29.7 C
Jakarta

Menyambut Ramadhan dengan Penuh Perdamaian dan Toleransi

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenyambut Ramadhan dengan Penuh Perdamaian dan Toleransi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Ramadhan adalah bulan yang penuh pengampunan (maghfirah), serta bulan yang penuh perdamaian. Karena pada bulan Ramadhan, seluruh umat Islam di belahan dunia melaksanakan ibadah puasa serta mengharapkan pengampunan dari Allah SWT. Semuanya berlomba-lomba agar menjadi hamba yang terbaik dan bertaqwa di hadapan Allah SWT.

Pada bulan Ramadhan, sejarah perdamaian dunia ditulis. Seperti kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada tanggal 17 agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun 1364 H. Selain itu, Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW pada tanggal 17 bulan Ramadhan. Kemudian, pembebasan mekkah yang dikenal dengan (fathu makkah) juga terjadi pada tanggal 10 bulan Ramadhan. Pada hari itu, Nabi Muhammad SAW bersama 10.000 pasukan bergerak dari Kota Madinah menuju Kota Makkah.

Rentetan sejarah tersebut menandakan bahwa, bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh perdamaian dan toleransi.  Khususnya pada era kontemporer ini, perdamaian dan toleransi harus dimiliki dan diaplikasikan oleh seluruh umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih bagi umat Islam, perdamaian dan toleransi harus dijadikan basis dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, apalagi di bulan Ramadhan yang kerap terjadi perbedaan.

Aplikasi perdamaian dan toleransi tersebut, dapat kita lihat dari perbedaan jumlah rakaat shalat Tarawih, ada yang 11 rakaat, dan ada pula yang 23 rakaat. Tidak hanya itu, terkadang dalam pelaksanaan penentuan awal Ramadhan dan Idhul Fitri, beberapa kali terjadi perselisihan. Uniknya, dalam kondisi seperti itu, umat Islam antara kelompok satu dengan kelompok lainnya tidak saling menghujat atau menyalahkan. Hal ini menandakan bahwa perbedaan adalah rahmat dan sunnatullah.

Dengan menghargai keyakinan orang lain, seperti dalam memulai hari puasa dan melaksanakan shalat Tarawih yang jumlahnya berbeda, ini menandakan bahwa Islam mencintai perdamaian dan toleransi. Baik bagi muslim itu sendiri maupun kepada orang lain yang berbeda keyakinan. Begitu juga dengan perbedaan waktu buka puasa di suluruh dunia yang telah menjadikan Ramadhan itu unik, toleran, dan penuh dengan perdamaian.

Misalnya Indonesia, lama waktu masyarakat muslim di sini kurang lebih sekitar 13 jam perhari. Terhitung sejak pukul 4:30 sampai dengan pukul 17:50, muslim Indonesia berpuasa dengan menahan makan, minum serta hal yang membatalkan puasa lainnya. Namun, ada hal yang berbeda yang dialami oleh muslim di Islandia. Siang hari di sana lebih lama dari malam harinya. Dengan ukuran jam kurang lebih sekitar 22 jam mereka berpuasa. Tentu durasi waktu tersebut lebih lama dari Indonesia. Begitu juga dengan msulim di Amsterdam, Ibu kota Belanda, mereka harus berpuasa selama 19 jam.

BACA JUGA  Pilpres 2024; Ulama Sebagai Komoditas Politik Semata?

Namun sebaliknya, di Chili (Negara di Amerika Selatan), siang hari di sana lebih pendek dari malam harinya. Muslim Chili berpuasa sekitar 9 jam 30 menit perhari dan lebih cepat berbuka dari pada Indonesia.

Pertanyaan mendasar adalah, apakah masyarakat muslim di berbagai belahan dunia itu mengeluh dan tidak menjalankan puasa? Jawabannya tentu mereka menjalankan puasa dengan mengharap pengampunan (maghfirah) dari Allah SWT. Karena puasa merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Baik mereka tinggal di daerah kutub utara, kutub selatan, banua Amerika, atau yang lainnya. Karena pada dasarnya, mereka semua berpuasa dengn merujuk kepada hadis Nabi yang artinya, “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosanya yang lampau akan diampuni.”

Dari penjelasan tersebut, menegaskan kembali bahwa Ramadhan, selain bulan penuh berkah, pengampunan (maghfirah), juga merupakan bulan yang penuh perdamaian dan toleransi. Walaupun terkadang ada perberbedaan dalam permulaan awal Ramadhan, jumlah rakaat shalat Tarawih. Akan tetapi kita tetap berpuasa, tetap melaksanakan shalat Tarawih, tetap berbuka puasa, dan tetap mengharap Ridha Allah SWT dengan tanpa melihat ras, bahasa, dan aliran. Kita semua berlomba-lomba untuk meningkatkan ibadah di bulan Ramadhan, baik itu ibadah mahdhoh ataupun ghoiru mahdhoh.

Sekali lagi, hal ini manandakan bahwa Ramadhan merupakan bulan pemersatu umat manusia di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu, mari kita sambut Ramadhan dengan penuh perdamaian dan toleransi. Jika sifat perdamaian dan toleransi tersebut sudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di luar Ramadhan, niscaya ketenangan hidup akan segera tercapai.

Ridwan Bahrudin
Ridwan Bahrudin
Alumni Universitas Al al-Bayt Yordania dan UIN Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru