26.7 C
Jakarta

Menolak Ikhtilaf dalam Fiqih Siyasah Atha Abu Rusytah Mujtahid Koplak

Artikel Trending

CNRCTMenolak Ikhtilaf dalam Fiqih Siyasah Atha Abu Rusytah Mujtahid Koplak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebenarnya yang menganggap Atha Abu Rusytah sebagai mujtahid, hanya Ismail Yusanto dan kawan-kawannya. Mayoritas ulama dari Maghribi sampai Merauke tidak mengenalnya, apalagi menganggapnya sebagai mujtahid. Memang ada sedikit peminat pemikiran dan politik Islam mengenalnya secara samar-samar, sebagai sebagai Amir Hizbut Tahrir, namun bukan sebagai mujtahid dalam pengertian syar’i.

Di kalangan ulama Hizbut Tahrir sendiri, banyak yang meragukan keilmuan Atha Abu Rusytah. Sebut saja satu di antaranya, Syaikh Mahmud bin Abdul Latif Uwaydah yang dikenal dengan nama Abu Iyas. Beliau menulis beberapa kitab fiqih hadits. Beliau murid langsung Taqiyuddin an-Nabhani. ‘Alim dalam hadits, ushul fiqih dan fiqih. Satu generasi dengan Atha Abu Rusytah. Lama menjabat sebagai Mas’ul Lajnah Tsaqafiyah HT internasional. Suatu jabatan bergengsi, bukti pengakuan HT terhadap ilmunya. Beliau berkomentarnya tentang Atha Abu Rusytah, “ilmu telah hilang sejak Hizbut Tahrir dipegang Atha Abu Rusytah”.

Komentar Abu Iyas bisa dipahami jika melihat jejak sekolah dari Atha Abu Rusytah. Atha Abu Rusytah menjalani pendidikan di sekolah umum. Sampai di perguruan tinggi, dia memilih jurusan Teknik Sipil di Universitas Yordan. Ilmu-ilmu keislaman murni diambilnya dari halqah-halqah Hizbut Tahrir. Di luar itu, tidak ada ilmu keislaman bagi dirinya. Padahal, materi-materi halqah HT di tengah tsaqafah islamiyah, ibarat sebutir debu di padang pasir.

Keilmuan Atha Abu Rusytah makin meragukan setelah dia menjawab pertanyaan syabab HT tentang perbedaan pendapat dalam masalah fiqih. Tanya jawab yang dirilis oleh kanal muslimahnews yang berafilasi ke Muslimah HT1 pada tanggal 27/05/2021. Soal jawab tersebut tertanggal 25 Sya’ban 1442 H/07 April 2021 M.

Secara normatif, Atha Abu Rusytah mengakui pendapat-pendapat fiqih adalah pendapat islami, meski berbeda dengan pendapatnya. Merujuk kepada kitab Mafahim HT (salah satu kitab resmi yang menjadi materi halqah) yang membedakan realitas keimanan dan pemahaman terhadap hukum-hukum syara’. Keimanan ditetapkan dengan akal atau melalui apa yang asalnya ditetapkan oleh akal dalam hal ini, al-Qur’an dan hadits mutawatir, sedangkan hukum-hukum syara’ tidak cukup menggunakan akal, melainkan harus berdasarkan pada pengetahuan bahasa arab, kekuatan istinbath dan pengetahuan tentang hadis-hadis shahih dari yang dhaif.

Kemudian, Atha Abu Rusytah memberi petunjuk kepada syabab HT agar senantiasa menyadari bahwa pemahaman mereka tentang hukum-hukum syara’ adalah pemahaman yang tepat tapi mengandung kemungkinan keliru (fahmu shawâb yahtamilu al-khatha’).

Sebaliknya selalu menyadari bahwa orang lain (di luar HT) sebagai pemahaman yang keliru yang mengandung kemungkinan tepat (fahmu al-khatha’ yahtamilu ash-shawâb). Oleh sebab itu, tidak dibenarkan syabab HT mengatakan tentang pemahaman mereka, bahwa ini adalah pendapat Islam. Tetapi mereka harus mengatakan tentang pendapat mereka, ini merupakan pendapat yang islami.

Pada titik ini, Atha Abu Rusytah bisa membedakan makna kata “islam” dan “islami”. Makna kata “islam” berkonotasi aqidah dan syariah yang sudah qath’i. Lawan katanya “kufur”. Adapun makna kata “islami” berkonotasi syariah dan fiqhiyah yang masih dzanni. Perbedaan pendapat dalam fiqih islami tidak berkonsekuensi kafir.

Diperjelas oleh Atha Abu Rusytah dengan memberi beberapa contoh ikhtilaf fiqhiyah seperti masalah wajah dan telapak tangan wanita, aurat atau bukan? Masalah metode penetapan awal bukan ramadlan dengan ru’yat atau hisab? Intinya, Atha Abu Rusytah mengakui dan menerima adanya ikhtilaf dalam fiqih ibadah, fiqih berpakaian dan fiqih muamalah.

Namun ketika menghadapi ikhtilaf dalam fiqih siyasah, Atha Abu Rusytah jadi kalagapan. Dia sama sekali tidak menerima adanya ikhtilaf. Misalnya status negara-negara muslim. Atha Abu Rusytah memukul rata, semuanya daulah kufur. Lawan dari daulah islam. Padahal daulah adalah fakta syariah yang bersifat dzanniyah. Daulah adalah persoalan fiqih. Bukan aqidah, sehingga istilah daulah kufur menyalahi prinsip normatif yang dijelaskannya di awal.

Seharusnya Atha Abu Rusytah konsisten mengatakan bahwa tidak ada daulah islam dan daulah kufur, yang ada adalah daulah islami. Daulah-daulah tersebut, meski berbeda dengan pandangan fiqih-nya, tetap berstatus sebagai pendapat islami yang tidak boleh diserang, apalagi dihancurkan demi menegakkan pendapat fiqih-nya tentang daulah khilafah tahririyah. Tapi, kekoplakan Atha Abu Rusytah bisa dimengerti, karena dia terbentur dan terbebani ambisi politik HT, yang tertuang di dalam kutaib Dukhul Mujtama’.

Andaikata Atha Abu Rusytah konsisten dengan istilah “islami” untuk masalah hukum-hukum syara’, mungkin Ismail Yusanto dan kawan-kawan mengambil pensiun dini dari dakwahnya karena Indonesia adalah daulah islami, hasil ijtihad ulama Nusantara dengan metode istinbath yang syar’i.

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru