26.3 C
Jakarta

Menulis Buku Non-Fiksi, Solusi Tepat bagi Penulis Pemula

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMenulis Buku Non-Fiksi, Solusi Tepat bagi Penulis Pemula
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebelum membongkar alasan mengapa menulis buku non-fiksi menjadi solusi yang tepat bagi penulis pemula. Terlebih dahulu di sini saya hendak menjelaskan apa itu buku non-fiksi? Penjelasan ini bertujuan agar pembaca memperoleh gambaran awal terkait pengertian dari buku ber-genre non-fiksi sebelum masuk ke pembahasan inti.

Secara sederhana, buku non-fiksi adalah buku yang ditulis berdasarkan fakta dan realitas. Buku yang masuk dalam kategori ini biasanya berupa buku pelajaran, ensiklopedia, biografi, kesehatan, sains, agama, buku motivasi, dan sejenisnya.

Ini tentu sangat berbeda dengan buku ber-genre fiksi. Sebab buku atau karya fiksi ditulis berdasarkan imajinasi atau rekaan belaka. Materi tulisannya dikemas dari fantasi berkhayal penulisnya. Meskipun bisa jadi tokoh, alur cerita, latar waktu dan tempat mengarah pada obyek yang benar-benar ada.

Nah, kira-kira dari dua kategori buku di atas, mana yang lebih mudah untuk ditulis? Jawabannya tentu sangatlah relatif dan subjektif. Tergantung pada siapa kita bertanya. Jika semisal saya yang ditanya, maka dengan tegas saya menjawab bahwa buku non-fiksi yang lebih mudah ditulis ketimbang buku fiksi. Sebab, dari buku saya yang diterbitkan, dan sejumlah artikel saya yang di-publish di berbagai platform digital, semuanya ber-genre non-fiksi. Tidak ada satu pun yang ber-genre fiksi.

Saya pernah menggarap buku fiksi, namun tidak pernah selesai. Saya bahkan telah berulang-ulang kali mencoba mengerahkan kapasitas nalar saya, namun tetap saja sulit sekali untuk menembus alam imajinasi yang penuh dengan fantasi. Akhirnya, saya mencukupkan kesulitan itu dan menemukan kemudahan saat menulis buku non-fiksi.

Bagi saya berkhayal dan membuat cerita imajinatif tidaklah mudah. Masih lebih mudah menulis sesuatu yang bahannya sudah tersedia di depan mata, atau berdasarkan pengetahuan yang sudah pernah saya pelajari sebelumnya.

Alasan mengapa saya bilang menulis buku non-fiksi lebih mudah dari pada menulis buku fiksi? Karena saya mengamati penulis-penulis fiksi, hampir semuanya mampu menulis non-fiksi dengan sangat baik. Sebut saja misalnya Asma Nadia, selama ini kita mengenalnya sebagai penulis yang telah melahirkan puluhan novel bestseller, dan cukup banyak difilmkan.

Kira-kira bagaimana jika beliau menulis non-fiksi? Ya, ternyata hasilnya juga sangat baik. Contoh buku non-fiksinya yang berjudul Catatan Hati Seorang Istri cukup booming dan banyak digandrungi masyarakat. Atau buku Jangan Jadi Muslimah Nyebelin yang juga laris luar biasa.

Contoh senada penulis fiksi adalah Aguk Irawan MN. Kita mengenalnya sebagai budayawan, sastrawan, penyair, dan novelis. Kira-kira bagaimana jika beliau menulis non-fiksi? Ternyata hasilnya juga sangat baik, logis, dan sistematis. Ini tergambar misalnya dari buku Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara: dari Era Sriwijaya hingga Pesantren Tebuireng dan Ploso.

Satu penulis lagi yang dijadikan contoh terakhir dalam pembahasan ini adalah Tere Liye. Ya, kita mengenalnya sebagai novelis yang beberapa tahun terakhir buku-bukunya merajai buku fiksi di Indonesia, juga sangat baik ketika menulis non-fiksi. Jika tidak percaya, silahkan baca status-status di fanpage Facebooknya, atau postingan-postingan di Instagramnya.

BACA JUGA  Menulislah, Ide Itu Begitu Berharga

Seperti itulah tulisan-tulisan non-fiksi yang dihasilkannya. Tidak kalah membius dengan tulisan-tulisan fiksi di novelnya. Sehingga saya menyimpulkan bahwa penulis fiksi lebih mudah menulis non-fiksi.

Sebaliknya, penulis yang biasa menulis non-fiksi, belum tentu bisa menulis fiksi. Banyak di antara mereka yang kesulitan ketika mencoba menulis fiksi. Salah satunya ini sangat dirasakan dan dialami oleh penulis bestseller non-fiksi Ahmad Rifa’i Rif’an. Dia mengaku, dari seratus lebih bukunya yang telah terbit, yang fiksi hanya satu, itu pun kumpulan cerpen, bukan novel. Terbit tahun 2013, dan sama sekali tidak pernah cetak ulang.

Penulis-penulis yang serumpun dengan Ahmad Rifa’i Rif’an, yang kerap kali menghasilkan karya luar biasa berupa buku-buku motivasi, agama, manajemen, marketing, parenting, berapa banyak yang bisa menulis novel. Dari sebagian kecil yang bisa menulis novel berapa banyak novelnya yang bestseller? Sangat sedikit sekali.

Meskipun ada juga beberapa penulis yang setelah sukses menulis non-fiksi, juga berhasil membuktikan ke publik bahwa karya fiksinya juga berkualitas tinggi. Contohnya adalah ustaz Salim A. Fillah. Setelah sukses menulis buku-buku non-fiksi yang membahas cinta, pernikahan, dan dakwah, ia juga mampu melahirkan karya yang berbeda, yaitu novel yang mengisahkan tentang kehidupan Pangeran Diponegoro. Banyak tokoh yang turut mengapresiasi terbitnya novel ini.

Sampai di sini jelas bahwa menulis non-fiksi, khususnya bagi penulis pemula, lebih mudah dilakukan. Alasannya sangat sederhana. Sebab, manusia lebih banyak menjalani aktivitas sehari-hari di alam nyata ketimbang di alam fatamorgana. Sejak kecil kita lebih banyak mempelajari tentang fakta dan realita, sehingga memori kita lebih banyak menyimpan dan menyerap informasi dari pada imajinasi.

Sekali lagi, menulis buku non-fiksi lebih mudah dibuat dan sangat cocok bagi penulis pemula. Sebab, tak perlu banyak menghajar otak untuk berimajinasi. Juga tak perlu modal kemampuan bermain kata-kata tingkat tinggi. Karena kalau bisa menulis buku non-fiksi itu penggunaan kata-katanya ringan dan mudah dipahami.

Dan ini cukup gampang, karena berkaitan erat dengan bahasa verbal yang kita gunakan setiap hari. Tidak seperti menulis buku fiksi yang banyak bermain diksi, kiasan, atau gaya bahasa. Dan ini pasti akan menyulitkan penulis pemula. Khusunya penulis pemula yang basis nalar imajinasinya sekelas krupuk, yang sekali ditekan langsung remuk.

Moch Arifin
Moch Arifin
Pegiat literasi mukim di Bojonegoro, Jawa Timur.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru