31 C
Jakarta
Array

Menolak Masjid Sebagai Alat Politik Partisan

Artikel Trending

Menolak Masjid Sebagai Alat Politik Partisan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiapkali Indonesia akan menghelat pesta demokrasi, baik di leval pusat maupun daerah, isu demi isu terus dihembuskan oleh para politisi untuk meraih simpati. Bahkan isu yang paling sensitif, yakni terkait agama, menjadi “santapan” para politisi yang muaranya adalah untuk menjatuhkan lawan dan mendapatkan simpati dari masyarakat luas.

Melalui penggorengan isu-isu sensitif tersebut di atas, akan diarahkan ke pembetukan opini publik. Tentu pembentukan opini publik semacam ini didesain sesuai dengan kepentingan orang atau politisi yang bersangkutan.

Sejauh ini, perang opini untuk membentuk suatu opini publik, menjadi “agenda” unggulan para politisi. Hal ini sangat bisa dipahami mengingat cara-cara ini sangat efektif sekali, terutama dalam mempengaruhi pemilih.

Dalam pembentukan opini publik ini berlaku hukum relatifitas: bahwa seseorang yang dicitrakan baik, dalam seketika, akan menjadi idola masyarakat. Sebaliknya, seseorang yang dicari-cari kejelekannya, akan “hina” dihadapan masyarakat. Tak ayal, dalam kondisi seperti ini, muncul saling tuding dan saling menyerang Antara kelompok satu dengan kelompok lain.

Nah mengingat pembentukan opini publik sangat penting, para pihak yang berkepentingan (politisi) selalu menggali cara-cara efektif  untuk membentuk atau mempengaruhi publik (Hilmi, 2018). Dari sinilah asal-muasal Masjid dijadikan sebagai alat politik partisan.

Mengapa harus masjid? Banyak alasan yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang jelas, Masjid merupakan tempat berkumpulnya banyak orang (jamaah). Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk mengumpulkan orang dengan jumlah yang banyak, tidaklah mudah, bahkan seringkali harus mengeluarkan banyak biaya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa, tanpa menggerakkan massa sekalipun, orang-orang, secara otomatis, akan berbondong-bondong ke Masjid. Jika yang demikian terjadi, politisi mana yang mampu “menahan diri” untuk tidak kampanye di Masjid? Entahlah

Mengapa Harus Ditolak?

Yang jelas dan harus ditegaskan di sini adalah, bahwa Masjid harus bersih dari kepentingan politik partisan, apalagi dijadikan sebagai alat politik (kampanye) politik partisan. Mengapa harus ditolak? Ada beberapa alasan.

Pertama, kehancuran timur tengah berawal dari berpolitik di Masjid. Terkait poin ini, penulis www.www.harakatuna.com/harakatuna, yakni M. Najih, sudah menjelaskan secara gamlang dalam rubrik ulasan timur tengah. Secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berkut; bahwa saat menjelang pemilihan parlemen Maroko pada tahun 2014 silam, tempat-tempat ibadah, di negeri itu dimaksimalkan untuk menggaet simpati masyarakat pemilih. Mimbar-mimbar juga digunakan untuk bermanuver politik praktis; mengulik kejelekan lawan politik, membunuh karakter lawan politik, sampai melakukan propaganda dengan cara menebar kebencian.

Melihat situasi itu, pemerintah Maroko, dalam hal ini Raja Muhammad VI, menelurkan kebijakan tegas, yakni melarang bahwa masjid wajib stretil dari segala bentuk aktivitas politik. Khatib dan imam Masjid dilarang keras untuk terlibat dalam politik praktis, termasuk tidak boleh menunjukkan pandangan politik. Walhasil, Maroko sangat stabil.

Namun, kondisi berbeda justru terlihat di Libya dan Mesir. Di dua Negara ini, khatib dan imam diberikan kebebasan untuk melakukan hujatan politik berbalut agama. Akhirnya, kedua negara tersebut benar-benar mengalami konflik yang berkepanjangan. Hingga akhirnya menghantarkan mereka ke jurang kehancuran.

Tentu apa yang dialami Libya dan Mesir tidak perlu terjadi di Indonesia. Cukup kedua negara tersebut menjadi contoh atau pelajaran terbaik untuk bangsa ini untuk sedini mungkin mencegah tercetusnya kehancuran. Usaha-usaha tersebut adalah, salah satunya, dengan menolak Masjid sebagai alat politik partisan.

Kedua, Masjid bukan alat politik tetapi tempat pendidikan. Yang harus dipahami oleh masyarakat terkait fungsi Masjid adalah, bahwa Masjid adalah pusat pendidikan, kebudayaan dan peradaban Islam. Hal ini berarti, seseorang sungguh tidak dilarang berbicara politik di forum Masjid. Artinya, Masjid, yang salah sau fungsinya adalah pusat pendidikan, memiliki kewajiban untuk mengedukasi jamaahnya tentang politik. Namun yang wajib digarisbawahi adalah, Masjid tidak boleh digunakan untuk berkampanye memilih calon A. Politik partisan inilah yang dilarang.

Ketiga, jika digunakan untuk politik, maka jamaahnya akan terpecah-belah. Sudah menjadi karakter Muslim Indonesia bahwa Masjid merupakan tempat ibadah seluruh umat Muslim tanpa memerdulikan latar belakang ormas atau golongan. Itulah sebabnya, Masjid juga disebut sebagai tempat pemersatu.

Namun, kondisi berbeda akan terjadi manakala Masjid dijadikan sebagai alat politik partisan. Selain mereduksi keagungan Masjid itu sendiri, juga sangat berpotensi memecah-belah jamaahnya.

Tentu dalam kondisi seperti ini, umat Islam harus dewasa dalam beragama dan lebih mengedepankan kemaslahatan umat daripada urusan pribadi atau kelompok.

Dan yang tak kalah pentingnya, para stake holder Masjid, kyai, imam, DKM, Remaja Masjid hingga Ta’mir harus benar-benar tegas dalam menolak Masjid sebagai alat politik partisan. Menolak Masjid sebagai alat politik harus dijadikan gerakan bersama. Semua ini demi kepentingan yang jauh lebih besar, yakni menjaga keharmonisan dan ketentraman serta persatuan publik.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru