30.1 C
Jakarta

Menyegarkan Esensi Islam dan Rutinitas Shalat

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMenyegarkan Esensi Islam dan Rutinitas Shalat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejak usia kanak-kanak saya diperkenalkan dengan Islam. Secara teoritis Islam mencakup lima pilar atau yang dikenal dengan rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Lima pilar ini awal kali diperkenalkan saat saya duduk di bangku sekolah dasar dan sang guru seringkali meminta siswanya, termasuk saya, menghafal lima butir ini. Saya mengikuti apa yang disarankannya tanpa mempertanyakan esensinya, bahkan tidak menolaknya.

Bertambahnya usia, jenjang pendidikan semakin tinggi. Di situlah saya mulai diperkenalkan praktek lima pilar tersebut, bahkan yang paling sering dipraktekkan adalah rukun iman yang kedua, yakni shalat. Secara sederhana, orang kampung memahami Islam sebatas shalat. Siapa pun yang tidak shalat berarti bukan muslim atau pemeluk agama Islam. Cara pandang yang amat sederhana ini ada benarnya juga, sekalipun belum final. Sebab, Islam tidak cukup sebatas praktek shalat saja, tanpa ada feedback yang diperoleh dari rutinitas keagamaan ini.

Standar yang diuraikan dalam Al-Qur’an menyangkut feedback shalat adalah:Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Demikian surah al-Ankabut/29: 45. Standarnya, seperti yang terlukis dalam ayat ini, adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Ath-Thabari menyebutkan dalam karya tafsirnya Jami’ al-Bayan bahwa keji itu adalah perbuatan prostitusi (az-zina), sementara mungkar adalah perbuatan buruk terhadap Tuhannya (ma’ashy al-Lah).

Seperti apakah perbuatan buruk tersebut? Tentunya banyak. Salah satunya adalah menyakiti saudaranya dengan lisan dan tangannya, karena Islam menjaga dua organ tubuh ini seperti yang tersebut dalam hadis Nabi Muhammad saw.: Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari lisan dan tangannya. Orang yang diterima shalatnya terpancar dari cara dia bertuturkata yang santun dan bersikap yang sopan. Disadari atau tidak, lisan dan tangan lebih tajam daripada pedang, seperti dampak hate-speech dan hoax yang dapat memeca-belah persatuan dan tali persaudaraan.

Islam merangkul, bukan memecah belah. Islam menghormati, bukan memandang sebelah. Islam yang tidak sekedar formalitas, salah satunya, saya temukan kemarin di kota Cirebon, sebuah kota wali Syarif Hidayatullah atau lebih familiar dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Secara sederhana praktek Islam membumi di sana dengan cara penghormatan terhadap tamu. Bagi masyarakat sana, tamu tak ubahnya raja. Tamu dijamu dan disambut dengan cara yang istimewa. Penghormatan terhadap tamu merupakan implementasi kualitas keimanan seseorang, yang mana iman itu sendiri merupakan pondasi dari keislamannya. Disebutkan dalam sebuah riwayat: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya. Demikian Bukhari dan Muslim.

BACA JUGA  Sudahkah Kelompok Radikal Memerangi Hawa Nafsunya sebelum Memerangi Sesamanya?

Saya banyak belajar tentang cara berislam dari perjalanan ke kota wali tersebut. Islam tidak cukup sebatas ritual shalat semata, melainkan harus membumi dalam kehidupan sehari-hari, lebih-lebih memperlakukan orang lain layaknya dirinya sendiri: mencintai orang lain seperti mencintai dirinya. Manusia semacam ini tidak akan menyakiti saudaranya sendiri, sekalipun beda agama, suku, dan ras. Karena, dalam sebuah riwayat, orang mukmin dengan mukmin lainnya tak ubahnya bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. 

Selain itu, Islam sebenarnya tidak menghendaki kekerasan, karena kekerasan itu bukan menjadi solusi, melainkan menjadi masalah. Islam yang menyejukkan dapat dilihat dari cara Syekh Syarif Hidayatullah memahami jihad. Jihad, menurutnya, bukan hanya dipahami sebagai perang melawan musuh, namun pula perang melawan hawa nafsu. Dakwah Syekh Syarif ini mampu memantik semangat masyarakat sehingga mereka tertarik memeluk agama Islam tanpa paksaan. Mereka memeluk agama Islam dengan cinta seperti kaum Quraisy berbondong-bondong masuk agama Islam setelah datangnya pertolongan Allah dan penaklukan kota Mekkah (Fath Makkah). Demikian surah an-Nashr ayat 1 dan 2.

Maka, dengan demikian, Islam bukan hanya dipahami sebatas formalitas semata, melainkan pula diwujudkan dalam aktivitas sehari-hari. Karena, dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, barang siapa yang shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka shalat yang ia kerjakan tiada lain hanya semakin menjauhkan dari Allah. 

Nah, shalat sebagai rutinitas keagamaan tetap dilakukan sebagai bentuk formalitas seorang hamba kepada Tuhannya, namun tidak mengabaikan esensi shalat itu sendiri, yakni mencegah perbuatan keji dan mungkar. Pertanyaannya: Apakah shalat Anda sebagai formalitas saja atau sudah mewujud dalam bentuk perbuatan islami setiap hari? Silahkan direnungkan! Sebab, shalat yang kering akan feedback positif sejatinya ia belum shalat sekalipun raganya shalat, sebenarnya belum muslim sekalipun mengakui orang Islam, bahkan pada hakikatnya belum mukmin sekalipun berikrar dengan dua kalimat syahadat! Shalat sebagai habl minalLah dan feedback positif sebagai habl minannash bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.[]

[zombify_post]

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru