32.1 C
Jakarta
spot_img

Menolak Romantisasi Khilafah Palsu HTI untuk NKRI

Artikel Trending

EditorialMenolak Romantisasi Khilafah Palsu HTI untuk NKRI
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – HTI membuat editorial yang cukup provokatif, pada Rabu (5/3), berjudul “Negara Salah Urus, Rakyat Jadi Korban”. Tuduhan bahwa Indonesia sedang salah urus dan hanya khilafah ala HTI yang mampu menjadi solusi, adalah narasi usang yang dibangun di atas fondasi kebohongan, distorsi historis, dan manipulasi syariat. HTI selalu berusaha menanamkan kebencian terhadap NKRI sambil meromantisasi sistem khilafah palsu versi mereka. Apa saja dalilnya bahwa mereka pendusta?

Pertama, klaim bahwa khilafah adalah kewajiban syariat; yang diatur Al-Qur’an dan hadis, jelas kebohongan intelektual yang nyata. Tak ada satupun ayat Al-Qur’an atau hadis sahih yang secara eksplisit menyebut “khilafah” sebagai sistem politik wajib. Istilah khalifah dalam Al-Qur’an, seperti dalam surah Al-Baqarah [2]: 30, merujuk pada manusia sebagai wakil Allah di bumi, bukan sistem pemerintahan tertentu.

Sementara itu, konsep politik Islam klasik, seperti al-bay’ah, al-syura, atau al-imamah, bersifat fleksibel dan tidak menetapkan bentuk negara tertentu. Al-Mawardi dan Imam Al-Ghazali pun menegaskan, esensi kepemimpinan dalam Islam adalah keadilan, bukan bentuk institusi sebagaimana yang selalu dipropagandakan HTI.

Kedua, klaim HTI bahwa khilafah pernah sukses selama 13 abad adalah distorsi sejarah yang memalukan. Faktanya, sistem kepemimpinan Islam pasca-Nabi Saw. sangat beragam. Khulafaurasyidin dipilih dengan mekanisme berbeda-beda, Umayyah bersifat monarki turun-temurun, Abbasiyah diwarnai konflik internal, dan Turki Utsmani runtuh karena korupsi dan ketertinggalan teknologi perang.

Tidak ada kesatuan ‘model khilafah’ dalam sejarah, apalagi yang menyerupai skema HTI. Bahkan, konsep ‘khilafah global’ yang diimpor HTI dari Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, adalah produk ideologi abad ke-20, bukan warisan autentik Islam.

Dalam editorial kemarin, HTI menggambarkan Indonesia sebagai ‘negara sekuler’ yang anti-Islam. Innalillah, tuduhan yang keji. Padahal, fakta berbicara lain. Pancasila—yang dijiwai nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan—justru sejalan dengan esensi syariat (maqashid al-syari’ah), yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sistem demokratis di Indonesia memungkinkan partisipasi umat dalam menentukan kebijakan. Justru, khilafah HTI-lah yang merusak Islam.

Selain itu, tuduhan bahwa korupsi di BUMN—Pertamina dalam hal ini—adalah bukti ‘kegagalan sistem sekuler’ juga mengabaikan fakta bahwa korupsi adalah masalah universal, termasuk di negara-negara berlabel Islam. Artinya, masalah korupsi bukan soal kegagalan ideologi, melainkan ujian bagi komitmen seluruh elemen bangsa, termasuk umat Islam, untuk berperan aktif memperbaiki tata kelola negara.

Begitu juga, narasi HTI tentang ‘khilafah penuh berkah’ adalah utopia yang sengaja dibangun untuk mengeksploitasi kekecewaan umat. Mereka mengabaikan fakta bahwa sistem apa pun bisa gagal jika dijalankan oleh pemimpin korup. Sejarah membuktikan, Turki Utsmani kolaps karena oligarki, korupsi, dan penindasan terhadap minoritas. Itu fakta.

BACA JUGA  Imlek 2576 dan Mainstreaming Politik Kebangsaan Kita

Sementara HTI sendiri tidak pernah transparan tentang bagaimana khilafah versi mereka akan mengatasi masalah tersebut. Kesenjangan ekonomi, pengangguran, atau kerusakan lingkungan, misalnya. Alih-alih menawarkan solusi, mereka hanya menjual mimpi kosong untuk menarik simpati umat yang buta sejarah.

Tidak berhenti di situ. Klaim bahwa ‘khilafah menjamin kesejahteraan’ juga bertentangan dengan realitas negara-negara yang pernah menerapkan ideologi serupa. Sudan di era Omar al-Bashir, Afghanistan di bawah Taliban, atau ISIS di Irak-Suriah justru menjadi contoh bahwa romantisasi khilafah hanya berujung kekacauan, kemiskinan, dan pelanggaran HAM. Apakah HTI ingin Indonesia mengikuti jalan yang sama? Jelas tidak.

Memang, Indonesia masih menghadapi tantangan besar: korupsi, ketimpangan, dan kebijakan yang kerap tidak pro-rakyat. Namun solusinya tidak dengan mengganti NKRI menjadi khilafah, namun menguatkan demokrasi melalui partisipasi publik, pengawasan kebijakan, dan edukasi politik. Umat Islam justru harus berada di garda depan memperbaiki negara melalui jalur konstitusional; bukan dengan provokasi yang mengancam persatuan seperti yang HTI lakukan.

Faktanya, Indonesia telah membuktikan diri sebagai bangsa yang mampu bangkit dari krisis. Dari reformasi 1998 hingga pemulihan ekonomi pasca-pandemi, kita melangkah maju dengan semangat gotong-royong. Klaim editorial HTI bahwa ‘Indonesia akan bubar pada 2030’ adalah narasi apokaliptik yang tak berdasar, yang tujuannya tak ada lain untuk menipu masyarakat. Waspadalah dengan narasi destruktif HTI, karena mereka pemfitnah dan manipulator ulung.

Faktanya, HTI bukanlah pembawa solusi, justru bagian dari masalah yang mesti diatasi. Mereka memelintir ayat-ayat Al-Qur’an, memanipulasi sejarah, dan menebar ketakutan untuk meruntuhkan fondasi negara-bangsa: NKRI. Tugas kita bersama adalah meluruskan narasi mereka, dengan tiga fakta yang tak terbantahkan, yaitu:

  1. Khilafah HTI tidak memiliki legitimasi teologis, baik Al-Qur’an maupun hadis
  2. Khilafah adalah romantisasi sejarah yang keliru dan telah dimanipulasi
  3. NKRI adalah final.

Marilah kita tidak terjebak dalam dikotomi palsu: seolah hanya ada dua pilihan, ‘sekuler korup’ atau ‘khilafah berkah’. Indonesia punya jalan ketiga: memperkuat demokrasi, memberantas korupsi, dan menegakkan keadilan sosial dengan semangat religiositas. Itulah jalan yang ditempuh para founding father, jalan yang memadukan Islam dengan kearifan lokal, bukan impor ideologi asing yang penuh dusta: Hizbut Tahrir.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru