28.2 C
Jakarta

Menolak dan Melawan Manipulasi Sejarah Kelompok Radikal

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenolak dan Melawan Manipulasi Sejarah Kelompok Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di tengah euforia masyarakat menyambut Hari Ulang Tahun ke-77 Republik Indonesia, beberapa hari yang lalu, media sosial diramaikan oleh sebuah utas (thread) yang diunggah oleh sebuah akun bernama @ekowboy2 yang mencoba lakukan manipulasi sejarah.

Di dalam unggahannya tersebut ia menyebutkan sejumlah hal ganjil, antara lain ia menyebut bahwa inisiator bendera merah putih ialah Habib Salim Idrus al Jufri, pemilik rumah yang dijadikan sebagai tempat pembacaan proklamasi ialah Syaikh Faraj Martak, Pencipta lagu “17 agustus” adalah Habib Husein Al‐Muthahar, perancang lambang Garuda adalah Habib Hamid Al‐Gadri Diplomat kemerdekaan ialah AR Baswedan.

Cuitan itu pun viral dan direspons beragam oleh sejumlah netizen. Bahkan, politisi Budiman Soedjatmiko pun merasa perlu ikut berkomentar atas cuitan tersebut. Tentu tidak sulit untuk melabeli cuitan itu sebagai hoaks dan penyesatan sejarah yanga akut. Tidak perlu jadi ahli sejarah untuk mengetahui bahwa cuitan itu tidak lebih dari informasi palsu yang sengaja dibuat untuk menyesatkan persepsi publik akan fakta sejarah bangsanya sendiri.

Namun, kita tentu tidak boleh begitu saja diam apalagi permisif terhadap penyebaran narasi sejarah palsu ini. Di satu sisi, fenomena penyesatan sejarah ini bukan pertama kali terjadi. Tempo hari kita dibuat gaduh oleh pernyataan seorang ustad kondang yang mengatakan bahwa nama pahlawan nasional Thomas Matulessy sebenarnya ialah Ahmad Matulessy.

Jauh sebelumnya, ada pula narasi yang mencoba mengklaim bahwa ada keterhubungan antara kerajaan Nusantara dengan kekhalifahan Turki Usmani.

Di sisi lain, kita wajib menyadari bahwa fenomena penyesatan sejarah ini bukan terjadi lantaran kebetulan. Fenomena penyesatan sejarah ini merupakan bagian dari skenario besar untuk menghancurkan bangsa dari dalam.

Salah satu langkah awalnya ialah dengan mencerabut ingatan publik dari sejarah bangsanya sendiri lantas mencekoki dengan narasi sejarah palsu yang sarat dengan kepentingan ideologis. Dan, kita tentu paham bahwa penyusun skenario itu ialah kelompok radikal.

Kaum radikal akan menggunakan berbagai macam cara untuk menghancurkan bangsa dari dalam dan mengambil-alih kekuasaan. Mulai dari mengadu-domba sesama umat beragama dengan membesar-besarkan perbedaan ajaran atau aliran keagamaan.

BACA JUGA  Pancasila: Fondasi Bangsa untuk Melawan Ideologi Radikal Pemecah Persatuan

Juga mengadu-domba antara masyarakat (rakyat) dengan pemerintah (negara) melalui serangan fitnah dan ujaran kebencian. Sampai yang paling ironis, yakni upaya menyelewengkan narasi sejarah bangsa dan menggantinya dengan sejarah palsu yang sesuai dengan kepentingan mereka.

Melawan Penyesatan Sejarah

Penyesatan sejarah bangsa oleh kaum radikal tidak boleh dibiarkan. Bagaimana pun, sejarah ialah bagian penting dalam membentuk jatidiri dan identitas kebangsaan. Ketika kita tercerabut dari akar pengetahuan sejarah, maka besar kemungkinan kita akan mudah diinfiltrasi oleh paham dan ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Maka dari itu, penting kiranya kita memperkuat literasi sejarah di kalangan masyarakat.

Literasi sejarah tidak hanya mencakup pengetahuan ihwal kronologi peristiwa: kapan, siapa, dan di mana. Melainkan juga kemampuan untuk mengetahui dan memahami sumber-sumber sejarah secara kritis sehingga tidak mudah disesatkan oleh narasi sejarah palsu. Literasi sejarah yang kokoh akan menghindarkan masyarakat dari upaya pemutarbalikan fakta sebagaimana diagendakan oleh kaum radikal.

Memperkuat literasi sejarah bisa dilakukan dengan pendidikan sejarah yang baik. Ini artinya, masyarakat harus terbiasa mempelajari sejarah dari sumber-sumber yang otoritatif, ilmiah, sekaligus valid. Pendidikan sejarah dalam hal ini tidak lantas harus dilakukan dengan pendekatan formalistik.

Alih-alih itu, pendidikan sejarah bisa dilakukan melalui beragam pendekatan. Salah satunya melalui budaya populer seperti novel, film, series, vlog, dan sebagainya. Pendidikan sejarah berbasis budaya populer ini kiranya akan lebih menarik bagi kalangan anak-anak, remaja, kaum muda dan masyarakat pada umumnya.

Ungkapan Bung Karno tentang Jas Merah, yakni jangan sekali-kali meninggalkan sejarah kiranya sangat relevan untuk kehidupan bangsa saat ini. Terutama ketika ada upaya menyelewengkan sejarah bangsa dengan beragam cara. Memahami sejarah bangsa ialah bagian penting dari merawat rasa cinta tanah air; nasionalisme.

Lebih spesifik lagi, kita harus memahami kronologi peristiwa proklamasi kemerdekaan, siapa saja yang terlibat dan apa saja perannya. Hal ini penting agar kita tidak mudah disesatkan oleh narasi sejarah palsu yang disusun kaum radikal.

Siti Nurul Hidayah
Siti Nurul Hidayah
Peneliti pada “Center for the Study of Society and Transformation”, alumnus Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru