Harakatuna.com – Salah satu masalah besar dan serius yang sedang dihadapi bangsa saat ini adalah bangkitnya kelompok ekstremisme dan transnasionalisme. Aktivitas kelompok tersebut di tanah air terus bertambah, tumbuh bagaikan tumor ganas yang menyebar dengan cepat.
Kebangkitan kelompok ekstrem seperti FPI dan HTI yang tiba-tiba menyeruak menunjukkan bahwa mereka tidak pernah benar-benar musnah. Sebagai organisasi, mereka terus bermetamorfosis dari waktu ke waktu, bergerilya untuk bertahan. Harus diakui, dampak destruktif dari kelompok ekstrem itu sangat besar. Banyak pelaku yang sudah terbiasa dengan kejahatan, seperti sweeping, provokasi, pembubaran pengajian, pemecah-belah keharmonisan sosial, serta ancaman terhadap persatuan dan keamanan nasional.
Kebangkitan kelompok-kelompok tersebut memanfaatkan momentum transisi kepemimpinan, seolah menunggu respons dari pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Pertanyaannya adalah, apakah pemerintah saat ini juga akan bersikap tegas seperti pemerintahan Jokowi terhadap kelompok-kelompok ekstremis?
Dengan melihat besarnya kerugian akibat kelompok ekstrem tersebut, pemerintahan Prabowo-Gibran memang perlu bertindak tegas dan memberantas mereka hingga ke akarnya. Selain FPI dan HTI, Direktur The Habibie Center, Mohammad Hasan Ansori, menyatakan bahwa kelompok teror seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) masih aktif dalam rekrutmen, persiapan, dan pendanaan teror.
Artinya, Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran dihadapkan pada tantangan besar, baik dari kelompok ekstrem-transnasionalisme maupun kelompok radikal, termasuk isu ratusan WNI yang terlibat sebagai foreign terrorist fighter (FTF) atau teroris lintas batas di luar negeri.
Saat ini, keterlibatan WNI dengan FTF mencapai 562 orang, termasuk anak-anak, yang terlibat aksi terorisme di luar negeri seperti di Filipina, Irak, dan Suriah. Mereka kini berada di kamp Al-Hawl dan Al-Roj di Suriah timur laut. Jika tidak segera direpatriasi atau diambil tindakan terhadap mereka, kamp ini akan terus menjadi tempat radikalisasi.
Terkait permasalahan tersebut, Presiden Prabowo menegaskan komitmen untuk memberantas semua hal yang membahayakan negara. Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT, Irjen Pol Ibnu Suhendra, mengungkapkan bahwa pemerintah terus melaksanakan berbagai langkah dalam pemberantasan kelompok ekstrem dan radikal, termasuk kebijakan penanganan terhadap WNI yang terasosiasi dengan FTF.
Langkah Presiden Prabowo tersebut patut diapresiasi, begitu pula penegasan BNPT untuk bertindak tegas terhadap kelompok radikal-teror. Hal itu merupakan langkah penting yang memberikan harapan baru. Masyarakat berharap komitmen tersebut diwujudkan dengan aksi nyata, bukan sekadar janji lantang di awal pemerintahan yang kemudian meredup.
Selama ini, pihak-pihak yang ditangkap dan diproses kebanyakan dari kelompok teroris lama, sementara kelompok ekstremisme-transnasionalisme yang aktif akhir-akhir ini masih belum tersentuh. Apakah ada pihak-pihak kuat yang tidak boleh tersentuh hukum?
Sebagai editorial, kami menegaskan bahwa komitmen Presiden, BNPT, Kapolri, dan jajaran pemerintahan untuk memberantas kelompok ekstrem harus menyeluruh. Jika ada kelompok atau individu yang melakukan upaya memecah-belah persatuan bangsa, segera tangkap dan proses hukum tanpa pandang bulu, termasuk yang mencoba menjadi beking bagi mereka.
Ketegasan Presiden Prabowo dalam memberantas kelompok pemecah-belah bangsa harus benar-benar nyata. Jika tidak, kerugian yang ditimbulkan bisa sangat besar, mengingat negeri ini rentan terhadap kerusakan akibat kelompok ekstrem, radikal, dan terorisme.