27.7 C
Jakarta
spot_img

Menumbuhkan Benih Toleransi, Masa Depan Keberagaman Bangsa

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenumbuhkan Benih Toleransi, Masa Depan Keberagaman Bangsa
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Toleransi, Penulis: M. Quraish Shihab, Penerbit: Lentera Hati, Tahun Terbit: 2022, Tebal: 218 Halaman, ISBN: 978-623-5375-04-5, Peresensi: Ahmad Miftahudin Thohari.

Harakatuna.com – Apa resolusi 2025 yang mesti dilakukan untuk menyongsong Indonesia Emas 2045? Sesegera mungkin kita akan menjawab: menumbuhkan toleransi. Di samping sebagai negara mayoritas Muslim, fakta keberagaman yang plural alasan kuat mengapa toleransi mesti tumbuh subur di tanah Nusantara kita—apalagi fenomena intoleransi masih menjadi tantangan serius dalam lalu lintas keberagamaan kita.

Maka itu, buku setebal 218 halaman yang ditulis oleh tokoh kenamaan Indonesia, M. Quraish Shihab, dengan bahasa yang sungguh ringan dan mudah dipahami, menjadi bacaan penting yang mesti kembali kita baca di awal tahun 2025. Buku itu berjudul Toleransi.

Kendati buku tersebut terbit di tahun 2022, tapi seluruh muatan gagasan dengan segala argumentasi bernas khas Prof. Quraish Shihab masih sangat relevan untuk tetap kita baca—selama toleransi di Tanah Air tercinta kita masih menghadapi jalan terjal. Marilah kita bersama-sama meluangkan waktu untuk itu.

Buku itu tidak saja ringan. Penerbit sebagaimana namanya, Lentera Hati, memberikan semacam mata air hikmah intisari petuah-petuah pemilik tafsir Al-Mishbah itu di berbagai halaman buku tersebut—dalam bentuk yang umum disebut: quote. Sebagai contoh, kata beliau, “tuntunan agama jika pemeluknya terbebaskan dari fanatisme yang tercela, pasti akan melahirkan bagi pemeluknya cinta kasih dan toleransi, di mana pun dan apa pun kepercayaan dan agama mereka”.

Sebuah petuah, yang menurut saya, menyuduk hati bagi fakta keberagamaan kita yang cenderung diliputi fanatisme tercela. Adalah fakta yang juga dikritisi oleh Quraish Shihab, bahwa masa kini kekerasan jauh lebih banyak mengemuka ke permukaan suasana silaturahmi keberagamaan kita ketimbang kedamaian.

Mengapa demikian? Menurut Quraish Shihab, karena banyak perilaku manusia yang menyimpang dari kemanusiaannya—atau dengan kata lain, menyimpang dari tuntunan agamanya. Padahal, kata beliau, kalau manusia menyadari hakikat jati dirinya sebagai insan yang harus hidup harmonis, bergerak dinamis, dan mau melupakan kesalahan orang lain, maka tentulah lahir toleransi yang kita semua diharapkan.

Pun demikian kalau manusia menyadari kelemahannya, niscaya akan lahir dalam dirinya dorongan untuk saling memaafkan dan bertoleransi guna menjalin hubungan kerja sama. Inilah pentingnya kemanusiaan, yang bergandengan tangan dengan keberagamaan, untuk menumbuhkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan.

Agama, Kemanusiaan, Toleransi

Menurut Quraish Shihab, tidak dapat disangkal bahwa keterikatan kepada agama, bila dipahami dan dipraktikkan secara benar, adalah faktor utama terciptanya toleransi—dan kemanusiaan. Tidak ada ajaran agama yang tidak mengajarkan kebaikan toleransi dan kemanusiaan. Itu fakta yang mesti terus kita dengungkan. Kekerasan berbasis agama adalah kenyataan politis yang mengkhianati tidak hanya nilai moral, tetapi juga nilai teologis dari agama itu sendiri.

BACA JUGA  Integrasi Ajaran Agama dan Isu Lingkungan Lewat Gerakan Pesantren

Orang sering menentangkan perbedaan sebagai basis tumbuhnya sikap intoleransi. Padahal, bagi Quraish Shihab, perbedaan adalah keniscayaan hidup, dan Tuhan menganugerahkan kepada manusia modal untuk menghadapi serta memahami perbedaan tersebut. Apa itu? Kata Quraish Shihab, modal itu adalah kemanusiaan manusia (h. 23).

Sudah sangat jelas. Tidak mungkin Tuhan yang menciptakan manusia berbeda-beda menghendaki agar manusia saling bermusuhan. Tuhan, sebagai Yang Maha Kasih, telah menganugerahkan seperangkat tuntunan dan menciptakan sejumlah kecenderungan bagi manusia yang hendaknya digunakan untuk mengelola perbedaan-perbedaan yang sangat kita butuhkan sebagai makhluk sosial (h. 23). Bukan malah menjadikannya basis perseteruan dan pertengkaran.

Itu adalah syarat toleransi bisa tumbuh. Perlu digarisbawahi, bahwa pengertian toleransi tidak berarti otomatis mengakui kebenaran pihak lain. Akan tetapi, maknanya lebih tentang mengakui haknya untuk menganut dan mengamalkan pandangannya serta haknya untuk hidup berdampingan tanpa mengorbankan pihak lain yang tidak sependapat dengannya.

Sebagai kaum Muslim, misalnya, kita memiliki kecenderungan untuk mencegah hal-hal buruk. Karenanya, kadang kala kita kelepasan ego untuk mengutuk-ngutuk mereka yang kita anggap musyrik, bid’ah, bahkan kafir. Padahal, kata Quraish Shihab, kendati seseorang musyrik, tapi selama ia tidak bermaksud jahat kepada kaum muslimin, mereka pun adalah manusia yang berhak memperoleh perlindungan; bukan saja menyangkut nyawa dan harta benda mereka, tetapi juga dalam kepercayaan dan keyakinan mereka.

Islam memberi kebebasan berpikir serta membuka peluang seluas-luasnya bagi setiap orang untuk menemukan kebenaran. Begitulah kata Quraish Shihab. Artinya, tidak sepatutnya kita yang mengaku diri Muslim lantas berubah menjadi “polisi agama” atau bahkan “preman berjubah”, untuk kemudian menghakimi dan menghukum mereka-mereka yang kita anggap keliru, hanya karena mereka tidak sesuai pandangan (baik tafsir syariat, fiqh, amaliyah) dengan kita.

Mental model semacam itulah yang menghambat berseminya benih-benih toleransi di Tanah Air kita. Bahwa banyak dari kita sering kali selalu memaksakan pemahaman kita kepada orang lain tanpa pernah berkenan memahami situasi dan perkaranya. Akhirnya kita sibuk dengan klaim kebenaran kita sendiri. Ujung-ujungnya malah menciptakan suasana yang penuh sesak dengan intoleransi demi intoleransi.

Hal yang persis dikatakan Quraish Shihab di bagian akhir buku tersebut. Apa? Bahwa hambatan utama toleransi adalah ilusi subjektivitas, entah akibat atau tidak dari, fanatisme buta terhadap tokoh maupun mazhab karena dangkalnya pengetahuan, mengemukanya emosi yang tak terkendali, gerak pemikiran yang terbelenggu, serta adanya informasi keliru yang ditelan tidak secara selektif—akurat (h. 214). Mari kita terus tumbuhkan benih-benih toleransi dalam payung agama dan kemanusiaan. []

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru