menyegarkan Kembali Pemahaman Agama

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenyegarkan Kembali Pemahaman Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Menalar Islam, Penulis: Aksin Wijaya, Penerbit: IRCiSoD, Tahun: Desember, 2021, ISBN: 978-623-6166-76-5, Peresensi: Moh. Rofqil Bazikh, Judul Resensi: Menyegarkan Kembali Pemahaman Agama.

Harakatuna.com – Beberapa tahun belakangan, sebagian dari kita sering mencampuradukkan dua hal berbeda. Dua entitas tersebut sejatinya memiliki domain masing-masing. Namun, karena kesalahan berpikir kita dan ketidatahuan, sehingga keduanya dicampuradukkan. Ada banyak sekali implikasi—dalam konotasi buruk—yang lahir dari pencampuradukan itu.

Salah satunya adalah, kekaburan antara domain yang profan dan sakral. Hal-hal yang profan seringkali disebut sakral dan dimasukkan dalam domain sakral. Salah satu contoh antara agama dan pemahaman terhadap agama. Ihwal yang pertama, sudah jelas bahwa itu sakral, sementara yang kedua sebaliknya.

Membahas argumentasi dalam Abdul Karim Soroush, yang harus dipahami terlebih dahulu adalah dua hal tersebut. Semula dan terlebih dahulu Soroush melakukan klasifikasi antara keduanya, agama dan pemahaman agama. Agama dalam dirinya sendiri hanya berada di sisi Tuhan, ia sifatnya mutlak, sakral, dan universal.

Sedang, pemahaman agama yang lahir dari kacamata manusia bersifat relatif, profan, serta partikular. Ketika dua domain ini dipisah, maka kita akan bebas untuk melakukan sebuah analisis kritis terhadap pemahaman agama. Dari pemisahan ini pula, pertanyaan dan pernyataan kritis bisa lahir tanpa sedikit gamang.

Saya kasih sebuah tamsil, awalnya sebelum ada klasifikasi itu, maka kegamangan muncul. Karena dalam konsepsi sebagian besar orang bahwa agama (maksudnya pemahaman agama) tidak bisa dikritik. Ia adalah entitas yang kebal akan kritik dan pasti benar. Sesudah ada klasifikasi tersebut dari Soroush, maka kekebalan pemahaman agama dari kritik seharusnya mulai pudar.

Pemahaman yang lahir dari kacamata manusia sampai kapanpun tidak bisa dimutlakkan. Ia tidak bisa dijadikan sebagai suatu hal yang haram dikritik. Dengan klasifikasi ini, kita akan melihat bagaimana wacana keagamaan akan tumbuh subur beserta proses dialektikanya.

Bagian selanjutnya yang menarik dari pemikiran Sorosuh tidak lain adalah pergeseran paradigmatisnya. Aksin menguraikan, bahwa pergeseran paradigmatis mencakup ranah penafsiran teks keagamaan, Al-Qur’an. Semula, interpretasi yang berhubungan dengan teks keagamaan hanya demi kepentingan Tuhan semata.

BACA JUGA  Dinamika Zaman dan Sisi Lain Gerakan Radikal

Sedang eksistensi manusia jarang atau sama sekali tidak diperhatikan. Maka, paradigm dari Soroush mengalami semacam pergeseran. Yakni, segala pembacaan terhadap teks keagmaan berpusat pada manusia (antroposentris). Dengan pergeseran ini, maka eksistensi manusia beserta kepentingannya mendapat perhatian lebih.

Dengan pergeseran paradigama dari Tuhan sebagai pusat (teosentris) ke antroposentris, maka beragama demi kemaslahatan manusia adalah tujuan. Musabab pembacaan teks keagamaan tidak sepenuhnya berpusat pada Tuhan, maka ia seketika memusat pada manusia.

Dengan hal itu, dalam kacamata Soroush, akan mengimplikasikan pada beragama secara maslahi. Beragama dalam taraf ini yang memerhatikan penuh kemaslahatan manusia di muka bumi. Agama hanya berarti jika ia benar-benar memberi kemaslahatan di muka bumi[Hal.188]

Pemikiran Soroush inilah yang menurut saya bisa menyegarkan kembali paham kita terhadap agama. Dengan meminjam argumen Soroush pula kita tidak akan lagi mencapuradukkan dua hal yang berbeda. Dan yang lebih menggembirakan, bahwa itu berdampak pada hajat dan kepentingan manusia.

Agama dalam dirinya sendiri menekankan kemaslahatan di muka bumi, maka hendaknya begitu juga dengan pemahamannya. Agama hanya akan eksis jika pemahaman terhadapnya menjadi segar dan lebih terbuka. Jika tidak, barangkali keberadaan agama menjadi hal yang tidak begitu urgen dalam kehidupan.

Sikap keterbukaan ini juga penting bagi perjalanan agama. Ia tidak akan pernah terkikis oleh zaman dan waktu. Sebab pemahaman terhadapnya selalu bisa disegarkan (refresh). Atas maksud mulia ini, kita bisa menerima pemikiran Soroush terlepas dari latar belakangnya.

Saya tidak akan menyinggung sedikit saja latar belakang dari Soroush. Ditakutkan hal tersebut menjadi tertolaknya argumen pemikirannya terhadap nalar beragama. Argumentasi rasional darinya yang akan membantu kita beragama secara ilmiah.

Moh Rofqil Bazikh
Moh Rofqil Bazikh
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga. Mukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Merapi, Rakyat Sultra, Bali Pos, Harian Bhirawa, Lampung News, Analisa, Pos Bali, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Cakra Bangsa, BMR Fox, Radar Jombang, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, Mbludus.com, Galeri Buku Jakarta, Litera.co, KabarPesisir, Ideide.id, Asyikasyik.com, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru