27.9 C
Jakarta

Menuju Wasathiyah Kafah: Tiga Rambu bagi Penggerak Kontranarasi Radikalisme menurut Al-Qardhawi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenuju Wasathiyah Kafah: Tiga Rambu bagi Penggerak Kontranarasi Radikalisme menurut Al-Qardhawi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sejumlah fenomena radikalisme di tanah air Indonesia juga di berbagai belahan dunia menunjukkan betapa gerakan tersebut lahir karena dangkalnya pemahaman agama secara epistemologis. Meminjam kalimat Asep Salahudin (2017: 28), agama seharusnya tidak hanya dianut dengan hegemoni aksi namun sepi epistemologi, begitu pun berisik dalam implementasi namun defisit internalisasi.

Demikian, pada hakekatnya keindahan agama harus dibawa ke permukaan dengan wajah rahmah sumringah dan tidak pongah, menjauhi jiwa puritan, pun bersikap toleran tapi tidak plin-plan. Sikap tersebut lah diantaranya yang kemudian hari ini dikenal dengan wujud moderasi beragama.

Islam memandang moderasi sebagai posisi strategis dan proporsional seorang  umat dalam beragama, yakni posisi seimbang antara dua sisi yang bertentangan. Posisi tersebut menurut Al-Qardhawi (2017: 60) akan membawa manusia pada keterbukaan fikiran sehingga menjauhi sikap-sikap berlebihan (ekstrem) dalam beragama. Moderasi atau wasathiyah dalam beragama inilah yang sesungguhnya penting dimiliki oleh segenap umat bergama—khususnya Islam, baik secara fikrah maupun harakah dan amaliah.

Dewasa ini, karena semakin tampak dan menjamurnya fenomena radikalisme beragama maka semakin banyak juga umat penggerak yang menyadari pentingnya upaya kontranarasi radikalisme tersebut. Namun dalam beberapa kasus, pandangan penulis menilai bahwa dinamika gerakan moderasi tersebut seringkali terjebak pada stagnansi argumentasi.

Alih-alih mempromosikan moderasi, namun pada akhirnya para penggerak tersebut cenderung terjerembab juga ke dalam “jurang” radikalisme. Alhasil, promosi moderasi banyak melahirkan stereotip di masyarakat bahwa “katanya moderat, tapi malah menyudutkan dan tidak mau terbuka”.

Begitulah kiranya pandangan penulis mengenai dinamika promosi gerakan moderasi beragama di negara kita. Moderasi yang seharusnya semakin membumi, namun pada kenyataannya masih terganjal paradigma para penggeraknya yang cenderung melangit hingga terjebak dalam kerangkeng radikalisme tersebut.

Maka dalam konteks ini, sebagai penggerak moderasi kita perlu mengetahui rambu-rambu dalam menyemai promosi tersebut. Mengenai ini, Yusuf Al-Qardhawi—seorang cendekiawan muslim moderat—jauh-jauh hari mengingatkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang harus dimiliki umat penggerak dalam mewujudkan moderasi beragama.

Bersikap Sewajarnya dalam Melukiskan Radikalisme

Salah satu ciri utama dari sikap moderat adalah adanya terbangunnya keseimbangan (al-‘adalah). Al-Qardhawi dalam Tsaqafatuna bayna al-Infitah wa al-Inghilaq (2000: 30) menyatakan bahwa moderasi beragama pada hakekatnya adalah antitesis dari sikap ekstremitas (ghulluw) dalam beragama. Lanjutnya, moderasi dalam konteks ini bertujuan untuk memecahkan konflik pada internal Islam karena kecenderungan beberapa kelompok yang berlebihan dalam memahami agama. Oleh karena itu, pada tahap aksiologis moderasi ini para penggerak harus berpegang teguh pada prinsip keseimbangan tersebut.

Keseimbangan ini berarti bahwa upaya menghindarkan diri dari sikap berlebihan dalam melukiskan radikalisme adalah sebuah keniscayaan. Hal ini juga mengingat betapa Islam sangat mengutamakan kebijaksanaan (al-hikmah) dalam pelbagai aktivitas kehidupan. Dalam karyanya yang lain, yakni Islam Jalan Tengah atau al-Wasathiyah al-Islamiyah wa Ma’alimuha, Al-Qardhawi (2017: 144) menegaskan bahwa penggambaran yang berlebihan terhadap tuduhan radikalisme akan membangun ketakutan dan membesarnya gap antara kelompok pengusung moderasi dengan kelompok radikal. Sehingga pada akhirnya, upaya promosi moderasi tidak sampai secara proporsional dan bahkan hanya akan menimbulkan stereotip terhadap moderasi itu sendiri.

Meski pada kenyataannya, fanatisme terhadap moderasi ini menjadi penting untuk membangun  reaksi dan semangat juang namun kadangkala reaksi yang berlebihan justru akan menenggelamkan. Menurut Al-Qardhawi (2017: 145), seharusnya konstruksi reaksi radikalisme dibangun atas prinsip toleransi yang membawa umat sama-sama menuju jalan tengah (wasathiyah) yang dihendaki. Dengan kata lain, reaksi para penggerak moderasi dari aksi kelompok radikal tetap berada pada koridor kebijaksanaan (al-hikmah), khususnya dalam melakukan dialog kontranarasi.

BACA JUGA  Perempuan dan Ancaman Ekstremisme: Upaya Preventif

Membuka Jendela Paradigma Inklusif

Beberapa cendekiawan muslim seperti Rasyid Ridha, Mahmoud Syalthut, Yusuf Al-Qardhawi, dan Wahbah Al-Zuhaili menyatakan bahwa pokok masalah lahirnya kelompok radikal adalah karena tumbuhnya eksklusivisme beragama (Khorion M. Arif, 2020: 308). Hal ini menegaskan bahwa penyebaran konstruksi paradigma dan sikap yang terbuka adalah jalan utama untuk menyemai benih-benih moderasi beragama. Oleh karena itu, membuka jendela angin kebebasan menjadi hal penting dalam promosi moderasi.

Dalam konteks moderasi di Indonesia, penulis melihat seringkali eksklusivisme itu seolah tumbuh dan tampak di para penggerak moderasi beragama. Kita—para penggerak—seringkali terbuai dalam romansa moderasi yang menjadi kehendak utama, sementara pola pikir kita cenderung stagnan dan menolak berbagai kritik yang masuk, khususnya kritik destruktif yang dilontarkan kelompok radikalisme yang merasa dikambinghitamkan.

Hal ini menurut Al-Qardhawi (2017: 151), hanya akan membuat kelompok ghulluw tersebut semakin menjamur. Maka dari itu, para penggerak moderasi sebaiknya membangun dialog dan pendekatan yang bijak dan variatif (tanawu’).

Bahkan menurut Al-Qardhawi (2017: 151), andaikata mereka (radikalis) membawa pedang maka ambil pedang itu dan jangan sampai pedang itu melukai kita juga mereka. Dengan kata lain, paradigma terbuka (inklusif) yang dibawa oleh para promotor moderasi ibarat bendera juang yang akan membuka pemikiran-pemikiran dan dialog yang persuasif. Maka menurut Al-Qardhawi, langkah yang harus dijalani untuk membuka kran inklusif ini adalah dengan memperdalam pemahaman kita terhadap nilai-nilai agama yang sesungguhnya. Barangkali mereka (radikalis) berparadigma dan bertindak berlebihan adalah karena ketidaktahuan, maka kita seyogianya menghajar ketidaktahuan tersebut dengan kedalaman wawasan dan pemahaman terhadap agama yang sebenarnya.

Tidak Melawan Radikalisme dengan Radikalisme

Sebagaimana dijelaskan di muka, dangkalnya pemahaman terhadap agama membawa kelompok radikalis pada eksklusivisme. Pada tahap selanjutnya, paham radikalisme juga membawa pengaruh pada fanatisme ekstrem (truth claim) dan perlawanan (opposition). Bahtiar Effendi (1998: xix) dalam “Radikalisme Agama” menyatakan bahwa arus pertama kelompok radikal adalah kecenderungannya pada perjuangan (fighting), hingga pada melawan orang-orang yang dianggap musuh agama (fight against) dan bermuara pada perjuangan atas nama (fight under) agama dan Tuhan.

Pemahaman tersebut pada akhirnya akan mengkonstruksi wujud keislaman yang mudah menjustifikasi kelompok lain yang tidak sepaham (takfiri). Inilah yang biasa kita perhatikan pada kelompok-kelompok radikalis. Namun dalam beberapa kasus, lagi-lagi kita sebagai promotor moderasi kadangkala terjebak dalam arus takfiri itu sendiri.

Dalam konteks keindonesiaan misalnya, tak sedikit ditemukan promotor moderasi seolah melabeli dirinya sebagai pancasilais sejati, si paling bhinneka, dan sebagainya. Hal ini tentu tidak akan menyelesaikan konflik, bahkan justru akan memperpanjangnya.

Maka dari itu, Al-Qardhawi (2017: 153) mewanti-wanti para penggerak moderasi untuk tidak melawan pikiran ekstrem dengan pikiran ekstrem pula, fanatisme dihantam dengan fanatisme, pedang dengan pedang, takfiri dengan takfiri juga. Justifikasi semacam ini hanya akan menambah rumit upaya penyemaian nilai-nilai moderasi beragama.

Sementara jika kita menganggap moderasi ini sebagai dakwah, maka pola dakwah yang benar menurut Islam adalah dengan kebijaksanaan, pun jika terjadi perdebatan maka lawanlah dengan argumentasi yang lebih mulia (Q.S. 16: 125).

Syahdan, tiga hal inilah yang seyogianya menjadi rambu-rambu bagi para promotor moderasi beragama. Pada intinya, Al-Qardhawi (2000: 23-31) menghendaki kontranrasi radikalisme yang dilakukan haruslah berdasar pada prinsip-prinsip Islam moderat, yakni: ketuhanan (rabbaniyah), moralitas (akhlakiyah), manusiawi (insaniyah), mendunia (alamiyah), toleran (tasamuh), keberagaman (tanawu’), integral (at-takamul) dan mulia (al-i’tizaz)”. Sehingga kita dapat menjadi umat Wasathiyah yang Kafah, sekaligus menjadi promotor tersebarluas dan terbangunnya pemahamam tersebut secara Kafah. Wallahu a’lam

Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Mahasiswa Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pemuda Berprestasi Kab. Kuningan 2020 & 2021.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru